Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah berjuang mempertahankan eksistensi dan relevansinya menjelang Pemilu 2024. Sebagai salah satu partai tertua di Indonesia pasca Orde Baru, perjalanan politik PPP kerap diwarnai pasang surut. Kini, tantangan terberat PPP adalah menjaga solidaritas internal dan elektabilitas di tengah persaingan politik yang kian ketat.
PPP lahir pada 1973 sebagai hasil fusi empat partai Islam; NU, Parmusi, PSII dan Perti. Tujuan awal pembentukannya agar rezim Orde Baru lebih mudah mengontrol kekuatan politik umat Islam yang saat itu sedang menanjak.
Lewat berbagai cara, Orde Baru berupaya melemahkan daya tawar PPP. Mulai dari de-islamisasi kebijakan publik, pembatasan aktivisme politik dengan alasan menjaga stabilitas, hingga intelijen yang kerap menciduk kader atau simpatisan PPP yang dianggap membangkang.
Meski besar di bawah tekanan, PPP patut diapresiasi karena tetap konsisten menjadi corong aspirasi dan kepentingan umat Islam serta rakyat kecil di parlemen. Partai ini bahu-membahu dengan partai oposisi lain untuk melakukan kontrol dan kritik atas kebijakan pemerintah yang merugikan publik.
Pasang Surut Perjalanan Politik PPP
Sepanjang pemerintahan Orde Baru, nasib PPP memang selalu bergantung pada belas kasihan penguasa. Partai ini hampir selalu kalah dalam perhelatan Pemilu yang digelar secara periodik oleh rezim Soeharto.
Puncaknya pada Pemilu 1977, di mana PPP hanya mampu meraih 99 kursi atau sekitar 20% suara nasional. Selebihnya dikuasai oleh Golkar dan ABRI yang didukung penuh oleh penguasa.
Satu catatan menarik pada Pemilu 1977 adalah ketika PPP menggandeng penyanyi kondang Rhoma Irama sebagai juru kampanye. Strategi itu terbukti cukup jitu untuk meningkatkan suara PPP, setidaknya di wilayah DKI Jakarta.
Sayang kuasa Orde Baru yang begitu absolut kerap membatasi ruang gerak PPP. Rhoma Irama pun sempat dicekal dan dilarang tampil di panggung hiburan gara-gara dianggap terlalu dekat dengan PPP.
Memasuki era reformasi 1998, nasib PPP sempat menemui titik nadir. Partai ini terpecah belah ke dalam beberapa fraksi dan kehilangan banyak basis massa akibat persaingan politik yang makin ketat di era keterbukaan.
Untungnya, secara bertahap PPP mampu bangkit dan konsolidasi kembali sebagai kekuatan politik Islam moderat yang tetap punya tempat di peta perpolitikan nasional. Lima tahun silam, pada Pemilu 2019, PPP berhasil mengamankan 19 kursi DPR RI untuk periode 2019-2024.
PPP dan Pergulatan Internal Menjelang 2024
Kendati telah berkonsolidasi, perjalanan PPP menuju 2024 ternyata tak ubahnya pelangi pasca hujan. Beberapa dinamika internal belakangan menerpa partai berlambang kakbah tersebut.
Pertama, isu elektabilitas PPP yang kian melorot dalam sejumlah survei lembaga survey nasional menjelang pesta demokrasi 2024. Bahkan, ada survey yang memprediksi PPP tidak akan mampu memenuhi parliamentary threshold sebesar 4% suara nasional.
Kedua, perbedaan sikap dari sejumlah petinggi PPP dalam menentukan dukungan pada Capres-Cawapres 2024. Ketua Dewan Pertimbangan Wijayanto misalnya, nekat mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meski pimpinan partai memberikan dukungan pada Ganjar Pranowo-Emil Dardak.
Kontroversi publik yang ditimbulkan manuver Wijayanto ini jelas tak menguntungkan bagi upaya konsolidasi tubuh partai menjelang pesta akbar demokrasi 2024. Apalagi, Wijayanto kerap menyuarakan dukungan Prabowo-Gibran atas nama ‘suara akar rumput’ PPP.
Selain dua dinamika krusial ini, sejumlah tantangan lain seperti stagnasi keanggotaan, minimnya regenerasi kepemimpinan hingga persoalan konstitusi internal juga masih membayangi masa depan PPP.
Bangkitkan Solidaritas, Kembalikan Eksistensi
Lantas, langkah bijaksana seperti apa yang bisa ditempuh pimpinan DPP PPP untuk mengatasi segala permasalahan internal saat ini? Setidaknya, ada tiga poin penting.
Pertama, DPP PPP musti segera mengkonsolidasikan tubuh partai pasca manuver kontroversial Ketua Dewan Pertimbangan yang menyatakan dukungan lain atas nama ‘akar rumput’ PPP. Langkah tegas dan bijak diperlukan agar tak ada lagi tarik ulur atau faithful capturing dalam tubuh PPP.
Kedua, DPP PPP harus segera menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) atau setidaknya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) guna melakukan evaluasi menyeluruh atas kondisi internal partai saat ini. MLB dan Rakernas dapat menjadi sarana bagus bagi pemimpin sekaligus kader/anggota PPP di semua lini untuk saling mengingatkan dan konsolidasi demi keutuhan partai.
Ketiga, PPP harus menggelar aksi-aksi politik yang lebih atraktif dan massif guna meningkatkan kembali elektabilitas dan simpati publik menjelang 2024. Selama ini, gerakan politik PPP cenderung monoton, elitis dan kurang gairah. Melalui beragam aksi yang lebih segar, ada harapan elektabilitas dan minat publik, terutama generasi milenial terhadap PPP bisa kembali menanjak.
Bagaimanapun, jatuh bangunnya perjalanan politik PPP selama hampir 50 tahun belakangan cukup jadi pelajaran berharga. PPP harus menghayati sejarah untuk tidak salah langkah di masa depan.
Dengan mengedepankan kearifan kolektif dan aspirasi jangka panjang, bukan mustahil partai yang lahir di masa Orde Baru ini tetap eksis memberi warna pada dinamika demokrasi Tanah Air ke depannya.