Komunikasi selalu bergerak mengikuti perubahan zaman. Dahulu, orang bisa duduk berjam-jam mengobrol di teras rumah, warung kopi, atau sekadar di ruang tamu sambil menyeruput teh. Obrolan panjang itu bukan hanya tukar cerita, tapi juga wadah untuk memahami emosi, merasakan getar suara, melihat senyum, atau sekadar diam bersama dalam keheningan yang nyaman. Semua unsur itu adalah bagian dari komunikasi interpersonal, sebagaimana dijelaskan dalam teori Social Penetration oleh Altman dan Taylor, yang menekankan pentingnya pengungkapan diri secara bertahap untuk membangun kedekatan emosional.
Namun, ketika percakapan pindah ke layar smartphone, dinamika pengungkapan diri pun ikut berubah. Terutama di kalangan Gen Z yang lahir dan tumbuh bersama internet, media sosial, dan aplikasi chatting. Proses komunikasi yang dulunya perlahan dan berlapis, kini menjadi serba cepat, kadang melompati tahap-tahap penting. Apa dampaknya? Kita melihat generasi yang terlihat selalu terkoneksi, tapi sering merasa kesepian. Dekat di chat, tapi jauh di hati.
Salah satu fenomena yang muncul adalah ghosting. Istilah ini merujuk pada kebiasaan tiba-tiba menghilang tanpa pamit di tengah percakapan atau relasi. Bagi banyak anak muda, ghosting bukan hanya sekadar bentuk ketidakpedulian, tetapi juga strategi bertahan. Mereka memilih diam dan pergi tanpa penjelasan, daripada harus menghadapi konflik atau percakapan canggung yang sulit dirangkai dengan kata-kata. Dari sisi pelaku, ghosting mungkin terasa seperti jalan pintas paling mudah. Namun, bagi yang ditinggalkan, diam mendadak ini bisa menyisakan pertanyaan, luka batin, hingga rasa bersalah yang tidak terjawab.
Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah FOMO, Fear of Missing Out. Dalam budaya digital,rasa takut tertinggal kabar terbaru, tren viral, story teman, atau updateTikTok jadi begitu dominan. Banyak anak muda merasa harus selalu online, memeriksa notifikasi, dan ikut dalam arus informasi, meski hanya sebagai“penonton pasif”. Ironisnya, meski terhubung setiap saat, banyak di antara mereka justru merasakan kekosongan emosional. Relasi sosial memang lebih luas, tapi seringkali dangkal dan cepat berlalu.
Selain ghosting dan FOMO, gaya komunikasi Gen Z juga sangat dipengaruhi oleh dominasi chatting. Bagi mereka, chatting punyakelebihan: bisa diedit, dipikirkan matang-matang sebelum dikirim, atau jika malas, cukup diabaikan. Tak ada tatapan mata yang harus dihadapi, tak ada ekspresi canggung yang perlu dijelaskan. Namun, seperti diingatkan Albert Mehrabian , komunikasi manusia bukan hanya soal kata-kata. Nada suara, intonasi, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah punya peran besar dalam menyampaikan makna dan emosi.Semua unsur ini hilang ketika komunikasi bergeser ke teks.
Pertanyaannya kemudian, apakah kita sungguh-sungguh menjadi lebih dekat berkat kemudahan teknologi? Ataukah justru semakin jauh secara emosional? Gen Z memang piawai membangun jejaring sosial lintas kota, bahkan lintas negara. Mereka cepat menemukan teman baru di komunitas online, grup fandom, atau forum diskusi. Namun, di balik konektivitas itu, ada risiko keterasingan di tengah keramaian digital. Banyak anak muda yang sulit membangun kepercayaan mendalam atau merasa ragu mengungkapkan emosi secara langsung.
Meski begitu, tak adil jika kita hanya melihat perubahan ini dari sisi negatif. Teknologi juga membuka peluang besar, terutama bagi mereka yangintrovert atau memiliki hambatan sosial. Dulu, seseorang yang pemalu mungkin kesulitan memulai percakapan. Kini, mereka bisa lebih percaya diri memulai obrolan lewat teks. Bagi sebagian orang, chatting justru menjadi “jembatan”untuk berlatih mengekspresikan diri sebelum berani berbicara langsung.
Namun, penting untuk diingat bahwa keintiman sejati tak bisa hanya dibangun lewat layar. Balasan cepat di WhatsApp memang memberi rasa terhubung, tapi tidak selalu menggantikan kehangatan tatap muka. Kadang, yang paling kita butuhkan adalah keberanian untuk hadir utuh: mendengar cerita teman tanpa terganggu notifikasi, menatap mata lawan bicara, atau sekadar duduk berdampingan dalam diam yang penuh makna.
Komunikasi digital bukan musuh. Ia hanyalah alat. Bagaimana kita menggunakannya akan menentukan apakah ia mendekatkan atau menjauhkan. Bagi GenZ, kunci keintiman tetap sama seperti generasi sebelumnya yaitu kesabaran, keberanian mengungkapkan diri, dan kehadiran yang tulus. Teknologi boleh saja membantu, tetapi relasi manusia selalu butuh sentuhan hati.
Karena pada akhirnya, secepat apa pun koneksi internet, kedekatan emosional tetap membutuhkan waktu, kejujuran, dan keberanian. Emoji bisa mewakili senyum, tetapi tak pernah bisa menggantikan senyum sungguhan.Notifikasi bisa memberi rasa “diperhatikan”, tetapi tak selalu memberi rasa dicintai. Maka, di tengah derasnya arus digital, kita perlu kembali bertanya:seberapa banyak kita benar-benar hadir, bukan hanya sekadar online? Karena komunikasi bukan sekadar soal pesan yang terkirim, tetapi juga tentang hati yang saling terhubung.