Akhir-akhir ini, polemik wisuda yang digelar pada setiap jenjang pendidikan menjadi salah satu isu yang paling santer diperbincangkan. Kegiatan yang penuh dengan nilai-nilai kesakralan tersebut, oleh sebagian orang dinilai tidak boleh dilakukan di semua jenjang, cukup hanya di perguruan tinggi saja.
Sebab, jika dilakukan di semua jenjang. Maka, pagelaran wisuda akan kehilangan nilai kesakralannya. Wisuda akan terasa hambar. Sebab, sejak TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi semua orang sudah pernah mengikutinya. Tidak hanya itu, pengeluaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan wisuda juga tidak kecil. Seseorang harus merogoh kocek yang besar untuk bisa mengikutinya. Belum lagi biaya aksesoris dan biaya-biaya lain yang dibutuhkan, semuanya harus dipersiapkan dengan budget yang sangat besar. Oleh karena itu, wajar, jika pelaksanaan wisuda di semua jenjang pendidikan menjadi sorotan.
Namun, di balik polemik yang terjadi, ada juga sebagian orang yang mendukung agar kegiatan wisuda dilakukan di semua jenjang pendidikan. Menurut mereka, prosesi wisuda yang dilakukan adalah bentuk apresiasi terhadap siswa yang telah bersungguh-sungguh mengikuti serangkaian proses pembelajaran selama waktu yang telah ditentukan.
Mereka telah mengerahkan seluruh potensi untuk meraih semua capaian yang ditargetkan kepada mereka selama beratus sebagai siswa dan mahasiswa. Sehingga, dengan pelaksanaan wisuda, setidaknya semua pengorbanan tersebut dapat terbayarkan. Maka, sangat tidak adil jika kegiatan wisuda hanya digelar di bangku perkuliahan saja. Sebab, semua jenjang pendidikan juga membutuhkan pengorbanan yang luar biasa untuk melewatinya.
Terlepas dari semua itu. Jika ditelusuri kembali, sejak dahulu, tradisi wisuda sudah dilakukan pada abad pertengahan dengan membawa gada atau tongkat wisuda. Sedangkan di Indonesia, kata wisuda awalnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu ‘wisudha’ yang artinya pelantikan bagi orang yang telah menyelesaikan pendidikan.
Umumnya, prosesi wisuda selalu dikaitkan dengan pakaian toga. Di mana toga berasal dari Bahasa Latin ‘tego’ yang artinya penutup. Melansir laman republika.id (23/10/22), awalnya toga merupakan pakaian sejenis jubah yang dipakai oleh pribumi Italia atau bangsa Etruskan. Seiring perkembangan jaman, toga kemudian dijadikan pakaian oleh bangsa Romawi, hingga akhirnya University of Oxford dan University of Cambridge sebagai perguruan tinggi pertama meresmikan pakaian kelulusan dalam bentuk toga wisuda. Sampai sekarang, prosesi wisuda tersebut terus berlangsung, bahkan hampir di seluruh jenjang pendidikan.
Sebenarnya, jika ditilik secara mendalam, tidak ada yang salah terkait pelaksanaan prosesi wisuda di semua jenjang pendidikan. Hanya saja, hendaknya pihak pengelola satuan pendidikan harus mampu menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua siswa. Seremoni yang dilakukan juga tidak perlu terlalu mewah, cukup sekadarnya saja, sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak membebani siapapun. Baik itu siswa maupun orang tuanya. Dengan demikian, prosesi wisuda dapat diikuti oleh seluruh siswa tanpa merasa terpaksa apalagi tertekan. Meskipun memang tidak mudah untuk mewujudkannya. Buktinya, yang terjadi di lapangan, banyak sekolah yang terkesan memaksakan untuk pelaksanaan wisuda, tidak menghiraukan kemampuan ekonomi orang tua siswa. Inilah penyebab polemik sesungguhnya.
Untuk itu, dalam mengantisipasi hal ini, perlu ada kajian mendalam oleh dinas terkait yang diikuti oleh pimpinan satuan pendidikan. Dari kajian tersebut, harapannya diperoleh rekomendasi-rekomendasi yang seragam terkait pelaksanaan wisuda di masing-masing satuan pendidikan. Hal tersebut bisa disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing jenjang pendidikan.
Pelaksanaannya pun harus opsional, tidak bersifat wajib. Sehingga, masing-masing satuan pendidikan dapat menyesuaikan. Selain itu, bagi satuan pendidikan, jika ingin juga melakukan wisuda. Maka harus mendapat persetujuan dari orang tua siswa terlebih dahulu, atau harus dilakukan sosialisasi jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan wisuda. Sehingga, penolakan demi penolakan tidak lagi ditemukan. Pagelaran wisuda pun dilaksanakan tanpa ada keterpaksaan.
Terakhir, dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan wisuda memang sangat krusial untuk dilakukan. Terlepas hal tersebut sebagai kegiatan rutinitas atau apresiasi terhadap perjuangan siswa. Semuanya harus dilakukan sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Tetapi, meskipun demikian, pelaksanaannya tidak boleh memaksakan atau memberatkan salah satu pihak, harus berdasarkan kesanggupan. Bagi yang tidak sanggup untuk mengikuti, jangan dipaksakan untuk mengikutinya. Atau untuk menyiasatinya, masing-masing satuan pendidikan dapat menyelenggarakan program tabungan wisuda yang dilaksanakan jauh-jauh hari sebelum proses wisuda digelar. Intinya, terkait prosesi wisuda ini, tidak ada yang salah.
Selagi dilakukan sesuai dengan kebutuhan, maka semua dapat menerimanya. Dan akhirnya, Gejolak penolakan wisuda di semua jenjang pendidikan dapat diminimalisir. Sehingga polemik terkait wisuda dapat disudahi.