Jumat, April 26, 2024

Politik Genderuwo?

Akmal Maulana
Akmal Maulana
Seorang pemuda di selatan Banten

Politik dengan menebar ketakutan, atau belakangan ini populer disebut sebagai politik genderuwo, memang salah satu cara yang cukup efektif untuk mendapat dukungan dan simpati massa. Menakuti orang dengan suatu hal, untuk dapat mengendalikannya, itu merupakan strategi yang cukup ampuh memang.

Dengan menanamkan ketakutan pada masyarakat, kemudian memberi “solusi” untuk ketakutan tersebut agar masyarakat mendukungnya. Cara ini cukup populer dan sering digunakan bukan hanya di Indonesia tapi diseluruh dunia.

Diantara yang pernah menggunakannya antara lain, Hitler, Stalin, Mao Zedong, Pol Pot, dan Soeharto tentu saja. Meski akhirnya nama-nama itu pun berakhir, tapi pengaruhnya saat berkuasa menggunakan “politik genderuwo” sangatlah luar biasa.

Sekarang ini, menghadapi Pemilu 2019 nanti, kedua kubu sama-sama menggunakan strategi ini untuk mendapat dukungan sebanyak-banyaknya. Narasi yang dibangun bermacam-macam, tapi esensi-nya sama, agar masyarakat takut untuk memilih lawannya, dan kemudian memilih jagoannya saat pemilu nanti. Cukup sederhana, tapi sangat ampuh.

Saya merasa, wajar saja jika para elit melakukan hal yang demikian, selama tak ada aturan yang dilanggar disana, it’s ok. Toh, Tuhan sekalipun menggunakan “politik genderuwo” pada mahluknya, dengan mengancam, jika tidak patuh kau akan dimasukkan ke Neraka. Jadi, mungkin saja manusia ini mendapat inspirasi dari Tuhan untuk membuat mahluknya patuh, dengan menanam ketakutan ke setiap manusia.

Tapi, entah kenapa saya tidak menyukai apa yang disebut sebagai “politik genderuwo” ini. Mungkin karena doktrin yang ditanamkan adalah ketakutan terhadap lawan politiknya, sehingga akan menimbulkan suatu kebencian. Ini yang saya khawatirkan, jika sudah benci terhadap seseorang, apapun yang dilakukan orang itu akan kita benci pula, dan lebih parah jika kita membenci orang atau kelompok yang tidak ikut membenci apa yang kita benci. Akan muncul rantai kebencian yang hanya akan menjadi akar perpecahan.

Para elit politik itu akan ngopi santai di belakang layar setelah berdebat hebat tentang calon yang didukungnya didepan kamera, mereka juga dapat keuntungan dari hal itu. Sementara rakyat yang dibodohi di bawah, berdebat hebat tentang jagoan masing-masing, gak ada hasil apa-apa, akhirnya hanya saling benci satu sama lain. Debat ataupun diskursus mengenai hal ini, hanya akan berakhir tanpa solusi dan menguatkan kebencian.

Kotor? Kotor memang. Licik? Memang licik. Tapi itulah politik kita. Sulit untuk membenahinya. Sangat disayangkan memang, reformasi kita yang sudah berjalan 19 tahun ini belum bisa menghasilkan cara berpolitik yang mengedepankan akal sehat. Politik yang mencerdaskan rakyat, politik yang mengutamakan kepentingan bersama, politik yang meletakkan keindonesiaan di atas segalanya. Politik yang tidak hanya menggunakan Bhineka Tunggal Ika sebagai slogan belaka, tapi visi bersama. Politik yang bukan hanya mendengungkan Pancasila tapi mengamalkannya sebagai ideologi bangsa.

Kesel gak sih, lihat politisi bahas PKI, Agama, hoaks, tempe, sontoloyo, Boyolali, neo-orba, subsidi, dan hal-hal yang sifatnya itu hanya demi kepentingan elektoral belaka. Sama sekali tidak menyasar akan dibawa kemana masyarakat Indonesia puluhan tahun kedepan. Kan lebih enak kalo lihat mereka bahas sistem pendidikan kita yang jauh tertinggal, minat baca bangsa kita yang jauh di bawah negara lain, atau bagaimana memaksimalkan potensi kekayaan alam maupun budaya yang ada di Indonesia, kan lebih berfaedah pastinya.

Akmal Maulana
Akmal Maulana
Seorang pemuda di selatan Banten
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.