Menurut Robert Cribb (2001), prinsip-prinsip modernisasi Umat Islam yang ditopang oleh laju pembangunan selama kurun waktu pasca pengakuan kedaulatan tahun 1949 di Indonesia, tidak dapat dilepaskan pada makna; Pertama, oleh Marxisme, dimana modernitas dan kemakmuran kaum Muslim akan tercipta di Indonesia hanya kalau sistem ekonomi dirombak seluruhnya.
Gagasan Marxisme Islam ini menegaskan bila subordinasi ekonomi Indonesia terhadap ekonomi global harus dihapus. Perusahaan asing di Indonesia, yang telah menjadi sumber kekayaan bagi dunia Barat, harus disita oleh dan untuk rakyat setempat yang berdaulat lewat proses nasionalisasi.
Kedua, oleh para developmentalis Orde Baru. Bagi para penganut ideologi ini, prioritas mesti diletakan pada usaha memperluas dan memperbaiki pendidikan, prasarana dan investasi guna memperkecil kesenjangan ekonomi diantara warga negara. Namun terlebih penting dari itu, makna modernisasi kaum Muslim Indonesia harus didasarkan oleh stabilitas struktur dasar negara Pancasila, bukan pada keinginan membentuk Negara Islam.
Ketiga, oleh Islamisme kaum elite yang memandang modernisme Islam mesti diletakkan pada implementasi hukum Islam, dan di atas Negara Islam. Hal ini merupakan syarat mutlak.
Dua cita-cita tersebut diharapkan dapat membuat peluang para pemimpin Islam menuntut pemberlakuan “tujuh kata” Piagam Jakarta. Dengan makna modernisasi tersebut Islam sebagai agama mayoritas secara nominal dapat diharapkan sepenuhnya menjadi Muslim dalam praktik.
Namun menurut Cak Nur, modernisasi tidak saja merupakan keharusan, tetapi juga kewajiban mutlak setiap individu muslim sebagai pelaksanaan perintah, serta ajaran Tuhan Yang Maha Esa dalam karyanya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 1999. Memahami ajaran kepada Tuhan Yang Maha Esa—dalam Islam disebut tauhid—tidak akan bisa dilakukan tanpa menyakini kebenaran Islam sebagai jalan hidup (way of life) sebagaimana termaktub dalam Al Quran.
Al Quran menurut Nurcholish Madjid memberikan dasar teologis terhadap rasionalitas modernisasi. Oleh karena itu, baginya modernisasi berarti berpikir dan memahami hukum alam untuk memperoleh daya guna bagi kebahagiaan umat Manusia. Meskipun modernisasi mengandung kegunaan praktis, seperti melahirkan ilmu pengetahuan eksakta, tetapi pada hakikatnya ia mengandung makna yang lebih mendalam kepada pendekatan kepada Kebenaran Mutlak (Allah).
Penginsafan akan eksistensi alam raya lewat ilmu pengetahuan akan mengarahkan secara mendalam manusia pada menemukan keinsyafan ber-Tuhan. Pendekatan (taqarrub) dan nilai takwa yang mengikutinya akan muncul apabila dilandasi keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan tersebut merupakan sandaran moral terbentuknya peradaban manusia.
Lebih jauh Cak Nur menjelaskan bahwa suatu masyarakat atau bangsa tidak mungkin memiliki peradaban luhur tanpa dilandasi satu keyakinan yang transenden. Ia menganalogikan hal ini dengan masyarakat Indian di Guatemala dan Mexico Selatan.
Dalam sejarah peradaban kedua wilayah ini, dunia mengenalnya lewat kebudayaan Maya. Untuk ukuran waktu itu, kebudayaan Maya merupakan bentuk kehidupan tradisional yang cukup modern. Tetapi, sekarang, menurut Cak Nur, masyarakat Indian di sana justru tidak lagi mengingat kebesaran nenek moyang mereka. Keyakinan yang memiliki dimensi-dimensi moral untuk menopang peradaban besar Maya dulu tersebut tidak lagi dimiliki oleh generasi berikutnya.
Kekuatan etika dan moral yang dulu menjadi tonggak peradaban Maya, untuk masyarakat Indian dan Maxico sekarang, dipandang Nurcholish Madjid telah dijauhi anak cucu mereka, sehingga mereka tidak lain hanya orang-orang sederhana tanpa ingat lagi kebesaran nenek moyang mereka
Sebagai suatu bangsa, Indonesia menurut memiliki sandaran keyakinan tersebut, seperti tercermin dalam sila pertama Pancasila sebagai dasar negara, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama Pancasila tersebut merupakan pernyataan tegas terhadap anti sekularisme.
Sekularisme ditolak, karena merupakan suatu paham, bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah duniawi manusia. Masalah-masalah duniawi tersebut harus diurusi dengan cara-cara lain, yang tidak datang dari Tuhan. Pandangan sekularisme ini dalam konteks masyarakat Indonesia dikecam Cak Nur, dan dituding sangat bertentangan dengan agama Islam.
Islam sesungguhnya memandang pemisahan masalah akhirat dan masalah duniawi serta masalah perseorangan dari masalah sosial sebagai hal tidak mungkin. Dalam konteks kenegaraan, Islam sebagai akidah, syariah, dan nizham, serta integrasi-mutlak agama, sistem politik, cara hidup, dan interpretasi sejarah, tidak mengenal pemisahan agama dari politik. Pemisahan dua hal ini justru menandakan gejala sementara dari kemunduran Islam.
Bagi Cak Nur, dalam masa kebangkitan Islam, antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan sebagai inspirasi dan aspirasi masyarakat di negara-negara Islam yang merdeka, maupun wilayah Islam lain yang tengah terjajah.
Kebangkitan rakyat Indonesia menentang penjajahan Belanda dalam sejarah menurut Cak Nyr merupakan simbol dari keyakinan akan kemutlakan kebenaran ajaran Islam. Nilai-nilai keislaman sebagai jiwa dan kepribadian nasional merupakan harta paling berharga masyarakat Indonesia menginspirasi bangkit menentang penjajahan.
Kebangkitan tersebut dapat diamati mulai dari ekspedisi Pati Unus dari Kerajaan Demak, sampai lahirnya gerakan politik Islam modern pertama PSII di bawah pimpinan Cokroaminoto dan Agus Salim. Jika nilai-nilai keislaman merupakan sumber inspirasi dan aspirasi seluruh gerakan nasional patriotik serta revolusioner di Indonesia menjelang kemerdekaan, maka dalam masa kemerdekaan menurut Cak Nur, Masyumi, Partai NU, Parmusi serta ormas-ormas Islam di bidang kesejahteraan, pendidikan, dan kemahasiswaan kala itu (1968), dipandang perlu sebagai pengisi.