Jumat, Maret 29, 2024

Politik Bipolar dan Matinya Nalar Publik

Ben Ibratama
Ben Ibratama
Tenaga Ahli DPR RI bidang Keuangan, Perencanaan Pembangunan, dan Perbankan

Kita baru saja selesai melakukan hajat pesta demokrasi akbar lima tahunan. Pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan wakil rakyat secara serentak. Namun masa kampanye yang cukup lama nampaknya membuat publik larut dengan berbagai narasi yang dihembuskan oleh para kandidat.

Narasi yang dihembuskan oleh kandidat tidak jarang membuat kegaduhan dan kebisingan di ruang publik, memekakkan telinga dan menyesakkan dada. Saling klaim akan kebenaran  atau truth claim, merasa paling benar, dan mudah mendeskreditkan individu atau kelompok yang berbeda pilihan.

Pertanyaan yang paling dasar adalah itu fenomena apa dan mengapa itu bisa terjadi?Jawabanya ada pada era post truth, era dimana matinya nalar dan matinya objektifiktas. Hari ini objektifitas merupakan barang langka yang sudah terdistorsi dengan maraknya emotional truth. Kepercayaan merupakan basis utama yang dijadikan pijakan untuk menilai dan menyimpulkan sesuatu.

Bahkan, kita tidak jarang menemukan berbagai hal yang menabrak rasionalitas, tapi sebagian dari kita dengan gagap gempita meyakini itu sebagai sebuah kebenaran tunggal. Ini yang menjadi masalah, kebenaran tunggal yang dilahirkan dari emotional truth sehingga menipu kesadaran publik dan melahirkan kesadaran palsu atau false conciusness.

Politik Bipolar

Sejak Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 fakta politik menyuguhkan kita pada dua kandidat. Mau tidak mau, suka tidak suka harus diterima sebagai keputusan politik para elit. Sehingga para pendukung menjadi dua kutub. Inilah yang menyebabkan konstruksi politik bipolar. Berbeda pilihan akan menjadi hal yang serius, penegasan in group dan out group mengkristal pada bagian ini.

Isu yang dilemparkan elit politik tertentu merupakan kebenaran hakiki yang harus dipercayai para simpatisan, dan tak layak untuk dikritisi. Bahkan menyebarkan sarkasme terhadap kandidat tertentu, kita akan disimpulkan sebagai orang yang bersebrangan. Inilah yang menyebabkan friksi di ruang publik sehingga segregasi sosial tak bisa dihindarkan.

Fakta politik ini didukung dengan banjiranya hoaks, dengan metode spin doctor dan labelling dengan pemelintiran fakta atau menyampaikan fakta secara tidak utuh dengan tujuan memberi kesan dan stigma negatif sehingga muncul perspesi yang tidak baik.

Maraknya gelombang disinformasi dalam bentuk hoaks diikuti dengan konstruksi politik yang bipolar menyebabkan banyak masyarakat kita yang kehilangan kendali akibat dari kebisingan dan kebingungan di ruang publik. Momentum inilah yang dimanfaatkan oleh para komprador politik untuk terus membombardir ruang publik sehingga tak sedikit masyarakat yang larut dalam kepercayaan palsu dan keyakinan semu.

Teknik propaganda yang masif menjadi mesin utama yang terus digerakkan sehingga diharapkan mampu mengubah sikap dan prilaku publik. Perubahan sikap dan prilaku inilah yang dikonversi menjadi basis elektoral.

Hoaks dan Matinya Nalar

Konstruksi politik bipolar dan banjirnya hoaks menjadi salah satu penyebab matinya nalar publik. Hal ini biasanya diikuti dengan kemampuan literasi bermedia publik yang rendah, kemampuan memilah media dan memilih informasi kredibel yang minim. Hal ini membuat kita tidak memiliki preferensi yang baik dalam membaca dan menyimpulkan realita. Ini lah yang menyebabkan kritisnya nalar publik untuk berpikir kritis.

Hoaks menjadi salah satu pemicu kita untuk bersikap irasional. Hoaks bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele, butuh keahlian dan riset yang mendalam untuk mengkonstruksi sebuah pesan dalam hoaks, memetakan segmentasi dan target pasar, mengukur dampak dan menghitung benefit yang ditimbulkan. Jelas ini bukanlah orang yang bodoh, hanya saja tidak punya tanggung jawab moral demi kepentingan bisnis atau politik.

Media sosial menjadi salah alat yang berkontribusi untuk medistribusikan berbagai hoaks. Di era kebebasan seperti sekarang, setiap orang bisa menjadi produsen, distributor, dan konsumen dalam bermedia. Pesan yang terkandung dalam hoaks merupakan pesan subliminal yang menyasar dan membakar emosional pembaca. Sehingga pembaca mudah menyimpulkan sesuatu tanpa melakukan verifikasi terhadap fakta yang ada. Contoh sederhana adalah hoaks mengenai “10 juta tenaga kerja asing dari Cina”.

Secara literal kita akan menangkap pesan bahwa akan ada tenaga kerja Cina yang datang ke Indonesia, namun pesan subliminalnya bukanlah demikian. Ketika kita tidak memiliki filter yang mumpuni dalam menyaring informasi maka kita akan menangkap pesan subliminal dari berita tersebut. Apa pesan subliminalnya ? Ketidakadilan pemerintah, takut kehilangan pekerjaan, pemerintah yang tidak peduli dengan rakyat, dll. Akhirnya sebagian kita bereaksi berdasarkan informasi yang keliru.

Hoaks dan Demokrasi

Sejak reformasi kita memang sudah sepakat bahwa kita akan hidup dalam ruang demokrasi. Namun, salah satu konsekuensi dari pilihan terebut adalah kegaduhan. Demokrasi memang membuka kran untuk berekspresi, sebagai bentuk keterlibatan publik dalam banyak hal.

Celah inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir elit, baik untuk tujuan bisnis dan politik dengan menyemburkan berbagai hoaks dalam demokrasi. Demokrasi dibajak atas nama kebebasan, untuk berprilaku sesuka hati dengan mengabaikan berbagai aturan, menabrak hukum, menabrak norma, bahkan menabrak naluri kemanusiaan itu sendiri. Esensi demokrasi bukanlah demikian, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang memiliki aturan main.

Bahkan, masih segar dalam ingatan kita seorang pemuda diruang publik dengan sikap jumawa ingin memenggal leher kepala negara sembari melantunkan ayat suci. Kalau diukur dengan menggunakan rasionalitas, hal ini merupakan sikap irasional. Menyandingkan kalimat suci dengan kalimat yang keji. Memaki dengan ujaran kebencian secara gamblang dipertontonkan tanpa rasa sungkan ataupun malu. Ini merupakan bentuk kekerasan di ruang publik, kekerasan verbal.

Sikap ini tentu memiliki konsekuensi hukum, Anda salah tentu anda ditindak. Inilah contoh nyata dari kematian nalar akibat dari hoaks dan politik bipolar, munculnya gelombang fanatisme yang membabi buta. Sangat irrasional memang.

Bagaimana Harus Besikap?

Fenomena post truth merupakan fakta yang tak bisa dihindarkan. Kita berada dalam ruang publik yang demikian. Lantas bagaimana harus bersikap sehingga kewarasan kita dapat terjaga dengan baik. Kuncinya hanya pada perubahan prilaku. Bijaksanalah memilih informasi dan memilah media yang kredibel, perbanyak membaca, tingkatkan kemampuan literasi, tingkatkan kemampuan berpikir.

Berpikirlah untuk menguji kebenaran, bukan hanya untuk mengkonfirmasi kepercayaan yang kita miliki, luaskan pengetahuan dan wawasan, sehingga kita hidup dalam banyak perspektif dan tidak fanatik terhadap kebenaran yang kita ketahui, apalagi fanatik pada kebenaran semu yang didapatkan melalui hoaks. Semoga bermafaat.

Ben Ibratama
Ben Ibratama
Tenaga Ahli DPR RI bidang Keuangan, Perencanaan Pembangunan, dan Perbankan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.