Sabtu, April 20, 2024

Potret Sepakbola Perancis, Petani, dan Rasisme

Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis
Belajar psikologi sambil menikmati sepakbola

Beberapa bulan sebelum gelaran Piala Dunia 2018, jauh sebelum Hugo Lloris mengangkat piala di tengah hujan, seorang petani zaitun dari Roya Valley (sebuah lembah di perbatasan Prancis-Italia) menjadi buah bibir di Prancis.

Cedric Herrou, nama petani itu, pertama kali menjadi perhatian publik Prancis tahun lalu ketika ia terancam hukuman 5 tahun ditambah denda sebesar € 30.000 karena membantu puluhan migran menyeberang ke Prancis, seperti dimuat dalam Guardian (4/1/2017).

Atas tuduhan tersebut dia dan teman-temannya merasa sedang dianiaya oleh kesepakatan jahat, hukum negara yang tidak adil, dia melawan. Akhirnya bertepatan dengan gemerlapnya Piala Dunia 2018, pak petani tersebut memenangkan gugatannya pada jumat, 13 Juli 2018.

Liberté, égalité, fraternité dan orang gunung

Dalam pembelaannya, Herrou dan teman-temannya menyatakan tindakannya hanyalah reflek “orang gunung”. Mereka hanya mematuhi kode sederhana yang telah dianut petani secara turun temurun, yaitu membantu orang-orang yang tersesat di gunung, memberikan makanan dan pertolongan lainnya demi keselamatan dan kelangsungan hidup mereka. Tidak ada niat ideologis apapun terkait tindakan bantuan tersebut, murni hanya rasa kemanusiaan.

Sebagai sebuah bangsa, Prancis dikenal memiliki tiga prinsip utama, yaitu “liberté, égalité, fraternité” (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan). Prinsip itulah yang menurut mahkamah konstitusi-nya Prancis disebut melindungi Herrou dari segala tuntutan. Hakim menyatakan bahwa fraternité menganugerahkan kebebasan setiap warga Prancis untuk membantu orang lain, demi kemanusiaan, tanpa mempertimbangan kewarganegaraan. Setiap manusia adalah saudara.

Benarkah Eropa (masih) rasis?

Sebuah keputusan yang bukan saja besar karena memenangkan petani atas sebuah negara (Prancis), namun keputusan tersebut dianggap sangat signifikan bagi seantero Eropa yang dianggap semakin memusuhi para migran. Tuduhan yang amat serius bagi bangsa eropa.

Nyatanya, anggapan tersebut bukanlah isapan jempol semata. Lihat saja sepakbola Prancis, dua kali meraih Piala Dunia, dua kali juga skuad tim nasional mereka dipenuhi oleh anak-anak migran. Deschamp membawa 19 dari 23 pemain berbau migran, entah itu anak dari seorang migran ataupun seorang migran tulen. Pranscis seolah-olah ‘terlihat’ sebagai negara yang ramah akan pendatang.

Nyatanya, commission nationale consultative des droits de l’homme (CNCDH) atau komisi hak asasi nasional Prancis dalam rilisnya menyatakan hal yang bertolak belakang. Le Monde (22/3/2018) mempublikasikan data CNCDH yang menyatakan bahwa 40% masyarakat Prancis percaya bahwa Islam merupakan ancaman terbesar mereka. Itu merupakan angka terbesar diantara minoritas lainnya yang kesemuanya tidak ada yang mencapai kepercayaan melebihi angka 80%.

Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin negara yang merepresentasikan dirinya terbuka melalui sepakbola (beragamnya etnis), ternyata memendam prasangka terhadap minoritas. Bahkan bintang utama mereka Pogba dan Kante adalah seorang penganut Islam, merek kaum minoritas.

Lebih jauh, Montaigne Institute mempublikasikan tentang akses laki-laki muslim dan kepercayaan lainnya. Penelitian yang digawangi oleh Marie-Anne Valfort  -dosen senior Sorbonne yang dipublikasikan The Local (9/10/2015) menyebut bahwa di Prancis seorang lelaki muslim hanya memiliki kemungkinan 4,7% untuk dipanggil wawancara kerja dibandingkan 17,9% kesempatan yang diperoleh lelaki katolik.

Itu artinya, akses muslim hanya  ¼ dibandingkan penganut katolik. Jika dibandingkan dengan Yahudi (15,8%), penganut Islam juga kalah jauh untuk mendapatkan akses kerja, padahal Yahudi dibayangi tragedi Holocaust. Bahkan muslim di Prancis disebut mendapatkan perlakuan diskrimasi lebih buruk daripada apa yang diterima keturunan Afrika di Amerika Serikat.

Fakta lain adalah bahwa pada pemilihan presiden terakhir, Marine Le Pen yang merupakan tokoh konservatif mendapatkan 7,6 juta pemilih atau 20% suara nasional. Guardian menyebut fakta tersebut sebagai rekor terbaru perolehan suara kandidat yang diusung partai berhaluan kanan tersebut.

Setelah era Zidane tahun 1998, kita memiliki gambaran bahwa Prancis adalah negara multietnis. Hal tersebut diperkuat dengan slogan yang muncul saat itu, “black, blanc, beur”(hitam, putih, arab) yang mewakili semua elemen tim nasional saat itu. Namun nyatanya selama 20 tahun telah berlalu, Prancis masih menyimpan bara rasisme.

Lagi-lagi sepakbola

Prasangka, sisnisme dan ketidakpercayaan atas komitmen imigran atau minoritas menggambarkan betapa susahnya rasisme dihapuskan. Faktanya, 20 tahun kemudian sepakbola menjadi salah satu dari sedikit jalan yang dapat dilewati para imigran untuk mengangkat harkatnya sebagai manusia.

Bahwa anak-anak imigran bisa mendapatkan kesejahteraan material maupun sosial melalui sepakbola. Sepakbola tetap adem meskipun melewati panasnya bara prasangka rasial. Bahkan dalam perayaan kemenangan, slogan liberté, égalité, fraternité dipelesetkan menjadi liberté, égalité, mbappé. Kita tahu Mbappe adalah bintang muda yang mencetak gol di partai final dan bermain gemilang sepanjang laga. Namun kita juga paham bahwa plesetan tersebut juga bisa diartikan Mbappe sebagai representasi anak imigran, kaum minoritas.

Lihat saja semua gambar yang diabadikan dalam dua kali momen pemberian piala tahun 1998 dan 20 tahun kemudian, 2018. Itulah gambar terhebat yang membantu kita untuk mengenali sejauh mana kita tersesat.

Apakah kita sengaja menyesatkan diri dalam prasangka rasial, ataukah memang mata dan indera kita yang lain telah ditutupi oleh kebalnya kabut sehingga tidak merasakan bahwa ada liyan disekitar kita. Mereka memiliki hak yang sama dengan kita. Sayangnya potret itu ‘hanya’ potret sepakbola. Entah sampai kapan itu menjadi potret asli kehidupan kita. Berbeda, bersama dan bahagia.

Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis
Belajar psikologi sambil menikmati sepakbola
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.