Semakin hari, Negeri ini semakin melenceng dari tujuan awalnya didirikan. Kekuasaan yang seharusnya diambil melalui jalan musyawarah mufakat seperti yang telah diadobsi sejak dari nenek moyang, ribuan tahun lalu. Hari, ini jalan musyawarah itu telah dipelintir dengan balutan demokrasi.
Musyawarah dalam hal memilih pemimpin sebetulnya harus dilihat berdasarkan kemampuan organisatoris yang baik dan juga kecerdasan yang cakap. Dan sayangnya, kenyataanya sekarang musyawarah nasibnya sangat menyedihkan. Dia mulai dianak tirikan sejak datangnya demokrasi yang konon katanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kita patut memahami kenapa generasi sebelumnya mengubah kebijakan Negara menjadi kebijakan yang bernama Demokrasi (Dalam hal memilih pemimpin). Semua itu disebabkan karena MPR yang saat itu memiliki wewenang penuh dalam memilih dan mengangkat presiden sudah dimasuki oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang membawa misi individu dan kelompok.
Kita juga patut mengapresiasi generasi sebelumnya yang memilih demokrasi untuk menghindari politik kotor dalam internal MPR. Dan memang yang namanya politik itu akan selalu berkembang mengikuti zaman, sama seperti barang elektronik dan aksesoris lainya.
Beberapa tahun sejak perubahan pemilihan pemimpin dengan jalan Demokrasi, awalnya lancar-lancar saja, tapi itu tidak bertahan lama. Indonesia kembali dilanda oleh budaya baru, untuk mencapai kekuasaan digunakan senjata baru yaitu lewat budaya pencitraan. Sehingga beberapa orang yang menginginkan maju sebagai pemimpin mulai melakukan hal-hal baru yang dapat menarik perhatian masyarakat sebagai pemilih.
Di depan layar bersikap merakyat, turun ke sawah-sawah, datang ke daerah-daerah terpencil, benarkah itu betul-betul datang dari hati mereka? Kalaupun benar, kenapa saat dekat pemilihan baru turun? Selama ini kemana? Sudah dapat dipastikan bahwa itu semua dilakukan hanya untuk pencitraan. Dan hasilnya memang betul-betul berkhasiat. Jokowi dengan gaya pencitraannya yang bernama ‘blusukan’ berhasil menarik perhatian masyarakat, sehingga dia terpilih menjadi presiden di tahun 2014.
Sama seperti politik yang selalu berubah, masyarakat Indonesiapun juga semakin pintar, mungkin salah satu faktornya karena media-media seperti hp dan juga jaringan internet sudah mulai masuk di daerah-daerah terpencil, sehingga akses informasi terbuka luas untuk masyarakat mengetahui bagaimana roda perpolitikan di negeri ini.
Politik pencitraan tidak lagi berlaku, entah dari mana datang lagi ide baru tentang politik praktis yang membawa kelompok-kelompok seperti Agama, ras, budaya, dst.
Politik jenis ini betul-betul terbuka lebar di Negeri ini, dan sayangnya tidak ada yang peduli. Politik seperti ini akan membuka kran pengelompokkan dan pengkotak-kotakan, sehingga pada akhirnya nanti tidak mengherankan kita akan keluar dari semboyan ‘bhineka tunggal ika’ yang selama ini sudah mengeratkan semangat persauan masyarakat Indonesia.
Di khawatirkan jika hal semacam ini jika terus dilanjutkan dan tidak ada upaya pencegahan, jelas sudah suatu saat bangsa ini akan bubar seperti yang ramai dibicarakan.
Tidak mengherankan juga, selanjutnya akan ada jenis politik baru yang tentunya lebih kotor dari politik hari ini. Dan itu akan semakin memperlebar gerbang pemecahan bangsa. Belum lagi Aceh dan Papua beberapa tahun belakangan ini terus-terus menggemakan pemisahan diri dengan Indonesia.
Jika kesadaran berbangsa dan negaranya masih tetap tidak ada, maka kita perlu mempersiapkan diri kita untuk menyambut Negara baru, atau mungkin saja menjadi budak dan menghamba ketika penjajah gaya baru masuk menguasai negeri ini seperti berabad-abad lalu.
Mari kita kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang sebenarnya. Mari tumbuhkan kembali kesadaran patriotisme dan nasionalisme Negara. Itu satu-satunya harapan untuk mempertahankan Negeri yang dimerdekakan diatas lautan darah bercampur keringat dan air mata ini.