Sejarah bukanlah perihal masa lampau yang tanpa gairah saat mempelajarinya, namun sejarah juga dapat menyebabkan seseorang menjadi begitu tendensius dalam menciptakan sejarahnya. Karena setiap sejarah memiliki momentum untuk selalu diingat masa.
Maka, Pemilu 2019 mendatang adalah momentum bersejarah dalam pertarungan ideologi Politik antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo sebagai calon Presiden supaya disebutkan namanya dalam catatan buku sejarah.
Perspektif politik di Indonesia dengan berbagai kompleksitas masalahnya bukanlah satu-satunya warisan para pendiri Bangsa Indonesia kepada generasi jaman now dalam memajukan Bangsa. Pergerakan Nasional dalam menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang bukan sekedar menunjukkan sikap politik dengan tanpa ditunjang oleh aspek sosial dan budaya di satu sisi sebagai penentu keberhasilan secara politis Negara Indonesia merdeka tahun 1945.
Sudah banyak sekali waktu kita habiskan hanya untuk sekedar debat kusir demi persoalan politik yang tak pernah pasti dan tidak jelas ujung pangkalnya. Padahal masalah politik itu telah menjauhkan perhatian kita terhadap masalah yang jauh lebih penting, berupa pembangunan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan terutama sekali dalam aspek kebudayaan. Sejak tahun 2014 lalu dan mungkin jauh sebelumnya, diskusi publik terkait masalah politik telah banyak menyita perhatian kita.
Hampir tak ada waktu bagi kita terlepas dan melepaskan diri dari isu politik. Bersikap apolitis itu tidak baik, tetapi jika terlena dalam pusaran politik juga tidak baik, sebab dalam politik semuanya tampak absurd, maka cukup proporsional saja. Karena yang punya rencana dan mengerti strategi permainannya hanyalah mereka, para Politisi dan perancang strategi di belakangnya.
Besarnya animo masyarakat Indonesia terhadap politik harus menjadi kritik dan sebuah titik balik. Secara positif dan ekstensif masyarakat dapat belajar juga terbuka wawasannya tentang arti sebuah pertarungan, dan per-tunangan seputar mahligai kekuasaan. Di samping itu, secara negatif banyak orang mengasumsikan bahwa politik merupakan “ladang” kotor yang akan melakukan apa saja demi berjalannya sebuah rencana dengan berbagai macam cara, jadi apa yang terencana oleh mereka harus terlaksana.
Pertanyaannya adalah apakah kita akan menghabiskan waktu demi persoalan politik saja? Sedangkan waktu terus bergerak meninggalkan hari ini sebagai sejarah dan hari esok sebagai harapan untuk menjawab tantangan dan peluang bagi masa depan.
Apabila kita tidak mempersiapkan hari esok sebagai peluang maka kita tidak memiliki masa depan, oleh karena kita minim pengetahuan dan persiapan dalam menjawab setiap tantangan daripada hanya sekedar berseteru dalam politik bersebrangan.
Setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) mungkin masih mengira bahwa dengan ber-politik dapat menjawab seluruh persoalan negeri. Sampai saat menjelang Pemilu 2019 beberapa kelompok masyarakat mulai membentuk aliansi untuk membela dan memberikan suara terhadap satu pasangan calon presiden dengan tanpa perhitungan dan analisis data yang kuat sebagai pertimbangan.
Hal itu mereka lakukan demi sedikit perubahan nasib yang selama ini dirasakan timpang dengan mendukung partai oposisi dianggap akan membawa peruntungan nasib jika kelak unggul dalam pemilihan.
Lemahnya daya nalar kritis di tengah masifnya perkembangan teknologi dan informasi di era Globalisasi sebagai aspek kognitif pengetahuan manusia bisa mengakibatkan pendangkalan akal manusia.
Padahal, apa yang kita terima dalam perangkat “terminal” elektronik kita harus benar-benar cermat saat menerima dan juga mencerna setiap pemberitaan yang masuk, sedangkan alat pencerna itu tak lain berupa akal budi kita. Setidaknya dalam hidup manusia, seperti diharapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, untuk berlaku adil sejak dalam pikiran.
Mengedepankan aspek rasionalitas bukan berarti mengagamakan rasio sebagai aspek penentu kehidupan. Berpikir rasional lebih tepat mengarah pada pola pikir yang masuk di akal (rasional) dan output-nya dapat diterima oleh masyarakat luas.
H.A.R. Tilaar menjelaskan, irasionalisme biasanya membawa kita kepada sikap tertutup tanpa dialog (1992:96). Melalui pertimbangan ini kiranya masyarakat dapat lebih rasional dan teguh pada pendirian dari segala bujukan praksisme politik.
Kita selalu mengira politik itu menentukan, kita kemudian membayar mahal untuk sebuah pesta demokrasi lima tahunan. Kita tidak menyadari bahwa kekuatan sejarah umat manusia tidak semata ditentukan oleh aspek politik saja.
Sebab itu, Kuntowijoyo menegaskan bahwa kekuatan politik hanyalah penunjang dari proses terjadinya arus perubahan sejarah. Masih ada banyak sekali aspek penunjang menuju perubahan terhadap perkembangan sejarah umat manusia.
Biarkan saja urusan politik diurus oleh para politisi, masyarakat sipil cukup menjadi masyarakat warga yang baik dan tentu tidak apatis. Dalam artian, kita perlu berperan aktif dalam menjalankan tugas kita dalam bernegara sesuai amanat yang tercantum jelas dalam UUD 1945 untuk turut serta dalam “mencerdaskan kehidupan Bangsa” dan “menjaga ketertiban dunia”. Akhirnya, dalam pemilihan Presiden periode 2019-2024 mendatang boleh berbeda!