Minggu, Oktober 6, 2024

Politik Sekolahan dan Minimnya Pendidikan Politik

Azi Satria
Azi Satria
Bekerja sebagai komikus dan ilustrator. Senang mendiskusikan sastra, sejarah dan manusia. Menulis ketika senggang.

Nelty Khairiyah, guru SMA Negeri 87 Jakarta Selatan beberapa waktu lalu menggemparkan dunia pendidikan Indonesia. Dugaan mengenai doktrin politik yang disampaikannya di dalam kegiatan belajar mengajar membuat semua orang bertanya-tanya, mana yang perlu disalahkan, politik atau pendidikan?

Banyak orang tua yang gelisah, ada pula guru-guru yang sama gelisahnya karena takut terjerat hukum seperti Nelty. Walau sejatinya politik praktis sangat tidak diperbolehkan untuk dilakukan di dalam lembaga pendidikan, masih banyak yang membawa ego pribadi ke ruang kelas.

Tjahjo Kumolo sebagai Menteri Dalam Negeri boleh saja berargumen bahwa sosialisasi politik bisa dilakukan di ruang kelas. Sebagaimana ia katakan pada hari rabu tanggal 10 Oktober 2018 lalu.

“Enggak ada masalah, kan sekolah-sekolah, pondok pesantren, punya hak pilih, SMA kan punya hak pilih,” kata Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Tapi ini diluar batas kewajaran. Apabila Tjahjo Kumolo menganggap ini hal remeh temeh, tentu tidak apabila dilihat dari kacamata pelajar. Siswa SMA tentu sudah bisa dikatakan beberapa bisa menggunakan hak pilihnya, tapi problemnya lembaga pendidikan bukanlah tempat yang bisa dipakai sembarangan untuk berkampanye ria.

Anggapan-anggapan yang mengabaikan ketetapan hukum yang berlaku seperti ini membuat kasus-kasus serupa akan lebih sering muncul dan tak terkendali. Belakangan, pada 18 Oktober 2018 di SMP 127 Jakarta, Mohammad Arief diseret ke meja hukum karena terduga membagi-bagikan paperbag berisi atribut kampanye dirinya menjadi caleg mewakili Gerindra.

Kasus Mohammad Arief yang membagi-bagikan atribut kampanye dalam rapat kepada guru-guru dan murid serta doktrin politik Nelty di sekolah menjadi cermnan dari kekacauan di negeri ini.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 280 ayat 1 huruf h mengatur bahwa “pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Citra guru sebagai pendidik harus tercoreng apabila undang-undang diabaikan dan tidak dilirik sama sekali.

Sekolah, sebagai lembaga pendidikan harus netral dari kampanye politik, apalagi jika menimbulkan kebencian dan memupuk mental buruk di dalam tubuh siswa. Praktik politik di dalam kelas haruslah bersih, menginformasikan tata cara serta definisi politik yang baik, terbuka dan netral.

Praktik politik menjelang tahun pilpres memang selalu panas dan menjadi sorotan utama, tapi biarkanlah itu semua bergema hanya di televisi dan sosial media. Lembaga pendidikan harus bersih dari kampanye menyesatkan, berpotensi hoaks serta menimbulkan kebencian.

Jika kita hendak meninjau dari sudut pandang pendidikan, tidak ada yang berbeda, guru seharusnya netral dan memberikan keleluasaan pada siswa mengenai pandangan politik, bukannya memaksakan praktik politik hanya dari satu sisi.

Seperti yang diatur dalam UU No 43 Tahun 1999 pasal 3 yang berbunyiDalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Pegawai negeri, dalam hal ini termasuk guru sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang perlu netral dari berbagai macam pengaruh politik. Begitu juga dengan pelayanan terhadap masyarakat atau siswa, tentu tidak memihak pada kubu-kubu tertentu dan mengabaikan potensi terjadinya kebencian yang bisa terus berlanjut.

Peran guru yang seharusnya mendidik siswa-siswi penerus bangsa menjadi harapan masa depan justru malah dihancurkan dengan munculnya praktik-praktik kampanye terselubung. Apakah pendidikan sudah memaksimalkan dirinya sampai sejauh ini?

Sebagai pelaku pendidikan, saya seorang siswa yang mendapatkan guyuran materi politik serta demokrasi sejak Sekolah Dasar, dan saya rasa kita semua mengalaminya. Jika dahulu ada PMP atau Pendidikan Moral dan Pancasila, kini ada Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) yang bertugas memberikan materi demokrasi, politik dan moral.

Selain Pendidikan Kewarganegaraan, ada pula pelajaran Sosiologi yang sedikit banyaknya menyinggung permasalahan sosial-politik, itu pun tidak maksimal, karena fokusnya bukan dalam pendidikan politik.

Nah, selain dua pelajaran itu, mata pelajaran lain memberikan kontribusi minim bagi pendidikan politik siswa. Tidak adanya pendidikan politik yang lebih mendalam bagi siswa membuat pemikiran kritis pelajar tumpul kepada politik dan kenegaraan.

Pemikiran rasional, kritis sekaligus aktif lebih dibutuhkan dalam perkembangan remaja saat ini. Ditengah gempuran hoax yang terus terjadi hingga black campaign yang terjadi dimana-mana perlu adanya sikap kritis tumbuh di dalam diri seorang pelajar.

Pendidikan harus lebih berperan aktif dalam memberantas kebodohan, membentuk generasi bangsa yang lebih berpikir matang dan jernih. Menyikapi masa depan, globalisasi dan arus media yang semakin lama semakin berkembang tidak menentu harus dibekali dengan kritis dan aktif.

Dalam hal itu pula, pendidikan politik ada baiknya segera ditingkatkan bersama dengan pendidikan yang benar-benar melibatkan siswa berpikir dalam proses belajar mengajar. Pelajar harusnya dibekali dengan senjata berupa kejernihan berpikir logis sebelum terjun ke dalam masyarakat. Tentu tidak dengan cara berkampanye di depan kelas.

Ada corak yang masih konservatif dan primitif dalam sistem pendidikan kita, yakni anggapan bahwa politik terlalu berat apabila diajarkan sejak bangku sekolah. Tapi setelah terjadi drama hoaks dan kasus-kasus menjengkelkan dalam panggung politik kita, tentu anggapan lawas itu perlu kita kaji dan pikirkan kembali.

Apabila kita tidak bisa mengubah dinamika politik yang kian menurun citranya dengan hoaks, playing victim, serta muatan SARA di dalamnya, cara yang lebih mudah mari kita selamatkan generasi penerus bangsa dari corak politik yang sama.

Dengan adanya proteksi berupa muatan pendidikan politik, kita tidak perlu risau lagi apabila ada indikasi kampanye yang semakin masif dilakukan dimana-mana. Tapi sekarang, dengan minimnya pendidikan politik dan muatan yang mengajak siswa berpikir kritis, kampanye terselubung tentu masalah besar yang mengancam keselamatan bangsa.

Apalagi jika gurunya sendiri tidak berpikir kritis sebelum bertindak, relasi pendidikan dan politik akan seperti dua sepatu yang saling terikat talinya satu sama lain. Kita akan jatuh tersungkur ke tanah ketika negara-negara lain belajar melompat.

Referensi :

https://nasional.kompas.com/read/2018/10/10/15063681/menurut-mendagri-tak-masalah-kampanye-di-sekolah-dan-pesantren

http://wartakota.tribunnews.com/2018/10/18/mohammad-arief-terbukti-bikin-kampanye-terselubung-di-sekolah-smp-127-kebon-jeruk

Azi Satria
Azi Satria
Bekerja sebagai komikus dan ilustrator. Senang mendiskusikan sastra, sejarah dan manusia. Menulis ketika senggang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.