Dalam beberapa pekan terakhir, ruang publik di Indonesia diwarnai dengan polemik terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kontroversi ini semakin memanas ketika sejumlah aktivis melakukan aksi protes di Hotel Fairmont Jakarta, tempat berlangsungnya pembahasan revisi UU tersebut. Insiden ini berujung pada pelaporan pidana oleh pihak keamanan hotel dengan dasar beberapa pasal dalam KUHP dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Laporan pidana tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana negara harus menyikapi kritik terhadap kebijakan publik. Apakah demonstrasi dan ekspresi protes harus selalu dipandang sebagai pelanggaran hukum? Atau justru kritik tersebut merupakan wujud sehatnya demokrasi yang seharusnya dihormati?
Dari perspektif hukum pidana, laporan yang diajukan oleh satpam hotel berlandaskan pada beberapa ketentuan, yakni Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 406 KUHP tentang pengrusakan barang, serta Pasal 18 UU Nomor 9 Tahun 1998. Dalam praktiknya, pasal-pasal ini kerap digunakan untuk merespons aksi demonstrasi yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
Namun, pendekatan retributif dalam menangani aksi protes ini memunculkan dilema tersendiri. Menteri HAM, Natalius Pigai misalnya, menyarankan agar kepolisian menempuh jalur restoratif dalam penyelesaiannya. Pendekatan ini menekankan pada mediasi dan penyelesaian di luar mekanisme pidana formal, yang lebih berorientasi pada rekonsiliasi ketimbang penghukuman.
Restorative justice dalam kasus ini memiliki relevansi kuat, mengingat protes yang dilakukan merupakan bagian dari mekanisme demokrasi. Kritik masyarakat terhadap revisi UU TNI adalah bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Dalam konteks hukum, keterbukaan informasi publik juga menjadi aspek penting yang harus diperhatikan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menggarisbawahi bahwa setiap proses legislasi yang memiliki dampak luas bagi masyarakat harus dilakukan secara transparan, terbuka, dan adanya partisipasi masyarakat yang terjamin. Oleh karena itu, pembahasan revisi UU TNI di ruang tertutup seperti hotel komersial justru bertentangan dengan prinsip keterbukaan yang menjadi dasar demokrasi deliberatif.
Legitimasi suatu kebijakan tidak hanya diukur dari formalitas hukum yang mengaturnya, tetapi juga dari sejauhmana masyarakat dapat berpartisipasi dalam perumusannya. Jika revisi UU TNI dirancang tanpa ruang partisipasi publik yang memadai, maka kredibilitasnya dapat dipertanyakan. Justru, kritik dari masyarakat harus dianggap sebagai bentuk partisipasi yang sah dalam proses pembuatan kebijakan.
Selain itu, penerapan pasal-pasal KUHP terhadap aksi protes seperti ini berisiko menimbulkan chilling effect, yaitu efek ketakutan yang menghambat masyarakat dalam mengekspresikan pendapatnya. Penggunaan instrumen hukum pidana untuk meredam kritik terhadap pemerintah aupun legislatif dapat mempersempit ruang demokrasi dan bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Dalam sejarahnya, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum hadir sebagai koreksi atas rezim otoritarian yang membungkam kebebasan berbicara. Maka, penggunaan pasal dalam UU ini untuk menjerat demonstran dalam kasus ini justru paradoksal. Seharusnya, UU tersebut menjadi payung bagi kebebasan berekspresi, bukan alat untuk membatasi kritik terhadap pemerintah.
Penting untuk dicatat bahwa TNI sebagai institusi militer yang berada di bawah kendali sipil dalam negara demokrasi harus tetap terbuka terhadap kritik dan masukan dari publik. Jika revisi UU TNI dipandang tidak mencerminkan kepentingan rakyat, maka wajar jika masyarakat memberikan reaksi. Oleh sebab itu, pendekatan yang represif dalam merespons protes hanya akan memperlebar jurang antara pemerintah dan rakyatnya.
Dalam penyelesaian kasus ini, opsi restoratif yang disarankan oleh Menteri HAM layak untuk dipertimbangkan. Mediasi antara para aktivis, pihak keamanan hotel, dan pemerintah dapat menjadi solusi yang lebih adil dan konstruktif daripada sekadar menghukum para pemprotes. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip hukum pidana modern yang semakin menekankan pada penyelesaian berbasis keadilan restoratif dibanding retributif.
Demokrasi tidak hanya tentang pemilu atau pembentukan pemerintahan, tetapi juga tentang bagaimana negara menghargai hak sipil dan politik warganya, termasuk kebebasan berekspresi. Di era digital, media sosial menjadi ruang publik baru di mana masyarakat dapat menyuarakan pendapat, membangun diskusi, dan mengkritik kebijakan pemerintah. Pembungkaman kritik, baik di ranah fisik maupun digital, justru akan menurunkan legitimasi negara di mata rakyat dan dunia internasional.
Lebih jauh, indeks demokrasi Indonesia yang selama ini mengalami pasang surut sangat bergantung pada sejauhmana pemerintah menjamin kebebasan berekspresi warganya. Penegakan hukum yang represif terhadap kritik dan protes hanya akan memperburuk citra demokrasi dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Sebaliknya, jika kritik diakomodasi dengan baik dan menjadi bagian dari proses pembuatan kebijakan, maka nilai demokrasi akan meningkat.
Penegakan hukum harus tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Mengkriminalisasi aksi kritik terhadap kebijakan publik dapat menciptakan preseden buruk bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Sebaliknya, merangkul kritik dan menjadikannya bagian dari diskursus kebijakan justru akan memperkuat legitimasi hukum itu sendiri. Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu memastikan bahwa ruang demokrasi tetap terjaga, dengan mengedepankan pendekatan yang lebih inklusif dan restoratif dalam menangani polemik yang muncul di tengah masyarakat.