Tempo lalu, Ir. Soekarno saat itu belum menjadi Presiden dan Indonesia belum merdeka. Nippon menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia. Dibentuklah BPUPKI, dari BPUPKI terbentuk lagi Panitia Sembilan. Pada tanggal 1 Juni 1945, tepat satu bulan sebelum kemerdekaan. Ir. Soekarno membacakan pidatonya tentang dasar negara hasil permenungannya.
Saat itu dia membacakannya diawali dengan kata “Panca-Sila”, Panca artinya lima dan Sila artinya dasar. Semua itu diadaptasi dari bahasa Sansekerta. Ditahun 1947, setelah dibukukannya pidato Ir. Soekarno, Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyatakan bahwa 1 Juni adalah hari “Lahirnya Pancasila”.
Jadi asal-usul Hari Lahirnya Pancasila lebihnya seperti itu, kurangnya silahkan cari sendiri. Kemudian 20 tahun setelah peristiwa lahirnya pancasila ada peristiwa yang menyebabkan kudeta, alhasil muncul lagi hari kesaktian pancasila pada 1 Oktober 1965, dimana PKI saat itu menjadi musuh negara. Hingga kini masih dan akan selalu masih, terus masih sampai menjadi hantu sekalipun.
Menjadi dasar negara sekaligus sumber hukum, Pancasila membawa cerminan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai falsafah, Pancasila berisi kebijaksanaan yang luar biasa. Cita-citanya mulia, tertuang dalam sila ke-5, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Seluruh rakyat, tanpa membedakan, suku, agama, warna kulit, bahasa. Kita semua satu, satu Indonesia. Akan tetapi kalau kita boleh berprasangka, masih banyak yang tidak bisa menjadikan Pancasila sebagai pegangan hidupnya. Prasangka atau Prejudice memang bermakna negatif, tapi ini penting untuk dipahami dan dipelajari agar menciptakan pandangan hidup ke masa depan yang lebih baik.
Sedikit aku meminjam pengertian Prasangka dari Gordon Allport, seorang psikolog asal Amerika Serikat, tapi aku lebih suka menyebutnya filsuf. Bagi Gordon, Prasangka atau Prejudice adalah sikap bermusuhan atau memalingkan muka terhadap orang yang memiliki kelompok, secara sederhana disebabkan karena dia memiliki kelompok, maka mengira bahwa memiliki kualitas yang dituju yang dianggap terhadap kelompok.
Allport juga berpandangan bahwa dengan prasangka, seseorang atau sekelompok orang menganggap buruk atau memandang orang lain secara tidak rasional. Hemh, Kalau Gordon Allport bilang tentang prasangka itu disebabkan karena apa? Jawabannya disebabkan karena kategorisasi sosial. Kategorisasi sosial ini ditegaskan lagi olehnya sebagai basis psikologis dari munculnya prasangka. Kategorisasi ini meliputi etnisitas dan tendensi menjaga jarak sosial dengan orang yang dianggap diluar kelompok.
Prasangka terhadap kelompok oleh kelompok, atau kelompok oleh individu bahkan individu oleh kelompok membuat kerenggangan secara sosial, efeknya adalah tidak menjadi satu. Di-Pancasila, sila ketiga jelas kita harus mengimplementasikan “Persatuan Indonesia.” Supaya menjadi kuat karena bersatu. Tapi, kalau disatukan karena pemaksaan apakah itu bersatu, bahkan itu bertentangan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga disuatu hari nanti timbul prasangka terhadap negara. Seperti munculnya gerakan separatisme, gerakan ini muncul karena kondisi masa lalu yang kelam.
Ayo coba kita implementasikan sila kedua dengan menganggap semua manusia itu setara, tidak ada yang lebih superior. Mengambil lirik dari .Feast, band indie dengan lagunya Peradaban dirasa cukup untuk menggambarkan rupa kelamnya implementasi kebebasan beragama.
Asik terdengar ”Bawa pesan ini ke persekutuanmu, Tempat ibadah terbakar lagi….”. Prasangka kelompok dominan yang takut tergusur eksistensinya membuat mereka memberontak dengan cara membakar diluar kelompok. Ini terjadi di Indonesia, tempat ibadah seperti Gereja, Vihara, dll pada momen tertentu mayoritas memiliki alasan menurut pandangannya untuk membakar. Sekali lagi, ini terjadi di Indonesia. Bahkan, diluar negeri seperti di Amerika Serikat, KKK membakar orang kulit hitam atas dasar supremasi kulit putih dan kemurnian ras.
Indonesia kaya akan sumber daya alam, bukan berarti bebas merampas dan mengeksploitasinya. Apalagi yang merasakan kesejahteraannya hanya daerah pemerintahan pusat. Perampasan terjadi, NKRI harga mati tapi banyak yang mati. Timur-Leste dijelaskan selebihnya kalau anda mau membaca Jazz, Parfum dan Insiden karya Seno Gumira Adjidarma.
Tahun 2019, terjadi kesalahpahaman dan menimbulkan prasangka terhadap orang yang tinggal di asrama papua yang pada akhirnya menyulut bara api di Tanah Papua. Media dimatikan, tiba-tiba berseliweran di Twitter masyarakat yang mati. Hentikan semua ini, kita semua bersaudara jangan lagi kita dikendalikan oleh prasangka. Perang bukan jalan kedamaian, Senjata adalah membaca. Pendidikan yang utama bukan eksploitasi atas nama pembangunan.
Sebetulnya yang bangsa ini butuhkan untuk saling memahami adalah dengan membuka pikiran, akan tetapi pikiran lama sering menolak pikiran baru. W.S Rendra greget dengan kondisi pikiran bangsa ini, oleh karena itu puisinya yang berjudul Sajak Anak Muda menyatire betul kepada siapa pun yang membacanya. Biar ku berikan sedikit puisi tersebut dibawah ini yang mungkin dapat membuat kita bisa mengatur prasangka kita.
“….
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
…..”
Kita melihat kabur pribadi orang. Mata kita sebagai yang berpandangan Pancasila seharusnya membuka lebar terhadap perbedaan dan melihat jelas karena kita memakai kacamata yang pas untuk memandang hidup. Namun kacamata itu dipenuhi debu prasangka. Kebrutalan yang akhirnya menjadi jalan hidupnya.
Sependapat dengan Rendra, aku merasa bahwa perlunya pendidikan psikologi yang bisa dikembangkan lebih baik dalam ruang lingkup pendidikan sekolah dasar sampai menengah untuk mengenal diri sendiri guna mengembangkan diri yang lebih baik agar tidak disetir prasangka. Supaya pikiran kita lurus, kita perlu Filsafat. Filsafat Pancasila