Banyak yang menjadikan perang sipil Suriah (yang juga diikuti oleh Negara Islam Irak dan Suriah) sebagai bahan pembicaraan, sedangkan di saat yang sama kita mengabaikan fakta bahwa di lokasi yang berdekatan, di satu regional pula, terdapat perang Yaman yang berlangsung antara pemberontah Houthi dan pemerintahan resmi Yaman yang didukung oleh Saudi Arabia.
Perang ini dimulai pada tahun 2015 dan dipicu oleh ketidakpuasan suku Houthi terhadap pemilu dengan kandidat tunggal yang dilangsungkan pada tahun 2014, dimana presiden Yaman yang masih menjabat saat ini yakni Abdurrabbuh Mansur Hadi memenangkan pemilu tersebut. Sampai hari ini sudah ada 16.200 orang, termasuk 10.000 warga sipil. Perang ini semakin diperparah dengan keberadaan Iran dan Saudi Arabia yang turut melakukan intervensi. Iran memberikan bantuan persenjataan kepada milis Houthi, sedangkan Saudi Arabia turun langsung dengan pasukan bersenjatanya. Perang ini tidak hanya menjadikan senjata sebagai sarana untuk mempertahankan legitimasi politik masing-masing faksi, tapi juga menjadikan logistik terutama makanan demi tujuan yang sama.
Blokade yang dilakukan oleh angkatan laut Saudi adalah salah satu hal yang menjadi fokus pada konflik ini. Office of the High Commisioner United Nations Human Rights mencatat sejak tahun 2015, negara yang harus mengimpor sebanyak 80 % kebutuhan pangannya tersebut kesulitan mendapatkan bahan pangan karena blokade Saudi Arabia di pelabuhan Al Hudaidah, pelabuhan terbesar di Yaman. Catatan dari Martha Maundy yang menulis jurnal War on Yemen and its Agricultural Sector menunjukkan untuk melemahkan milisi Houthi, Arab Saudi juga menjadikan area pertanian dan peternakan sebagai sasaran serangan.
Akibatnya, dari 27,4 juta populasi Yaman, terdapat 18 juta yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Dari jumlah tersebut, setidaknya setengah diantaranya bekerja di sektor pertanian peternakan dan perkebunan.
Mengingat tujuan Saudi Arabia adalah menggulingkan pemerintahan tandingan Houthi yang berada di Sana’a, mengapa Saudi Arabia menjadikan blokade dan serangan atas sumber pangan, yang secara otomatis akan menambah collateral damage bagi warga sipil, untuk memenangkan perang yang sudah berlangsung selama 3 tahun ini? Tulisan ini akan berusaha membahasnya secara ringkas.
Melihat Pangan Dalam Konflik Bersenjata
Laporan dari World Bank yang berjudul Food Security and Conflict, menunjukkan bahwa distribusi makanan yang tidak merata bisa menjadi sumber ketidakpuasan masyarakat dan sumber konflik, salah satunya adalah perang sipil. Kemiskinan, kelaparan dan keterbatasan dalam distribusi makanan bisa menjadi pemicu konflik, seperti perang sipil. Distribusi makanan yang tidak adil, maupun tidak merata karena semakin menyusutnya sumber pangan, bisa menjadi alasan bagi masyarakat untuk melawan rezim politik yang menaungi mereka. Konflik tidak hanya disebabkan karena lenyapnya sumber pangan, namun juga karena besarnya biaya distribusi yang biasanya terjadi karena konflik berkepanjangan. Dengan begitu, grievance akan semakin mewujud dan bisa berakhir dengan penggulingan rezim yang berkuasa saat itu demi mengakhiri konflik .
Selanjutnya, dalam literatur FAO (Food and Agricultural Organization) yang berjudul Armed Conflict and Food Security, pihak-pihak yang berkonflik biasanya menjalankan apa yang dinamakan dengan Food War, yakni pembumihangusan sumber pangan yang produktif dan keengganan pihak yang berkonflik untuk mengantarkan bantuan pangan kepada yang membutuhkan. Fenomena terjadi di beberapa konflik seperti yang berlangsung di Ethiopia dan Sudan. Pada tahun 1994, Ethiopia membakar seluas 142.000 hektar lahan sawah sehingga petani tidak bisa menggunakannya untuk memberi makan pemberontak anti pemerintah. Sedangkan, dalam perang sipil pada tahun 1990, pemerintah Sudah sengaja menjual cadangan gandum untuk membiayai perang dengan pemberontak Sudan Selatan yang mayoritas Kristen, tapi menolak mengumumkan status kelaparan di daerah pro pemberontak.
Food War ala Saudi Arabia Dalam Perang Yaman
Martha Maundy, seorang pengamat perang Yaman yang juga profesor emeritus dari London School of Economics, dalam wawancaranya dengan Sputnik pada tanggal 24 Oktober 2016 menjelaskan perang ekonomi yang dijalankan oleh Arab Saudi dipandang sebelah mata.
Arab Saudi berusaha memenangkan perang di Yaman dengan bantuan makanan ke Yaman Utara yang merupakan basis Houthi, sementara di saat yang sama membumi hanguskan sumber makanan yang ada di daerah tersebut dan mengakibatkan tragedi kemanusiaan bagi warga sipil di sana, demi mengurangi motivasi Houthi untuk melanjutkan perang. PBB bahkan tidak bisa memantau terjadinya blokade tersebut dalam rentang waktu 2014-2015, sebelum Arab Saudi mengizinkan mereka masuk ke wilayah tersebut .
Maundy juga menegaskan Yaman hanya sedikit memiliki sumber makanan, yakni sebanyak 2,8 % tanah digunakan untuk sumber pertanian dan 42 % lainnya digunakan untuk lahan peternakan. Menariknya, dari 464 sasaran Arab Saudi yang tersebar dalam 20 provinsi di Yaman, 77 diantaranya merupakan peternakan hewan ternak dan 180 lainnya merupakan lahan pertanian dan perkebunan . Akibat serangan ini, PBB mencatat, sebanyak 10 dari 20 provinsi yang ada di Yaman berada dalam situasi kelaparan sepanjang tahun 2015-2016 .
Human Rights Watch, salah satu NGO yang merangkum aksi pemboman oleh Arab Saudi, mendokumentasikan serangan-serangan tersebut dengan laporan yang berjudul Bombing Business : Saudi Coalition Strike on Yemen’s Civilian Economic Structure. Dari 13 lokasi yang merupakan dokumentasi serangan Arab Saudi sepanjang 2015-2016, lima diantaranya memproduksi makanan dan komoditas lain untuk menopang pertanian, yakni Hodaida Warehouse, Al Aqil Industrial Warehouse, Al Shihab Industrial Compound, Yemany Dairy and Beverage Factory, dan Bio Pharma Factory . Serangan ke Hodaida Warehouse yang berlokasi di Saada, Yaman Utara terjadi pada April 2015 dan menampung produk pangan yang berasal dari sapi. Al Aqil Industrial Compound yang berada di Sana’a memproduksi makanan kalengan dibom pada September 2015. Al Shihab Industrial Compound, yang memproduksi susu kemasan, diserang pada Januari 2016. Yemany Dairy and Beverage Factory, yang juga memproduksi produk makanan yang berasal dari sapi, diserang pada September 2015.
Menurut Institute of Relations Internasionale Et Stratigues yang berbasis di Paris, Arab Saudi yakin bisa membuat Houthi menandatangani perjanjian damai dengan rezim Aden yang didukung oleh Arab Saudi karena berbagai sebab. Salah satunya adalah dengan melakukan blokade terhadap ekspor minyak dari Yemen Utara, Houthi tidak akan bisa mendapatkan makanan dari luar negara tersebut melalui pemasukan ekspor yang dipasok melalui Bank Sentral Yaman yang berada di bawah pengaruh mantan presiden Ali Abdullah Saleh yang mendukung Houthi . Lagipula, kapal-kapal tanker dari Yaman menjadikan pelabuhan Arab Saudi untuk mengisi bahan bakar sebelum melanjutkan perjalanan.
Kesimpulan
Meski Arab Saudi mendominasi bantuan pangan dengan diblokadenya pelabuhan-pelabuhan yang ada di Yaman, lembaga-lembaga humanitarian internasional harus menjamin bahwa bantuan tersebut juga sampai di daerah oposisi. Atau, dengan memanfaatkan bantuan yang tidak berasal dari Arab Saudi, lembaga-lembaga tersebut bisa menggunakan LSM lokal di wilayah tersebut untuk mencapai pengungsi yang berada di wilayah kekuasaan Houthi.
Sumber :
World Bank, Food Security and Conflict, 2010, https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/9107/WDR2011_0031.pdf;sequence=1
Teodosijevic, Slobodankan B., Armed Conflict and Food Security, Food and Agricultural Organization, 2003
Sputnik, Saudi Arabia Waging ‘Clear Economic War on Yemen , https://sputniknews.com/middleeast/201610241046669821-saudis-yemen-economic-war/, 24 Oktober 2016
Maundy, Martha, The War in Yemen and its Agricultural Sector, International Institute of Social Studies
Human Right Watch, Bombing Business : Saudi Coalition Strike on Yemen’s Civilian Economic Structure, Washington, 2016
Institute of Relations Internasionale Et Stratigues, Yemen Six Month Economic Analysis Economic Warfare & the Humanitarian Context, Januari 2017
New York Times, U.N. Rights Official Calls for Inquiry Into Abuses in Yemen Conflict,https://www.nytimes.com/2016/08/26/world/middleeast/yemen-un-rights.html , 25 Agustus 2016