Minggu, November 24, 2024

Politik Gentong Babi

Jacko Ryan
Jacko Ryan
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya. Dapat dihubungi di jacko.ryan-2017@fisip.unair.ac.id.
- Advertisement -

“Ini benar-benar dimanfaatkan seseorang dan saya sudah tahu persis siapa yang melakukan,” menjadi pembelaan yang diungkapkan Bupati Klaten Sri Mulyani. Ungkapan tersebut dilontarkan setelah bantuan Pandemi Covid-19 dari Kementerian Sosial berupa hand sanitizer yang ditempel stiker bergambar wajah Bupati Klaten Sri Mulyani menjadi viral.

Kritik deras disampaikan masyarakat dan bahkan tagar #BupatiKlatenMemalukan sempat mewarnai linimasa media sosial hingga mencapai peringkat pertama trending Twitter Indonesia. Sejumlah pertanyaan timbul dalam masyarakat terutama terkait APBD yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal demi penanggulangan Covid-19.

Hal demikian nyatanya lumrah dilakukan. Dalam masa pandemi seperti ini, peristiwa senada juga terjadi di DKI Jakarta melalui sepucuk surat dari Gubernur DKI Anies Baswedan yang didistribusikan kepada masyarakat bersamaan dengan bantuan sembako. Juga dengan persoalan mengenai tulisan “Bantuan Presiden” pada bansos yang disalurkan oleh Kementerian Sosial. Sebagaimana kita ketahui, berbagai bantuan tersebut menggunakan anggaran negara ataupun daerah sehingga klaim yang bersifat individual semestinya dihindarkan.

Politik ‘Gentong Babi’

Dalam perspektif Ilmu Politik, terdapat suatu tindakan politik yang disebut patronase. Itu merupakan pembagian keuntungan oleh politisi yang mendistribusikan sesuatu secara individual kepada masyarakat dalam rangka mendapatkan dukungan politik. Pertukaran terjadi di dalam aktivitas tersebut. Dengan menggunakan sumber daya publik yang ada, aktor akan terlibat pada hubungan pertukaran berupa barang dan atau jasa yang diberikan dengan dukungan yang diberikan masyarakat kepada aktor tersebut sebagai imbalannya (Shefter, 1994; Muller, 2014).

Politik gentong babi (pork barrel politics) menjadi salah satu bentuknya. Aspinall dan Sukmajati (2015) mendefinisikan politik gentong babi sebagai kegiatan yang ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan bahwa publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu.

Pemaknaan tersebut memang tidak terlepas dari sisi historis dari “gentong babi” yang merujuk pada peristiwa Perang Saudara Amerika Serikat (1861–1865). Pada masa itu, para tuan kerap memberikan daging babi asin kepada para budak untuk diperebutkan.

Pengertian yang negatif tersebut, pada masa kini, dilekatkan pada para politisi. Perilaku mereka yang memanfaatkan anggaran pemerintah untuk kepentingan politik semata bisa disamakan dengan perilaku para budak yang memperebutkan daging tersebut. Cara seperti ini lebih mudah dilakukan apabila seseorang sudah memiliki kekuasaan. Karenanya politik gentong babi kerap dilakukan oleh petahana.

Ada pula yang menyebutkan bahwa politik “gentong babi” kali pertama diperkenalkan dalam apa yang disebut Bill Bonus. Pada 1817 Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun mengusulkan Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Dananya akan diambil dari laba bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika Serikat). RUU tersebut diveto oleh Presiden James Madison. (Historia, 2019)

Perlu disadari bahwa keadaan bencana seperti saat ini membawa berbagai dampak. Dalam konteks elektoral, kinerja pemimpin (baik di pusat maupun di daerah) dalam menangani Covid-19 tentu akan berdampak pada popularitas hingga elektabilitas. Keuntungan politik semacam ini menjadi sangat menjanjikan terlebih mengingat bahwa tahun 2020 merupkan tahun politik.

Para pemimpin, terkhusus bagi mereka hendak maju kembali dalam perhelatan Pilkada Serentak, menghadapi situasi dilematis yang mana kedua hal ini acapkali tumpang tindih: yakni memprioritaskan diri pada usaha untuk menangani kasus Covid-19 atau menjalani berbagai agenda politik Pemilu.

- Advertisement -

Apakah politik gentong babi selalu berkaitan dengan motif elektoral? Tentu tidak. Fenomena tersebut juga dapat ditemukan pada penguasa-penguasa untuk membentuk warisan politik (political legacy) sebelum para pengusa meninggalkan tampuk kepemimpinannya. Ingatan kolektif pada masyarakat didaerahnya ditampilkan dalam rupa konkret (hard legacy), salah satunya melalui politik gentong babi. Selain efektif mempengaruhi masyarakat, cara seperti ini juga dipandang tidak membebani pelaku secara finansial di tengah realitas biaya politik yang mahal.

Peran Pengawas

Berbagai kritik deras yang mengalir dari netizen menanggapi kasus yang menimpa Bupati Klaten Sri Mulyani menunjukkan bahwa mulai muncul kesadaran politik dalam masyarakat. Media sosial telah menunjukkan kekuatannya sebagai basis dari pendidikan politik masyarakat. Fakta ini seharusnya menjadi pertimbangan yang harus dipikirkan baik-baik oleh para elit. Alih-alih mendapat meraih keuntungan politik, tindakan semacam itu memiliki resiko yang tinggi hingga dapat merugikan pelaku.

Namun, bukan berarti peran pengawas menjadi tereduksi. Penyelenggara Pemilu harus tetap jeli terhadap berbagai potensi kecurangan yang terjadi terutama dalam tahun-tahun politik seperti saat ini. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mengambil langkah sigap atas fenomena politik gentong babi.

Peran pencegahan juga dapat dilakukan dengan bersinergi bersama penegak hukum jika terdapat kasus-kasus seperti demikian terjadi dan mengarah kepada tindak pidana. Sorotan khusus pada Pasal 71 UU No. 1 Tahun 2015 dimana hanya memuat sanksi berupa pembatalan sebagai calon dalam Pemilu bagi para pelaku. Lalu bagaimana jika praktik demikian dilakukan oleh incumbent? Ganjaran setimpal tentu perlu diatur dalam UU.

Hingga pada suatu pengertian bahwa rakyat sejatinya menjadi unsur yang terpenting dalam menjalan peran pengawasan. Pepatah menyebutkan bahwa “tidak ada asap jika tidak ada api”.

Artinya, ancaman dari praktik politik gentong babi lambat laun tergerus apabila ada keaktifan masyarakat untuk mau menolak dan menentangnya. Ini sebuah alur logika yang sederhana, namun sulit untuk diterapkan. Kesadaran politik masyarakat yang sudah baik sudah seharusnya dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan demi terciptanya kehidupan demokrasi yang lebih baik. Semoga.

Jacko Ryan
Jacko Ryan
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya. Dapat dihubungi di jacko.ryan-2017@fisip.unair.ac.id.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.