Rabu, Mei 8, 2024

Politik Anak Muda dan Demokrasi Kita

Kreshna Manggala Putra
Kreshna Manggala Putra
Kandidat Magister Sosiologi, Universitas Indonesia

Mebicarakan peranan anak muda di Indonesia dalam konteks politik saat ini memang tidak bisa terlepas dari pembahasan proses perjalanan sosio-hisotrisnya. pasalnya, pemuda merupakan golongan yang secara khusus terbentuk dan bertransformasi dari zaman ke zaman.

Sebut saja, gerakan politik pemuda di Indonesia yang diawali dengan gerakan organisasi Budi Utomo tahun 1908 hingga gerakan mahasiswa pada masa reformasi 1998 saat gerakan tersebut berhasil memberhentikan periode kekuasaan Presiden Soeharto yang berlangsung otoriter selama periode orde baru saat itu.

Kini, setelah beberapa tahun pemerintahan berlangsung saat era pasca-reformasi ini, keterlibatan aktif anak muda dalam berpolitik justru dinilai menurun. Meski dalam beberapa momentum gerakan politik akhir-akhir ini, pemuda masih terpantau unjuk gigi untuk menyuarakan kepentingan publik.

Di antaranya seperti gerakan mahasiswa yang menolak rangkaian RUU bermasalah (RKUHP, RUU Minerba, RUU Cipta Kerja, Pengesahaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU lainnya) mengundang gelombang massa yang masif di gedung DPR RI pada pertengahan tahun 2019 lalu dan beberapa rangkaian gerakan demonstrasi setelahnya.

Akan tetapi, di sisi jalur politik praktis, eksistensi anak muda saat ini justru masih dikatakan minim. Saat ini keterwakilan politik anak muda masih tercatat sebesar 4 persen dari total 575 kursi anggota dewan. Dalam arti, hanya terdapat sejumlah 24 pemuda dengan usia 23 – 30 tahun yang berhasil terpilih sebagai anggota DPR RI pada periode 2019 – 2024. Hanya 4 Persen Representasi Politik Anak Muda di DPR RI

Melihat ini, hal tersebut merupakan suatu kendala. Absennya partisipasi anak muda dalam ruang politik saat ini menjadi penting untuk dibahas dan akan dikupas melalui tulisan ini. Tulisan ini berfokus untuk menjelaskan kendala-kendala partisipasi politik pemuda dan peluang demokrasi Indonesia.

Kendala Partisipasi Politik Pemuda

Dalam konteksi ini, pemuda merupakan kelas menengah Indonesia yang mengambil peran dalam perubahan sosial-politik (Klinken dalam Jati, 2015). Dalam arti yang bersamaan, pemuda di sini memiliki fungsi agensi sebagai agen perubahan (agent of change).

Secara ideal harapan yang terbangun bagi gerakan politik pemuda di Indonsia diekspektasikan akan berlangsung seperti yang dikemukakan. Akan tetapi, dalam praktiknya konstruksi pemuda sebagai agen perubahan tersebut menemui berbagai kendalanya untuk berpartisipasi secara penuh dalam berpolitik.

Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi, pertama kebijakan pro pasar yang dibuka sejak pemerintahan orde baru menjadikan pemuda dioobjektifikasi untuk menopang kebutuhan perekonomian negara. Hal ini menyebabkan pemuda justru menjadi ketergantungan dengan pasar yang perhlahan membuat pemuda menjadi apolitis.

Sebaliknya, eksistensi pemuda bukan justru disiapkan kembali menjadi tonggak pembaruan politik, melainkan pemuda hanya sebatas dieksploitasi untuk kebutuhan pasar dan dimobilisasi suara politiknya. Dalam arti, pemuda tidak menjadi determiner untuk mengarusutamakan kekuasaan di Indonesia.

Kedua, pemuda saat ini juga sedang dihadapi dengan patologi gerontokrasi yang menempatkan pemuda tidak dipercaya dalam menggambil kemudi kepemimpinan politik (Rachman, 2020). Fenomena ini secara nyata membuat generasi muda berhasil dicap oleh golongan tua dengan penilaian bahwa pemuda belum siap untuk mengambil keputusan serta minim pengalaman untuk memimpin.

Kritik lain, sekalipun terdapat golongan muda yang berhasil menemenangkan kontestasi politik, keberadaannya tidak melulu diuntungkan oleh kapasitas politik yang mumpuni. Akan tetapi, latar belakang dinasti politik maupun oligarki justru menjadi pendorong keberhasilan akses golongan muda tertentu untuk berpolitik.

Ketiga, seiring dengan itu kendala lain adalah dikarenakan oleh luputnya partai politik dalam melihat pemuda sebagai aset politik. Hal ini tercermin dari lemahnya sistem kaderisasi yang tidak menaruh besar atensinya pada kader-kader muda yang membangun karir politiknya dari bawah (Hermawan, 2015).

Demokrasi di Tangan Pemuda

Kembali pada cita-cita reformasi, bahwasannya demokrasi sangatlah didambakan untuk diwujudkan bersama. Akan tetapi, dalam perwujudannya, selama proses yang telah berlangsung tidaklah mudah. Ruang-ruang kuasa nampaknya masih didominasi oleh politik dinasti maupun oligarki (Liddle, 2012) dan generasi tua yang menampik keaktifan generasi muda dalam arena politik.

Meski demikian, walaupun demokratisasi menghadapi banyak rintangan dan tantangan seperti yang dikemukakan, upaya demokratisasi haruslah tetap berjalan. Pemuda sebagai elemen masyarakat sipil (civil society) (Diamond, 1999) secara berkesinambungan haruslah terus dibangun kesadarannya, mengingat potensi dan kapasitasnya selama ini sangatlah dapat diperhitungkan hingga masa mendatang.

Posisi pemuda yang ditengahkan sebagai agensi, secara proporsional memiliki kekuatan yang besar untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan dari struktur kelas yang berada di atasnya maupun di bawahnya. Oleh karenanya kesatuan dan kekuatan pemuda harus terus dibangun dan dirawat melalui aktivisme maupun gerakan politik pemuda yang dilakukan secara kolektif kedepannya.

Melihat pentingnya peranan pemuda ini, rasanya masih ada celah optimisme yang tersemat pada golongan muda untuk membangun masa depan demokrasi Indonesia yang bermutu. Meskipun secara nyata, kesulitan tentu berada dihadapan mata yaitu ancaman perpecahan dan intoleransi (Jones, 2015) serta politik identitas, disintegrasi dan menguatnya populisme (Mudhoffir, Yasih, & Hakim, 2019).

Dengan demikian, keberadaan masalah-masalah yang tengah dihadapi pemuda saat ini dalam melangsungkan gerakan politik, memperlihatkan bahwasannya golongan pemuda menemui kendala yang berarti untuk membangun keaktifan dan partisipasinya dalam berpolitik. Konsepsi ideal pemuda yang dijuluki sebagai agent of change tidak serta merta mudah dibangun di tengah berkembangnya ancaman-ancaman tersebut.

Akan tetapi, segala keberadaan tantangan-tantangan tersebut menyadarkan kembali peranan pemuda sebagai kelas menengah yang memiliki fungsi sebagai civil society. Perlunya peranan pemuda untuk memperkuat demokrasi dengan membangun koalisi-koalisi kolektif masyarakat melalui aktivisme maupun gerakan politik pemuda. Akhir kata, pemuda perlu bergerak secara berkelanjutan agar demokrasi tetap eksis bagi masa depan Indonesia.

Referensi: 

Diamond, L. (1999). Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore: John Hopkins University Press.

Hermawan, A. A. (2015). Persepsi Pemuda Terhadap Partai Politik Nasionalpeserta Pemilu 2014 Dan Implikasinya Terhadapketahanan Politik Wilayah (Studi Pada Knpi Provinsi Banten). Jurnal Ketahanan Nasional; Vol 20, No 3 (2014)

Jati, W. R. (2015). TINJAUAN BUKU: REKONFIGURASI POLITIK KELAS MENENGAH INDONESIA. Masyarakat Indonesia, Vol. 41 (2)

Jones, S. (2015). Sisi Gelap Demokrasi. Jakarta: PUSAD.

Liddle, R. W. (2012). MEMPERBAIKI MUTU DEMOKRASI DI INDONESIA. Jakarta: PUSAD.

Mudhoffir, A. M., Yasih, D. W. P., & Hakim, L. (2019). Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia. Maarif.

Rachman, R. (2020). Gerontokrasi dan Kepemimpinan Daerah. Update Indonesia, Volume XIV.

Kreshna Manggala Putra
Kreshna Manggala Putra
Kandidat Magister Sosiologi, Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.