Perjuangan mempertahankan hak hidup pada periode 2020 ini mendapatkan tantangan yang cukup keras, di mana persoalan kriminalisasi pada pembela HAM di sektor lingkungan hidup semakin meningkat intensitasnya. Pada dasarnya para pembela HAM tersebut menginginkan kebebasan dalam menentukan dan mengatur wilayahya yang bertalian erat dengan kehidupan.
Tapi, kondisi tersebut seakan tidak dilihat oleh pemerintah, pola umum yang sering kita jumpai yakni atas nama pembangunan nasional, perampasan ruang yang difasilitasi negara semakin masif dan eksplosif. Dampaknya para pembela HAM di sektor lingkungan hidup hajar habis-habisan oleh mereka yang seharunya menjamin, memberikan dan menegakkan HAM.
Berdasarkan catatan yang penulis tandai dari pemeberitaan media dan info jaringan, kurang lebih ada 8-9 orang yang dikriminalisasi hanya untuk di dua tempat, yakni Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengahdan Jawa Timur. Beberapa orang harus mengalami kekerasan, beberapa lainnya harus mendekam di jeruji besi, diperlakukan tidak layak sebagai manusia.
Nelayan Kondingareng Melawan Boskalis
Di Sulawesi Selatan, di wilayah pulau kecil bernama Kodingareng. Pulau tersebut sekarang berada dalam ancaman serius, di mana ada praktik penambangan pasir laut oleh PT. Boskalis untuk proyek reklamasi New Port Makassar. Penambangan pasir tersebut menganggu wilayah tangkap nelayan Kodingareng. Wilayah operasi dari Boskalis ada di antara perairan Galesong, Takalar dan Kepulauan Sangkarang, yang di wilayah tersebut terdapat wilayah tangkap nelayan. Tentu kondisi itu membuat nelayan resah, karena wilayah tangkapnya diobok-obok sehingga berimplikasi pada hancurnya ekosistem laut.
Kondisi tersebut memaksa nelayan tradisional Kodingareng untuk melawan aktivitas pertambangan tersebut. Semua itu dilakukan untuk melindungi kehidupannya, khususnya wilayah tangkap ikan dan ekosistem pulau yang mereka tinggali. Namun apa yang dilakukan oleh para nelayan ini mendapatkan respons agresif aparat keamanan, mereka harus direpresi hingga dikriminalisasi atas aksi-aksinya. Aliansi Selamatkan Pesisir mencatatkan bahwa selama bulan September ada penangkapan terhadap 11 orang (7 nelayan, 3 aktivis pers mahasiswa, dan 1 aktivis lingkungan).
Salah satu korban dari penangkapan tersebut adalah Pak Manre, ia merupakan nelayan tradisional yang menjadi penggerak perlawanan nelayan. Ia ditangkap karena dianggap menistakan simbol negara atas tuduhan merobek uang resmi. Apa yang dilakukan Pak Manre adalah respons kekecewaan atas pelecehan yang dilakukan oleh korporasi yang mencoba “menyogok” nelayan dengan uang ratusan ribu. Pak Manre pun mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya ia dapatkan, intimidasi, represi hingga pelanggaran atas haknya sebagai warga negara.
Dayak Kinipan Melawan PT. SML
Di lain tempat, seorang masyarakat adat Dayak Kinipan yang bernama Efendi Buhing di Kalimantan Tengah harus mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan. Ia diperlakukan bak teroris oleh aparat keamanan saat mereka akan melakukan penangkapan atas Pak Buhing. Dalam video yang beredar Pak Buhing dikepung oleh belasan aparat bersenjata lengkap, lalu ia diseret oleh banyak aparat saat penangkapan paksa tersebut. Usut punya usut Pak Buhing ini ditangkap atas laporan perusahaan sawit PT. SML, karena perampasan alat perusahaan.
Apa yang diperlakukan kepada Pak Buhing menunjukan betapa upaya melindungi ruang hidup begitu berat. Pak Buhing sendiri adalah ketua adat Dayak Kinipan yang hutan adatnya tengah dihancurkan oleh PT. SML yang tak lain dimiliki oleh oligarki lokal Kalimantan Tengah. PT. SML ini mendapatkan izin eksploitasi hutan seluas 3.689,1 hektar, melalui melalui izin dari ATR/BPN untuk HGU-nya dan KLHK untuk izin pelepasan hutan. Total ada sekitar 3.688 hektar hutan adat yang raib (hasil penelaahan peta HGU dan wilayah adat di Kementerian ATR/BPN, Agustus 2019) akibat eksploitasi PT. SML. Perusakan hutan adat untuk perkebunan sawit tentu menimbulkan perlawanan dari masyarakat Dayak Kinipan, karena ruang hidupnya dirusak dan dihancurkan.
Petani Hutan Melawan Perhutani
Sementara itu di Jawa Timur, seorang petani hutan bernama Supon dari Desa Bayu, Banyuwangi yang wilayahnya merupakan tapak program Perhutanan Sosial, harus menghadapi masalah yang cukup berat.
Pasalnya ia tiba-tiba didatangi oleh puluhan aparat kemananan yang ditugaskan menangkapnya. Supon dituduh melanggar UU P3H 2013, karena mengambil kayu dari wilayah kerja Perhutani. Padahal Supon hanya memungut kayu yang berdiameter tak lebih dari 1-2 cm di bekas tebangan Perhutani untuk membuat kandang ternak. Kayu tersebut digeletakkan dan ditinggalkan begitu saja, sehingga Supon menganggapnya tidak digunakan lagi.
Tentu apa yang dialami oleh Supon bukan kasus yang pertama kali terjadi, jauh sebelumnya banyak petani hutan yang tidak salah dikenakan tuduhan serupa. Sebelumnya Perhutani juga sempat melakukan kriminalisasi pada Satumin yang merupakan tetangga Supon, ia dituduh degan pasal yang sama.
Konteks HAM dalam Konflik Lingkungan
Represivitas atas nama investasi seringkali terjadi, tak terkecuali pada tiga contoh kasus di atas. Tindakan semena-mena tersebut paling tidak merupakan sebuah langkah yang menghianati konstitusi sebagai dasar hukum yang fundamental, bertentangan dengan semangat demokrasi dan pemenuhan HAM. Sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 28 G perlindungan hak dan pasal 28 H tentang hak hidup, secara dasar negara telah menjamin kehidupan warga negaranya, tetapi semua itu dilanggar demi investasi.
Tindakan represif yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat, sangat bertentangan dengan Toture Convention. Ratifikasi internasional tersebut dituangkan dalam UU No 5 tahun 1998, terkait Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Tindakan-tindakan di luar batas negara melalui aparat keamanan merupakan tindak penyiksaan.
Secara harfiah penyiksaan berarti perlakuan yang disengaja yang menimbulkan rasa sakit baik jasmani maupun rohani. Tindakan menyeret, memukuli, menangkap dengan senjata lengkap tanpa perlawanan, merupakan tindakan yang disengaja dan menyiksa. Konvenan ini secara kerangka dasar mengharamkan tindakan represif kepada rakyat yang menolak tunduk akibat dipaksa menyerahkan tanah atau hutannya.
Apa yang dilakukan rakyat dalam melindungi ruang hidupnya juga termasuk hal yang dilindungi dalam UU No 12 tahun 2005 yang merupakan penerapan dari International Covenant on Civil and Political Right, khususnya pasal 6 yang berbunyi:
“Menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.”
Terakhir, apa yang dialami oleh ketiga pembela HAM Lingkungan Hidup dan mungkin oleh banyak rakyat lainnya, karena mempertahankan hak atas hidup di wilayahnya, merupakan bentuk pembangkangan atas konstitusi. Indonesia sebagai negara masih belum menjadikan HAM sebagai prioritas, malahan semakin direduksi dan coba dihilangkan. Secara kontekstual memang negara yang cenderung dikangkangi oleh Oligarki akan berwatak anti HAM, karena wujudnya lebih otoriter dan anti terhadap demokrasi.