Minggu, Juli 20, 2025

Potret Gaya Komunikasi Gen Z Dekat di Chat Jauh di Hati

Fitri Sarasati
Fitri Sarasati
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi USNI. Mahasiswi Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta.
- Advertisement -

Komunikasi selalu bergerak mengikuti perubahan zaman. Dahulu, orang bisa duduk berjam-jam mengobrol di teras rumah, warung kopi, atau sekedar di ruang tamu sambil menyeruput teh. Obrolan panjang itu bukan hanya tukar cerita, tapi juga wadah untuk memahami emosi, merasakan getar suara, melihat senyum, atau sekadar diam bersama dalam keheningan yang nyaman. Semua unsur itu adalah bagian dari komunikasi interpersonal, sebagaimana dijelaskan dalam teori Social Penetration oleh Altman dan Taylor, yang menekankan pentingnya pengungkapan diri secara bertahap untuk membangun kedekatan emosional.

Namun, ketika percakapan pindah ke layar smartphone, dinamika pengungkapan diri pun ikut berubah. Terutama di kalangan Gen Z yang lahir dan tumbuh bersama internet, media sosial, dan aplikasi chatting.Proses komunikasi yang dulunya perlahan dan berlapis, kini menjadi serba cepat, kadang melompati tahap-tahap penting. Apa dampaknya? Kita melihat generasi yang terlihat selalu terkoneksi, tapi sering merasa kesepian. Dekat di chat, tapi jauh di hati.

Salah satu fenomena yang muncul adalah ghosting. Istilah ini merujuk pada kebiasaan tiba-tiba menghilang tanpa pamit di tengah percakapan atau relasi. Bagi banyak anak muda, ghosting bukan hanya sekadar bentuk ketidakpedulian, tetapi juga strategi bertahan. Mereka memilih diam dan pergi tanpa penjelasan, daripada harus menghadapi konflik atau percakapan canggung yang sulit dirangkai dengan kata-kata. Dari sisi pelaku, ghosting mungkin terasa seperti jalan pintas paling mudah. Namun, bagi yang ditinggalkan, diam mendadak ini bisa menyisakan pertanyaan, luka batin, hingga rasa bersalah yang tidak terjawab.

Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah FOMO, Fear of Missing Out. Dalam budaya digital, rasa takut tertinggal kabar terbaru, tren viral, story teman, atau updateTikTok jadi begitu dominan. Banyak anak muda merasa harus selalu online, memeriksa notifikasi, dan ikut dalam arus informasi, meski hanya sebagai“penonton pasif”.Ironisnya, meski terhubung setiap saat, banyak di antara mereka justru merasakan kekosongan emosional. Relasi sosial memang lebih luas, tapi seringkali dangkal dan cepat berlalu.

Selain ghosting dan FOMO, gaya komunikasi Gen Z juga sangat dipengaruhi oleh dominasi chatting.Bagi mereka, chatting punya kelebihan yaitu bisa diedit, dipikirkan matang-matang sebelum dikirim, atau jika malas, cukup diabaikan. Tak ada tatapan mata yang harus dihadapi, tak ada ekspresi canggung yang perlu dijelaskan. Namun, seperti diingatkan Albert Mehrabian , komunikasi manusia bukan hanya soal kata-kata.Nada suara, intonasi, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah punya peran besar dalam menyampaikan makna dan emosi.Semua unsur ini hilang ketika komunikasi bergeser ke teks.

Pertanyaannya kemudian, apakah kita sungguh-sungguh menjadi lebih dekat berkat kemudahan teknologi? Ataukah justru semakin jauh secara emosional? Gen Z memang piawai membangun jejaring sosial lintas kota, bahkan lintas negara. Mereka cepat menemukan teman baru di komunitas online, grup fandom, atau forum diskusi. Namun, di balik konektivitas itu, ada risiko keterasingan di tengah keramaian digital. Banyak anak muda yang sulit membangun kepercayaan mendalam atau merasa ragu mengungkapkan emosi secara langsung.

Meski begitu, tak adil jika kita hanya melihat perubahan ini dari sisi negatif. Teknologi juga membuka peluang besar, terutama bagi mereka yang introvert atau memiliki hambatan sosial. Dulu, seseorang yang pemalu mungkin kesulitan memulai percakapan. Kini, mereka bisa lebih percaya diri memulai obrolan lewat teks. Bagi sebagian orang, chatting justru menjadi “jembatan”untuk berlatih mengekspresikan diri sebelum berani berbicara langsung.

Namun, penting untuk diingat bahwa keintiman sejati tak bisa hanya dibangun lewat layar. Balasan cepat diWhatsApp memang memberi rasa terhubung, tapi tidak selalu menggantikan kehangatan tatap muka. Kadang, yang paling kita butuhkan adalah keberanian untuk hadir utuh dengan mendengar cerita teman tanpa terganggu notifikasi, menatap mata lawan bicara, atau sekadar duduk berdampingan dalam diam yang penuh makna.

Fitri Sarasati
Fitri Sarasati
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi USNI. Mahasiswi Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.