Alur kepemimpinan up to bottom yang kerap identik dengan model pemfiguran dan penokohan untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat masih menjadi hal yang lumrah.
Pemanfaatan media massa dan media sosial sebagai instrumen untuk mengenalkan diri kepada publik, kemahiran dalam permainan retorika kata, serta dibumbui dengan aksi peduli masyarakat yang bersifat periodik; masih menjadi tren dalam strategi pemenangan para calon wakil rakyat.
Kontestasi pesta demokrasi menjadi sebuah momentum bagi masyarakat untuk berkompetisi dalam memperebutkan kursi di pemerintahan. Berbagai macam janji dan jargon mengatas-namakan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat ditawarkan. Fenomena pengeluaran biaya sejumlah jutaan bahkan miliaran untuk membiayai serangkaian agenda kampanye dan pemenangan diri sudah menjadi konsekuensi logis dari pencalonan diri dalam politik elektoral.
Lahirnya Sistem Parlementer Sebagai Embrio dari Demokrasi Politik
Struktur sosial masyarakat yang terjadi di masa kini tidak lepas kaitannya dengan kejadian sosial-politik di masa lalu. Masyarakat bukanlah sekumpulan dari subyek-subyek manusia, yang dengan keinginannya dapat mengukir sejarahnya sendiri. Menurut George Ritzer, masyarakat merupakan suatu struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan dan terintegrasi dengan elemen-elemen konstituennya; seperti: Norma, adat, tradisi, dan institusi. Teori sosiologis ini biasa dikenal dengan fungsionalisme struktural.
Demokrasi di Indonesia dan sebagian besar negara di dunia memiliki jejak historis yang sama. Lahirnya demokrasi politik erat kaitannya dengan sejarah pergolakan masyarakat Eropa menentang model pemerintahan monarki absolut pada abad ke-18. Di akhir masa feodalistik, masyarakat Eropa mengalami perkembangan signifikan dalam intelektualitas dan perekonomian. Perkembangan tersebut melahirkan kelas sosial baru dalam masyarakat yaitu; para intelektual, produsen, dan pedagang.
Kelas sosial ini menjadi pemimpin dalam pengorganisiran masyarakat untuk menumbangkan sistem monarki absolut di berbagai negara. Sebut saja seperti gerakan Renaissance di Italia, gerakan Enlightment di Inggris, dan gerakan Affclaro di Jerman. Puncak dari gerakan rakyat ini melahirkan sebuah Revolusi Politik di Prancis pada tahun 1789-1799.
Dengan tumbangnya sistem pemerintahan monarki, maka lahirlah sistem parlementer sebagai aktualisasi dari demokrasi politik dengan prinsipnya yaitu Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).
Demokrasi Parsial dan Relasi Kuasa Antara Negara Dengan Masyarakat
Soekarno menjelaskan bahwa demokrasi politik harus diikuti dengan demokrasi ekonomi. Ketika demokrasi ekonomi masih belum dijalankan, demokrasi politik yang sejatinya terbuka untuk seluruh elemen masyarakat tanpa memandang kelas dan kedudukan sosial hanyalah bualan semata. Partisipasi masyarakat terutama masyarakat kecil untuk menjadi aktor dalam politik elektoral semakin terbatasi. Realitas empiris yang ada, politik elektoral justru dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat untuk melanggengkan kekuasaannya melalui instrumen negara.
Negara secara historis merupakan produk fiksi hasil revolusi kognitif manusia. Menurut Yuval Noah Harari, negara berakar dari mitos kebangsaan bersama. Negara muncul dari imajinasi kolektif masyarakat untuk menciptakan struktur sosial yang menciptakan keharmonisan dan keteraturan sosial dalam masyarakat. Negara sebagai kontruksi sosial dalam masyarakat merupakan produk dari bayangan atas realitas yang dipercaya setiap orang. Sepanjang kepercayaan tersebut tersebut tetap eksis di masyarakat, negara mendatangkan kekuatan di dunia. Dan kekuatan ini sering kali dimanfaatkan secara tidak bertanggung-jawab oleh oknum tertentu.
Badan-badan pemerintahan yang merupakan struktur pemerintahan publik yang merepresentasikan kepentingan masyarakat telah berubah menjadi institusi privat yang mengedepankan kepentingan kelompok. Pragmatisme dalam perpolitikan menyebabkan anggota pemerintahan terjebak dalam kacamata kuda yang tidak dapat membaca dan menganalisa kondisi masyarakat dengan perspektif yang lebih luas secara kritis.
Gramsci menjelaskan bahwa dalam masyarakat memang selalu ada yang menguasai dan ada yang dikuasai. Kontradiksi kepentingan antara lembaga pemerintahan dengan rakyatnya merupakan salah satu contoh dari adanya hegemoni yang dibangun melalui mekanisme konsensus melalui institusi dalam masyarakat.
Ketimpangan dalam struktur sosial (ada yang menguasai dan ada yang dikuasai), tidak disadari oleh masyarakat. Dengan memanfaatkan dominasi yang dimiliki, lembaga pemerintahan menggiring masyarakat agar menilai dan memandang problematika ini sebagai suatu kewajaran atau bahkan keniscayaan dalam praktik politik kenegaraan. Sosialisasi ini dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan pejabat publik agar masyarakat tidak mengusik kepentingan yang telah mereka susun.
Pemilihan Umum: Sebuah Refleksi
Momentum pemilihan umum yang tidak mengijinkan seluruh elemen masyarakat untuk berkesempatan menjadi aktor didalamnya dan cenderung diisi oleh masyarakat dari kalangan atas menimbulkan skeptisisme pada banyak elemen masyarakat. Transformasi pejabat pemerintahan menjadi kapitalis birokrat yang menjadi penghubung antara pemerintah dengan investor menjadi salah satu lahan basah bagi para pejabat pemerintahan untuk memperkaya diri.
Fenomena masuknya pengusaha dalam politik elektoral mengindikasikan kepentingannya untuk memperlancar bisnis dengan memangkas rantai birokrasi untuk mempermudah proses ekspansi. Paradigma yang justru terjadi di masyarakat, pebisnis yang masuk dalam politik elektoral pasti mementingkan kepentingan rakyat. Karena mereka sudah kaya, dan karena mereka kaya kemungkinan mereka untuk korupsi semakit sedikit.
Demokrasi bukan demokrasi sejati ketika masih adanya kesenjangan dalam partisipasi masyarakat kecil untuk berkontribusi menjadi pemenang dalam pemilihan umum. Ketika partisipasi masyarakat kecil semakin terbatas karena minimnya modal dan mengharuskan mereka untuk menghentikan pergerakan, maka demokrasi politik hanya milik masyarakat bermodal, dan penyelenggaraan pemilihan umum tidak lagi demokratis.
Eksklusifitas politik elektoral terletak pada proses pemilihan umum yang demokratis secara parsial, yang hanya mengijinkan rakyat golongan atas untuk menjadi aktor dalam kontestasi pesta demokrasi. Urgensi dari aktualisasi demokrasi ekonomi adalah sebagai tonggak keadilan dalam partisipasi seluruh masyarakat untuk menjadi aktor dalam kontestasi pemilihan umum.
Inklusifitas politik elektoral harus menjadi visi bersama dalam menegakkan keadilan dalam demokrasi politik dan ekonomi. Modal bukanlah insturumen penting sebagai prasyarat utama dalam memenangkan kontestasi pemilihan umum, melainkan kejujuran dan kredibilitas individu.
Referensi
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence & Wishart
Harari, Yuval Noah. 2017. Sapiens. Tangerang: Pustaka Alvabet
Ritzer, George. 2009. Teori Sosiologi: Yogyakarta: Pustaka Belajar
Soekarno. 2005. Dibawah Bendera Revolusi: Jakarta: Yayasan Bung Karno