Kita umat muslim seluruh dunia sedang menyambut dengan bahagia atas hari kelahiran nabi SAW, yang kita peringati setiap tanggal 12 rabiul awal. Baik itu dari kalangan sunni maupun syiah. Di Indonesia sendiri, tidak luput dari dari euforia tersebut.
Namun yang menjadi problematika adalah ketika adanya usaha untuk menggesekan diantara kelompok satu dengan yang lain. Mereka saling membidah-bidahkan satu sama lain, terutama mengenai masalah maulid, qunut, dll.
Yang menjadi perhatian kita akhir-akhir ini adalah mencoba untuk membenturkan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Mereka mulai lagi membawa sentimen bahwa “ini-itu bidah, tidak sunnah” dan lain-lain, yang mana sebenarnya perdebatan tersebut sudah beres sejak lama.
Di Muhammadiyah sendiri persoalan “bidah-bidah”, jika kembali merujuk ke Putusan Tarjih, sudah tidak lagi menunjukan adanya sentimen, begitu pun di NU. Sehingga secara hakikat NU dan Muhammadiyah, sudah tidak ada lagi perbedaan yang signifikan. Mereka pun sama-sama berada dalam koridor moderat. Sebagai contoh mengenai maulid, Muhammadiyah dengan tegas mengatakan
“Secara umum tidak ada dalil asal yang melarang atau memerintahkan penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi. perayaan peringatan Maulid Nabi tergolong perkara ijtihadiyah, sehingga tidak ada dalil kewajiban maupun larangan untuk melaksanakannya. Akan tetapi ada hal-hal yang perlu diperhatikan, di antaranya bahwa dalam peringatan Maulid Nabi tersebut jangan sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang yang dapat merusak inti dari perayaan tersebut yaitu semata-mata untuk memuliakan Nabi Muhammad saw.” (tarjih Muhammadiyah)
Artinya sudah clear. Dan fatwa-fatwa lain yang kerap kali dibenturkan pun tidak jauh beda dengan fatwa maulid yang tidak mengandung unsur sentimen. Dengan itu kita sepakat untuk mengatakan bahwa NU-Muhammadiyah itu tidak ada lagi perbedaannya, sama-sama moderat.
Bahkan klaim tradisionalis-moderat sudah sedikit demi sedikit luntur, sebab bagaimana pun juga mereka berusaha untuk tidak terjebak pada kejumudan gerakan. NU berusaha memodernisasi gerakan dengan memangun rumah sakit, sekolah, dll. Begitupun Muhammadiyah yang mulai membangun kader bawah dengan pondok pesantren dll.
Tetapi kini sentimen konyol tersebut berusaha dimuncul kembali ke permukaan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Siapakah mereka?
Menurut Kuntowijoyo, tipologi islam di Indonesia terbagi menjadi tiga pengelompokan yakni Fundamentalis-Radika, Moderat, dan Liberal. Disini saya akan sedikit banyak menyinggung kelompok pertama karena bagi saya mereka lah yang menjadi oknum permasalahan islam di negeri kita hari ini.
Pertama, fundamentalis-Puritan, kelompok ini mengakarkan pergerakannya dalam tiga bentuk, yakni salafi-wahabi, salafi-jihadi, dan salafi-politik. Dalam perkembangannya salafi-wahabi lah yang sekarang sedang gencar untuk berdakwah menyerukan “kembali ke Al-Quran dan Sunnah” dan meneriakkan “bidah” untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka.
Dakwah strategis melalui media sosial Youtube, Instagram, dan lain-lain mendapat animo yang besar dari masyarakat. Bisa dilihat dari akun media yang bernamakan Kh-B, Yufid, Rodja dll yang mendapat banyak pengikut. Adapun salafi-jihadi yakni mereka yang menginginkan tegaknya syariat di negeri ini.
Meski Sekarang organisasi bentuk ini di Indonesia sudah dibubarkan, yakni HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), namun paham yang menjadi basis pemikiran mereka patut diperhatikan. Adapun organisasi yang memiliki kecenderungan bentuk ini, yakni FPI (Front Pembela Islam).
Dan Salafi-Politik, yang membentuk sayap pergerakan islam ke ranah politis. Secara dominan bentuk ini dirahimi oleh pergerakan dari mesir, yakni Ikhwanul Muslimin yang dipelopori oleh Hasan Albana. Di negeri kita, mereka melebarkan sayap nya melalui partai (Partai Keadilan Sejahtera/PKS), pergerakan mahasiswa (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia/KAMMI), dan sekolah-sekolah yang pada umumnya berlebel ‘Islam Terpadu’.
Mereka lah kalangan yang berusaha mengacaukan islam yang sudah mapan di negeri ini. Sudah barang umum bahwa provokasi tersebut dilakukan oleh mereka melalui media sosial, mulai dari Youtube, Instagram, Facebook, dan lain-lain.
Yang mana mereka sekarang dikategorikan sebagai kalangan yang fundamentalis-radikal (oleh negara). Kekacauan tersebut tidak hanya berakhir di media saja, tetapi juga berusaha untuk masuk kedalam (infiltrasi), yang menjadikan para anggota tidak lagi hidup sesuai khittahnya (garisnya).
Kedua, moderat, yang menjadi ‘chain of equivalence’ antara NU dan Muhammadiyah. Dan ketiga, Liberal, yang mana Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan salah satu bentuk organisasinya.
Agenda kedepan bukan lagi membenturkan kedua ormas islam tersebut. Tetapi membangun bersama jalinan kesamaan untuk membangun Indonesia. Serta memerangi bersama yang menjadi musuh kita, yakni kebodohan, kebiadaban sistem ekonomi-politik, kemiskinan dan dehumanisasi.