Jumat, Maret 29, 2024

Politik Paranoid dan Persatuan Bangsa Indonesia

Harsa Permata
Harsa Permata
Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta.

Pasca jatuhnya Bung Karno akibat kudeta merangkak Soeharto dan kawan-kawan, yang disokong CIA (Central Intelligence Agency). Politik penuh keberanian, yang anti imperialisme, anti kolonialisme, dan anti kapitalisme, berubah menjadi politik paranoid yang penuh rasa takut dan curiga.

Apa itu paranoid? Dalam Cambridge Dictionary, paranoid berarti “feeling extremely nervous and worried because you believe that other people do not like you or are trying to harm you” (https://dictionary.cambridge.org, akses 26 Oktober 2018).

Orde Baru yang dikomandoi Soeharto dan kawan-kawan, menanamkan rasa cemas, takut, dan khawatir terhadap hantu yang bernama “komunisme”, pada rakyat. Paranoid atau rasa takut ini dipelihara terus-menerus dengan sebuah film propaganda, yang berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia).

Dalam film tersebut digambarkan bagaimana para pendukung PKI sangat kejam, biadab, dan tak bermoral. Mayoritas rakyat yang menonton film, yang berbasis pada manipulasi fakta tersebut, percaya bahwa kaum komunis yang diwakili oleh PKI, jika tidak dimusnahkan, maka akan melukai dan membunuh mereka secara biadab seperti vampir di film-film Hollywood.

Pasca Soeharto lengser, politik paranoid tersebut tetap dipelihara oleh para elit politik. Mungkin hanya Gusdur, yang berani melawan arus, selain karena beliau memang memiliki sikap progresif untuk ukuran zamannya, yaitu dengan meminta maaf pada pihak-pihak yang menjadi korban kebiadaban rezim Orde Baru, terkait peristiwa G30S.

Selain itu, beliau membersihkan pemerintahannya dari orang-orang sisa Orde Baru yang bermasalah seperti Wiranto, dan lain-lain. Akan tetapi, keberanian beliau sepertinya tidak diikuti oleh mayoritas elit politk, yang akhirnya kompak melengserkan Gusdur.

Politik paranoid, atau rasa takut terhadap “hantu komunis” ala rezim Orba ini sebenarnya mirip dengan apa yang sudah dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan industri film Hollywood-nya.

Mayoritas film-film yang diproduksi oleh rumah-rumah produksi di Hollywood sana, biasanya berisikan sentimen negatif terhadap Uni Soviet, Komunisme, dan negara-negara lain yang mencoba mempraktekkan ideologi Marxisme-Leninisme dalam sistem ekonomi dan politik, seperti Tiongkok, Kuba, Korea Utara, dan lain-lain.

Hal yang mirip seperti yang dilakukan oleh Hitler, yang selalu mempropagandakan kebencian terhadap kaum Yahudi, dengan berbagai hoaks bahwa kaum Yahudi akan memusnahkan bangsa Jerman, tak mau berjuang membela Jerman dalam perang.

Lucunya, dalam film “Hitler: The Rise of Evil”, dikisahkan ketika Hitler mencoba menyerukan ujaran kebencian terhadap kaum Yahudi, terkait klaim Hitler bahwa kaum Yahudi tak mau ikut perang membela Jerman. Seorang prajurit beretnis Yahudi menyahut dan mengaku bahwa dia adalah seorang Yahudi. Hitler yang mendengar itu kemudian terpaksa diam dan tak melanjutkan ujaran kebenciannya.

Pada mada sekarang ini, politik paranoid ini masih ada dan tetap dipelihara oleh dua kubu yang berseberangan secara politik, yaitu kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Kedua kubu tersebut, memiliki hantunya sendiri-sendiri.

Pada kubu Jokowi, hantunya adalah kelompok Islam fundamentalis, yang dianggap akan mengambil alih kekuasaan dengan cara apa saja, dan juga dianggap akan mengganti ideologi negara, Pancasila, dengan syari’at Islam, dalam bentuk sistem pemerintahan khilafah.

Hal ini jugalah yang mungkin memicu kubu Jokowi yang sekarang berkuasa untuk mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) untuk membendung laju organisasi yang dianggap representasi dari “hantu Islam fundamentalis”, yaitu Hizbut Thahrir Indonesia (HTI), secara legal.

Sementara, kubu Prabowo, “hantu” mereka, selayaknya Orde Baru dan Amerika Serikat, adalah komunisme. Semua hoaks bahwa kubu Jokowi berisikan orang-orang komunis dan PKI, disebarkan. Terakhir, salah seorang caleg dari salah satu partai pendukung pemerintah, yang dulunya sempat menjadi kader Partai Rakyat Demokratik (PRD), diserang dengan hoaks bahwa dia adalah keturunan PKI.

Sampai saat ini, sepertinya baru satu orang penyebar hoaks yang mengaku salah dan meminta maaf atas tindakannya tersebut. Kubu Prabowo juga gencar menyerukan supaya Jokowi tes DNA (Deoxyribonucleic acid), tes untuk menentukan keturunan secara genetik, entah apa maksudnya karena tak ada yang namanya “gen komunis”. Komunisme adalah sebuah ideologi yang hanya bisa diwariskan dengan pembelajaran terhadap filsafat komunisme, yaitu Marxisme-Leninisme, secara teori dan praktek.

Karena itulah, ideologi komunisme, tak bisa diturunkan secara genetik. Yang sangat disayangkan adalah, salah seorang politisi cum akademisi, sekelas Amien Rais pun sepertinya juga mengikuti arus hoaks anti komunis dan anti PKI ini.

Secara keseluruhan, perbedaan politik nasionalisme radikal nan berani pada masa kemerdekaan sampai kejatuhan Soekarno, dengan politik rasa takut ala Orde Baru, terletak pada apa yang mendasari argumentasi keduanya.

Yang pertama, berbasiskan atas fakta empiris bahwa imperialisme dan kolonialisme. Sebagai cerminan dari sistem ekonomi kapitalisme, adalah biadab dan telah menyengsarakan bangsa Indonesia bertahun-tahun lamanya. Soekarno dan para pendiri negara Indonesia, adalah orang-orang yang merasakan dan mengalami langsung kekejaman kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.

Sementara politik rasa takut ala Orba dan Amerika Serikat, mendasarkan diri pada hoaks atau kabar bohong. Sampai sekarang pun sebenarnya, keterlibatan PKI secara organisasi pada peristiwa G30S, belumlah terbukti. Para pelaku G30S, senyatanya, mayoritas adalah tentara yang merupakan pendukung Soekarno.

Mereka melakukan aksi tersebut, sebenarnya untuk menghadapkan para jenderal (para jenderal ini dianggap tergabung dalam Dewan Jenderal, dan main mata dengan imperialis) tersebut ke Soekarno, untuk dimintai pertanggungjawaban. Akan tetapi, komando terakhir berbunyi, menurut kesaksian seorang sersan dari Resimen Tjakrabirawa (Pasukan Kawal Istana).

“Tangkap. Jangan sampai ada yang lolos,” hal inilah yang kemudian menyebabkan sebagian jenderal yang diculik, kehilangan nyawa (Lihat buku John Roosa, “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”, halaman 311).

Akhir kata, politik rasa takut pada dasarnya kontraproduktif terhadap persatuan bangsa Indonesia. Hal yang sangat kita butuhkan untuk memajukan dan menyejahterakan bangsa dan negara kita, Indonesia. Entah siapa dalangnya, yang jelas kita sebagai bangsa harus mewaspadai pihak-pihak yang berusaha memecah belah persatuan Indonesia dengan menggunakan politik rasa takut ini.

Selain itu, yang paling utama adalah kedua tokoh sentral dari kedua kubu politik yang dominan. Jokowi dan Prabowo, harus berani tegas pada para pendukungnya masing-masing, untuk benar-benar secara konsisten mengedepankan persatuan bangsa dan menghilangkan semua bentuk-bentuk politik paranoid berbasis hoaks ini. Jika keduanya benar-benar ingin bangsa dan negara Indonesia maju dan sejahtera

Harsa Permata
Harsa Permata
Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.