Sabtu, April 27, 2024

Poskolonialisme Negara pada Masyarakat Dani

Muhammad Ilyas Samando
Muhammad Ilyas Samando
Seorang mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Indonesia yang senang melakukan perjalanan dan tertarik pada isu sosial-budaya serta olahraga

Isu pakaian koteka di pengadilan Negeri Jakarta Pusat kali ini viral karena ditolak. Hal ini menarik perhatian kita semua bagaimana negara memandang suatu kebudayaan. Kebudayaan merupakan seluruh cara kehidupan dari masyarakat mana pun dan bukan hanya mengenai sebagian dari cara hidup yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan (Ihromi, 1999).

Dalam hal ini, antropologi melihat masyarakat dengan konsep relativisme budaya di mana suatu budaya dilihat dari suatu kelompok yang mempunyai kebudayaan tersebut. Pakaian merupakan salah satu bentuk dari kebudayaan, di mana suku Dani mempunyai pakaian adatnya sendiri.

Namun akhirnya, karena perbedaan pandangan mengenai pakaian ‘yang baik’ antara pemerintah dengan suku Dani menjadi sebuah permasalahan yang terjadi pada suku Dani itu sendiri.

Selama bertahun-tahun sebelum kemerdekaan, Indonesia dijajah oleh Belanda sehingga banyak peninggalan pemikiran dari Belanda yang tertanam dan menjadi warisan untuk bangsa Indonesia, termasuk dalam pola pikir dan cara pandang pemerintah dalam membangun kebijakan untuk masyarakat

Kebijakan pemerintah 

Suku Dani dikenal dengan pakaian mereka yang begitu khas. Menurut (Nahuway, 2014) pada umumnya pakaian pria suku Dani sehari-hari adalah holim (sebuah penutup alat kelamin) atau yang biasa disebut Koteka yang berasal dari kulit labu. Holim ini dipakai dengan cara mengikatkannya pada pinggang, sehingga holim tersebut bisa berdiri ke depan, pada ujungnya sering di berikan bulu kus-kus.

Anak laki-laki baru akan memakai holim setelah berumur 5 tahun. Sedangkan pakaian wanita Dani biasanya memakai sale (rok) yang berasal dari beberapa lapis jerami yang diikatkan di pinggang. Pakaian lain yang di gunakan khusus di pakai oleh wanita yang telah menikah di sebut Yokal lebih tipis dan hanya dipakai dibagian depan saja.

Pada awalnya kebijakan menggantikan pakaian yang menurut pandangan barat adalah primitif diawali dari para misionaris Belanda yang menempatkan pos pertama mereka di Papua pada 1855. Menurut berita yang diambil dari historia.id (Sitompul, 2017) ketika itu para misionaris mendorong masyarakat pedalaman untuk meninggalkan kebiasaan berkoteka. Bagi yang mau bersekolah, mereka memberikan setelan pakaian lengkap.

Selanjutnya ketika Belanda sudah hengkang dan Papua menjadi bagian dari Indonesia, terdapat pula program-program dan kebijakan lainnya yang dibawa oleh pemerintah untuk membuat masyarakat suku Dani beralih menggunakan pakaian yang lebih ‘beradab’ atau pemerintah sendiri menyebut pakaian mereka ketika itu sebagai pakaian yang ‘primitif’. Lahirlah operasi koteka yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat yang bertujuan untuk mengadabkan orang-orang di daerah Papua (Rahab, 2016).

Operasi tersebut meliputi bidang sosial, politik, serta ekonomi yang berpusat di Jayapura bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup juga mengembangkan kebudayaan rakyat. Tahap pertama dimulai 17 Agustus 1971, dengan sasaran operasi meliputi Wamena (Lembah Baliem), Enarotali (sekitar Danau Paniai), dan Wagete (sekitar Danau Tigi).

Dalam artikel (Sitompul, 2017) Operasi ini ditempatkan di bawah Task Force Pembangunan Masjarakat Pedalaman Unit IV dengan nama Bimbingan Masjarakat Pedalaman. Dalam operasi ini menyasar pula terhadap pakaian-pakaian yang dikenakan oleh suku Dani dengan membagi-bagikan pakaian gratis untuk masyarakat setempat. Laki-laki mendapatkan dua potong celana pendek berbahan kain dan untuk perempuan mendapat sehelai sarung katun.

Praktik poskolonialisme

Post Colonialism merupakan wujud bahwa kita masih percaya dengan konstruksi-konstruksi kolonial. Kata post sendiri menggambarkan sesuatu sesudah fase kolonialisme selesai dengan implikasi sesudah dijajah dengan adanya warisan secara ideologis dari kolonial, termasuk kebijakan yang dikonstruksi oleh kolonial.

Edward Said sendiri mengkritik post colonialism dengan memberikan sumbangsihnya tentang orientalism dimana menjelaskan sebuah ideologi yang timur, dalam artian bagaimana timur menjadi ideologi termasuk pembenaran bagaimana mereka menjajah. Juga terdapat pemikiran bahwa jika timur itu primitif bagaimana kita menjajah agar orang timur ini menjadi sejahtera, dalam hal ini terdapat  sangkut paut dengan konstruksi bahwa orang timur itu terbelakang.

Pada masa kolonialisme, barat melihat pakaian pada suku Dani sebagai pakaian yang primitif, tidak beradab, sehingga pemerintah kolonial saat itu beserta misionaris Belanda menganggap diri mereka bertanggungjawab untuk mengadabkan mereka. Dengan mengganti pakaian suku Dani dengan pakaian yang biasanya dikenakan oleh orang barat menjadi kewajiban untuk mengadabkan suku Dani.

Cara pandang inilah yang akhirnya dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan serta program suku Dani dan pemerintah merasa bertanggungjawab untuk mengadabkan suku Dani dan membuat operasi koteka sebagai bentuk rasa tanggungjawabnya. Namun hal tersebut justru bukannya membuat taraf hidup suku Dani lebih baik melainkan timbul masalah lainnya yang dihadapi suku Dani.

Permasalahan tersebut akhirnya muncul ketika suku Dani mulai diberikan pakaian, dan ternyata mereka tidak pernah mengganti pakaian mereka hingga pakaian yang mereka kenakan sobek-sobek. Dan hal tersebut membuat banyak suku Dani yang mulai terserang penyakit gatal-gatal, kudis serta koreng.

Selain itu mereka yang biasanya memakai minyak babi untuk menghangatkan tubuh justru harus memakai pakaian dan mereka terserang penyakit flu yang biasanya mereka tidak terkena penyakit tersebut. Dilansir situs berita merdeka.com, ketika mempunyai pakaian harus juga mempunyai deterjen untuk mencuci pakaian.

Masalah lainnya muncul, para suku Dani mulai mengenal uang untuk membeli barang mewah seperti detergen. Program pendidikan untuk suku Dani membuat permasalahan semakin pelik. Mata pencaharian utama suku Dani untuk mendapatkan uang adalah menanam ubi, ubi tersebut kemudian dijual.

Namun, mereka tidak lagi bisa berladang sebab mereka diwajibkan sekolah. Sehingga banyak sekali dampak dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang pada ujungnya justru memberikan derita kepada masyarakat suku Dani.

Pemerintah harus melihat lebih dalam lagi dalam membuat suatu kebijakan mengenai suku Dani. Indonesia sendiri sudah terbentuk konstruksi kolonial mengenai ideologi serta pemikiran yang diwariskan. Pada akhirnya karena kebijakan yang dibuat tidak matang dan menyengsarakan masyarakat setempat.

Perlu juga melihat budaya disana sebelum membuat kebijakan dalam hal ini melihat masyarakat sebagai sudut pandang utama. Sehingga pemerintah menjadi lebih tahu mengenai apa-apa yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat, bukan dari kerangka pemikiran dari pemerintah. Sehingga kerangka yang dibangun adalah bentuk dari post colonialism dengan menganggap standar kebudayaan yang dimiliki oleh pemerintah lebih tinggi dibandingkan masyarakat pedalaman.

Mungkin banyak praktik lainnya selain dalam kasus ini. Dengan begitu, mari kita lihat sejauh mana Pemerintah Indonesia bijak dalam membuat kebijakan. Isu Papua selalu menjadi hal yang sensitif, namun sekali lagi bagaimana kita bijak dalam menghadapi berbagai kejadian sekarang ini.

Muhammad Ilyas Samando
Muhammad Ilyas Samando
Seorang mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Indonesia yang senang melakukan perjalanan dan tertarik pada isu sosial-budaya serta olahraga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.