Istilah post-truth pernah diungkapkan oleh Steve Tesich pada tahun 1992 di majalah The Nation, ia merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi pada masa tersebut.
Tesich menekankan bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan bahwa kita ingin hidup di dunia post-truth”. Jauh setelah itu, pada tahun 2004, Ralph Keyes dalam bukunya yang berjudul The Post-truth Era mempopulerkan istilah yang berhubungan dengan post-truth yaitu truthiness yang kurang lebih mengandung makna sebagai sesuatu yang seolah-olah benar meski tidak benar sama sekali.
Saat ini, kita mengenal Post-truth Era sebagai suatu masa dimana fakta objektif tidak lagi menjadi patokan dalam membentuk opini publik. Sebaliknya, opini publik—dalam post-truth era—justru lebih banyak ditentukan oleh sentiman, keyakinan, atau kepercayaan golongan.
Ungkapan Post-truth Era sendiri mencapai puncaknya dalam pembicaraan publik pada tahun 2016 ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat dan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa sebagai hasil referendum. Keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa ini kemudian dikenal dengan sebutan Brexit (British Exit). Masih banyak lagi barangkali hal-hal serupa yang terjadi di berbagai negara di dunia seperti yang terjadi di Brazil dan Perancis pada masa pemilihan presidennya.
Meski istilah post-truth baru menjadi perhatian dunia dalam beberapa tahun belakangan namun apakah post-truth benar-benar baru terjadi beberapa tahun terakhir ini? Jika mengacu pada definisi bahwa post-truth adalah suatu kondisi dimana opini publik ditentukan oleh sentimen kelompok ketimbang realitas objektifnya atau dalam bahasa yang lebih sederhana sebagai sesuatu yang terlihat seolah-olah benar namun sebenarnya tidak sama sekali maka sesungguhnya gejala-gejala semacam ini telah muncul sejak masa-masa yang lalu.
Di era Nazi Jerman misalnya, rakyat Jerman saat itu dipukau dengan berbagai pidato dan propaganda-propaganda ultra-nasionalis yang menyatakan bahwa Bangsa Jerman sebagai keturunan Ras Arya lebih unggul daripada ras-ras lainnya sehingga berhak berkuasa diatas bumi dan bahkan dengan melakukan genosida ras-ras lain yang dianggap sebagai benalu.
Pada masanya, pandangan yang berakar dari propaganda Nazi ini mendapatkan sambutan yang sangat terbuka oleh rakyat Jerman yang sedang bangkit setelah terpuruk sejak kekalahannya pada Perang Dunia I. Barangkali kondisi psikologis rakyat Jerman yang baru saja keluar dari keterpurukan pasca perang menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kondisi emosi mereka untuk mengamini propaganda itu.
Saat ini, pandangan semacam itu sudah tidak lagi dapat diterima sebagai kebenaran. Hasil penelitian terbaru dari para ahli biologi menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara ras tertentu dengan keunggulan genetik dibanding ras lainnya. Dengan kata lain, biologi membuktikan bahwa tidak ada suatu ras spesifik tertentu yang lebih superior atas ras lainnya.
Namun, tidak ada yang membahas mengenai post-truth pada masa itu. Apa yang dilakukan Nazi dan yang diyakini oleh rakyat Jerman saat itu hanya dikatakan sebagai sebuah propaganda biasa dan bukannya dinyatakan sebagai salah satu bentuk post-truth. Penulis sendiri memiliki dua hipotesis mengapa hal ini dapat terjadi.
Pertama, propaganda atau wacana yang ada tersebar secara relatif lama dan bertahap bahkan hingga bergenerasi-generasi sebelum menjadi opini publik yang diterima secara luas di masyarakat. Keterbatasan instrumen komunikasi dan informasi adalah beberapa faktor yang berperan penting dalam kecepatan arus informasi.
Pada masa-masa itu teknologi belum secanggih sekarang. Penyebaran informasi berupa nilai dan norma secara bertahap ini memungkinkan orang-orang menyesuaikan diri sehingga tidak terjadi pergolakan tiba-tiba seperti pada era teknologi informasi canggih saat ini.
Sementara, kondisi yang jauh berbeda terjadi saat ini. Saat ini penetrasi internet di seluruh dunia bahkan telah mencapai 52,96% atau 4 miliar dari total 7,59 miliar populasi penduduk dunia. Pengguna media sosial ditaksir mencapai angka 3,2 miliar akun di seluruh dunia. Tidak sampai disitu perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berkembang sangat pesat, saat ini, dengan teknologi generasi kelima (5G) diklaim memiliki tingkat kecepatan hingga mencapai 800Gbps atau setara 100 kali kecepatan pada teknologi 4G.
Selain itu, teknologi ini memungkinkan terkoneksi dengan berbagai peralatan lainnya yang menunjang kehidupan sehari-hari manusia atau yang dikenal dengan istilah Internet of Things (IoT). Dapat dibayangkan, secepat dan semudah apa informasi dapat disalurkan di era ini. Kedua, ketika informasi yang disebarkan tersebut diterima secara luas sebagai sebuah kebenaran.
Ia cenderung diamini oleh semua orang tanpa ada kontra wacana yang berarti. Subjek-subjek yang meyakini suatu hal, baik nilai, norma, maupun hal lainnya membentuk intersubjektivitas, yaitu suatu hal yang diyakini bersama secara luas sebagai sebuah kebenaran. Terlepas apakah hal tersebut selaras dengan realitas objektifnya.
Oleh karena itu, fenomena abad 21 yang disebut Post-truth Era yang sering diberitakan di berbagai media massa dan berbagai kalangan—termasuk oleh para politisi—dalam konteks ini dapat terjadi karena dua faktor utama, yaitu: Pertama, arus informasi yang cepat dan masif, yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi.
Kecepatan arus informasi inilah yang dapat menimbulkan pergolakan atau reaksi yang cepat pula seperti yang terjadi di dunia saat ini. Kedua, adanya counter terhadap wacana yang menyebar ditengah masyarakat. Counter wacana ini dapat berupa kemampuan mendeteksi ketidakbenaran dan ketidakvalidan perihal info yang menyebar tersebut. Hal ini dimungkinkan dengan adanya akses dan demokratisasi terhadap ilmu pengetahuan. Tanpa dua hal ini, tidak ada post-truth, yang ada hanyalah kebohongan dan propaganda biasa.
Paradoks Post-Truth
Isu post-truth memang dapat bermanfaat bagi individu-individu untuk lebih waspada dan bijaksana dalam menyikapi berbagai informasi yang tersebar atau pun yang disebar. Terutama yang berkaitan dengan adanya kemungkinan manipulasi terhadap pikiran dan perilaku individu yang ditargetkan. Namun, sangat mungkin, seperti yang barangkali sudah terjadi saat ini. Isu post-truth ini sendiri yang kemudian dijadikan alat propaganda untuk menyerang suatu golongan, kelompok, atau lawan politik tertentu.
Maka, fenomena post-truth tidak perlu disikapi untuk mencari siapa yang bertanggung jawab atas isu-isu atau informasi yang tersebar, siapa yang salah dan siapa yang benar. Ketimbang memandang fenomena post-truth dengan cara seperti itu, lebih bijak jika menyikapi dan memandang fenomena post-truth sebagai hanya bagian dari dampak atau pun gejala dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, yang masif dan demokratisasi dalam akses ilmu pengetahuan sehingga memungkinkan adanya diskursus publik tentang fenomena yang sedang terjadi. Juga, yang perlu dan penting untuk diingat, post-truth seringkali menjadi alat propaganda politik para elit untuk memperebutkan kekuasaan.