Penangkapan empat pejuang demokrasi menjadi sinyal prekariat (kerentanan) aktivis dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi. Tidak hanya alat/barang bukti yang rapuh, namun juga ditengarai oleh prosedur penangkapan yang potensial melanggar ketentuan undang-undang. Sebabnya, asumsi bahwa tindakan mencomot beberapa aktivis bukan saja bertentangan dengan proses hukum yang adil (due process of law) namun juga menegasikan prinsip dasar hak asasi manusia (fundamental principles of human rights), yang dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Keempat aktivis itu bernama Delpedro Marhaen, Syahdan Husein (Lokataru Fundation), Muzzafar Salim (Pegiat Medsos), dan Khariq Anhar (Mahasiswa Riau). Menurut Kepolisian, penangkapan keempat aktivis tadi dilakukan untuk mendalami hubungan antara merebaknya aksi vandalisme dalam demonstrasi, dengan kegiatan bermedia sosial yang mereka lakukan.
Namun yang menjadi persoalan adalah apakah prosedur penangkapan keempat aktivis diatas memang dibenarkan secara hukum. Kemudian, apakah unggahan beberapa aktivis yang menyerukan perlawanan terhadap kekerasan aparat kepolisian dapat dikategorikan delik pidana.
Prosedur penangkapan KUHAP
Berdasarkan laporan polisi (LP) nomor LP/A/76/VIII/2025/SPKT.Ditkrimum/Polda Metro Jaya, Kepolisian meringkus keempat aktivis tersebut hanya berdasarkan barang bukti selebaran unggahan di Instagram berupa caption “kita lawan bareng” dengan tagar “jangan takut”. Unggahan tersebut kemudian disimpulkan pihak kepolisian sebagai upaya menghasut para pelajar untuk berbuat onar dan anarkis. Atas dasar itu, aparat penegak hukum (APH) langsung mengamankan beberapa aktivis tersebut.
Malam hari, Senin, 01 September 2025, Delpedro yang sedang dikantornya, Pulo Gadung, didatangi dan dibawa ke Kepolisian oleh beberapa orang yang mengaku sebagai delegasi Polda Metro Jaya. Beberapa waktu kemudian, Muzzafar ditangkap saat sedang mendampingi Delpedro. Syahdan Husein diterbangkan ke Jakarta saat sedang di Bali. Sedangkan Khariq Anhar, ditanggal 29 Agustus 2025, dibekuk saat berada di bandar udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Peristiwa pembekukan beberapa aktivis demokrasi diatas menggambarkan tata cara penangkapan yang begitu rentan menyalahi aturan hukum (procedural misconduct). Pertama, penangkapan dilakukan tanpa pemeriksaan terlebih dahulu ditahap penyelidikan. Lalu, peringkusan dilangsungkan tanpa bukti surat resmi penangkapan maupun pemanggilan Kepolisian. Padahal, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) -sebagai jaminan perlindungan HAM- mewajibkan prosedur penangkapan diadakan melalui pemeriksaan penyelidikan (Pasal 6 ayat 1 KUHAP), sekaligus surat perintah penangkapan dan pemanggilan (Pasal 16 s/d Pasal 19).
Mekanisme yang diatur KUHAP tersebut dimaksudkan demi memastikan prosedur penangkapan telah dilaksanakan melalui serangkaian penyelidikan untuk mendapatkan minimal dua alat bukti yang cukup sebagai dasar penangkapan dan penahanan (Pasal 17) dalam rangka menjamin perlindungan HAM (human rights protection) selaku prinsip dasar negara hukum (the rule of law).
Kedua, penangkapan bisa dilakukan bila terduga pelaku sedang melakukan aksi tindak pidana (Pasal 18 ayat 2). Arestasi keempat aktivis tidak dilakukan saat mereka sedang melakukan aksi yang disangkakan. Mereka melakukan ajakan demonstrasi dengan lembaran flyer di media sosial beberapa waktu sebelum penangkapan terjadi. Maka demikian, sangat jelas bahwa arestasi tersebut tidak dilakukan sebagaimana prosedur penangkapan yang diatur dalam KUHAP. Hal ini sekaligus kembali menegaskan skeptisisme warga terhadap kontroversi penangkapan beberapa aktivis demokrasi.
mpat aktivis dilaporkan karena diduga mendalangi peristiwa silang sengkarut demonstrasi yang terjadi. Pamflet unggahan di Instagram yang berisi kata-kata: “kita lawan bareng” dan “jangan takut”, dianggap sebagai tindakan menghasut, mengajak, menggiring para demonstran untuk berbuat kisruh, onar, dan anarkis. Logika itu sangat tidak masuk akal sebab tidak ada hubungan kausalitas secara langsung (causa proxima/efficiens) antara seruan demonstrasi di Instagram dengan tindakan huru-hara dilapangan. Keadaan tersebut bisa diterangkan sebagai sebab yang sekedar menjadi salah satu mata rantai yang begitu jauh dari akibatnya (causa remota). Artinya, sangkaan kepolisian bahwa para aktivis merupakan biang kerok kerusuhan adalah salah total.
Apalagi, jika menautkan ajakan demo itu dengan bunyi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa melindungi kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat demi menjamin terselenggaranya HAM adalah kewajiban primer APH. Ketentuan itu kemudian ditegaskan dalam UU 9/1998 dan UU 39/1999 terkait kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum sebagai hak konstitusional warga negara. Penyebaran brosur digital tentang ajakan berdemonstrasi harus dimaknai pertama-tama sebagai hak dasar warga yang dijamin oleh negara hukum demokrasi (constitutional democratic). Sebab itu, kebebasan berpendapat tidak boleh dibatasi apalagi dikurangi, demi alasan apapun.
Kita sama-sama sepakat bahwa tindakan perusakan, vandalisme, kerusuhan, penjarahan, pembakaran, yang merugikan orang lain hingga menelan korban nyawa, sangat tidak bisa dibenarkan. Namun kejadian itu tidak bisa serta-merta dijadikan alasan APH untuk secara semena-mena meringkus aktivis demokrasi -yang belum tentu bersalah- melalui prosedur penangkapan yang justru melanggar ketentuan KUHAP.
Prekariat aktivis
Saat ini, kondisi kerentanan aktivis justru terjadi ketika mereka sedang menyelamatkan proyek demokrasi dari kepungan: arogansi kekuasaan, ambisi tunjangan parlemen, dan kekerasaan aparat. Situasi itu dapat dijelaskan melalui teori sosiologi prekariat, dalam tulisan Guy Standing (2014), yang berjudul “A Precariat Charter: From Denizens to Citizens”, bahwa kerentanan berlangsung ketika kelas sosial baru dilanda pelbagai ketidakpastian hidup secara eksistensial. Jika proletariat hanya menggambarkan kerentanan kelas pekerja, maka prekariat menyempurnakan kerentanan kelas itu dengan kondisi serba tidak pasti secara eksistensial.
Negara bukannya memberi penghargaan pada aktivis atas upayanya memelihara dan menumbuhkan ulang partisipasi demokrasi, namun justru yang didapatkan ialah hukuman berupa ancaman penjara. Situasi serba paradoks ini semakin memperparah kondisi prekariat para aktivis yang selalu berhadapan dengan tabiat koersif dan perilaku eksesif negara untuk sekedar dijadikan tumbal. Kerentanan ini harus segera dientas oleh negara bila memang masih punyai kehendak baik (political wil).
Kepolisian harus menyudahi kriminalisasi terhadap keempat aktivis dan dengan sungguh-sungguh menemukan dalang dibalik semua huru-hara ini. Kejanggalan penangkapan serta kekeliruan penetapan status tersangka kepada beberapa aktivis bisa saja ditempuh berdasarkan prosedur hukum prapradilan. Namun, alangkah lebih bijak jika Kepolisian sedikit menurunkan egonya dengan membebaskan keempat aktivis itu dari kerangkeng kambing hitam dan modus kriminalisasi yang dikemudikan melalui pasal karet UU ITE. Moralitas publik semacam ini yang harus dikembalikan.