Kamis, April 25, 2024

Polemik Nasionalisme Rakyat Papua

Kevin Alfirdaus
Kevin Alfirdaus
Pegiat buku & diskusi. Anggota ukm kepenulisan / lembaga pers mahasiswa Siar & Intrans Institute, Malang, Indonesia.

Indonesia genap merakayakan kemerdekaan yang sudah tumbuh 73 tahun lamanya. Seperti harapan seluruh bangsa Indonesia, cita-cita bangsa adalah menjadi bangsa yang maju dan beradab.

Dari segi ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan sudah diatur dan terus ditinggikan kualitasnya sedemikian rupa agar bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa yang tertinggal. Seperti yang diidamkan oleh seluruh rakyat, kemerdekaan itu bukanlah kemerdekaan yang dimiliki oleh kelompok dominan seperti pada sektor pulau Jawa saja.

Semua rakyat pun akan tergetar hatinya jika melihat keadaan geografis di timur sana yang jauh tertinggal dari pusat Indonesia.

Dalam kasus tersebut penulis fokus dengan perjuangan rakyat Papua yang selalu ingin meluruskan sejarah yang ditutupi pemerintah. Sebelumnya, pada tanggal 15 Agustus 2018 anak-anak Aliansi Mahasiswa Papua Malang (AMP) melakukan aksi Long March di sekitaran jalan Gajayana Malang sampai jalan Sumeru dengan bertepatan perjanjian New York Agreement yang sudah berjalan 56 tahun dari 1962 lalu.

Saat ini apa yang diperjuangkan oleh rakyat Papua sepenuhnya dituding sebagai tindakan yang sparatis. Tudingan tersebut bukan sekali dua kali, banyak sekali permasalahan atas nama Papua Barat yang di cap tidak pernah bersyukur oleh apa yang Negara berikan.

Permasalahan Papua bukan soal rasisme saja, tapi soal kemanusiaan dan keterbukaan informasi yang sampai saat ini entah rakyat yang tidak mampu membaca situasi tersebut ataupun ada permasalahan yang sengaja ditutup-tutupi.

“Papua sendiri dulu sebelumnya memiliki dewan sendiri, kaya DPR begitu… nama nya Dewan New Guinea dengan Komite Nasional Papua. Ini di bentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Papua. Jadi dua lembaga ini dibentuk untuk meliputi lambang negara, bendera, lagu kebangsaan,” Ujar bung Yohannes Gyay selaku juru bicara Aksi Long March AMP Malang itu.

Menurut data suarapapua.com (ketika hak-hak politik bangsa Papua diberangus) Majelis Umum PBB mendukung Proposal ‘kompromi’ tentang New Guniea Barat yang mengakui hak-hak orang-orang asli Papua untuk menentukan nasib nya sendiri (Self-determination).

Mungkin kita sering mendengar Peristiwa Komando Rakyat (TRIKORA) pada tanggal 19 Desember 1961 dengan tuntuan mengklaim kemenangan bangsa Papua Barat dan persiapan masuknya Papua Barat dalam status dan bagian dari kepulauan Indonesia.

Pada tanggal 15 Agustus 1962, dilakukan nya perjanjian tersebut antara Belanda dan Indonesia serta Amerika Serikat sebagai penengah dan keterlibatan PBB dalam pengaturan hukum dunia.

Yang jadi titik permasalahan disini adalah bagaimana saat itu perjanjian tersebut dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua Barat. Jika berangkat dari kisah sebelumnya, Papua Barat sempat mendekralasikan kemerdekaannya atas nama pembebasan dari kepentinan Negara-negara kolonial dan juga Negara Indonesia.

Namun hal tersebut tidak disetujui oleh hukum internasional karena pemerintah Belanda kala itu belum menyetujui keinginan membebaskan diri. Belanda yang kala itu membangun Papua di sektor pendidikan dan juga agama memiliki wewenang kusus atas Papua.

Dan perebutan Irian barat pun terjadi sampai pasca Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 yang kala itu suara dimenangkan oleh Indonesia. Namun lagi-lagi penentuan pendapat tersebut menciderai demokrasi karena tidak satu pun Rakyat Papua yang ikut perjanjian akan nasib di tanahnya sendiri.

Dari sejarah yang ditutup-tutupi tersebut, minim nya keterbukaan Informasi dari berbagai kalangan masyarakat. Informasi di Indonesia di saring betul, karena termasuk isu sensitif yang membuat gejolak baru di kalangan masyarakat.

Berbagai tudingan masuk, termasuk tudingan jika membela permasalahan HAM Papua dituding sebagai pro kemerdekaan Papua dan melawan NKRI. Dengan bermodalkan oleh isu-isu nasionalisme, hegemoni bisa berpihak pada kelompok dominan. Siapa saja bisa dicap sebagai kelompok sparatis.

Aksi tersebut sering biasa diadakan berbagai kota di Indoneisa yang termasuk mahasiswa Papua yang sedang menjalani studi nya. Dan puncaknya adalah pada 1 Desember yaitu perayaan Hari Kemerdekaan Papua yang jadi harapan rakyat Papua, dimana biasanya mahasiswa dari berbagai kota berkumpu di Jakarta.

Selalu ada rekayasa konflik yang dari aparat militer yang membuat Papua selalu tidak bisa mengeluarkan keresahannya. Ini lagi-lagi tak bisa membendung keresahan yang warga Papua alami. Pers dan keterbukaan informasi tak dapat dijadikan sebagai bahan perlawanan, meski presentase masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan informasi. Kurang nya independensi wartawan soal keterbunkaan Informasi adalah faktor utama mengapa sampai saat ini pers diduga bungkam.

Pada kasus yang tak punya kejelasan tersebut, mahasiswa Papua yang terbagi dari beberapa kelompok dalam berbagai kota beramai-ramai melawan hegemoni pemerintah. Kelompok mahasiswa yang biasa disebut Alians Mahasiswa Papua (AMP) tersebut sudah terbentuk dari tahun 1989 dan terus beregenerasi untuk meminta kejelasan hukum yag timpang tersebut.

Berbagai tindakan represif dan intimidasi sering dilakukan oleh aparat pemerintah. Bahkan sampai ruang privat sekalipun seperti yang terjadi Kontrakan Papua di Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang yang sedang bedah film dan diskusi sejarah Papua pada 1 July 2018.

Alasan yang tak masuk akal pun dihadapi oleh pihak mahasiswa Papua, dari belum bayar kontrakan, sampai alasan meresahkan warga asli Malang. Padahal jelas, kala itu warga sana sudah menanggap sebagai keluarga sendiri karena mahasiswa Papua sudah bertempat tinggal lebih dari Sembilan tahun lamanya. Dan kala itu AMP Malang hanya melakukan kegiatan Intelektual mahasiswa dengan membuka mata akan sejarah.

Tidak hanya itu, lagi-lagi publik yang sadar akan isu-isu HAM di bingungkan dengan penangkapan dan pemaksaan mahasiswa Papua untuk memasang bendera merah putih di asrama mahasiswa Papua.

Kasus itu berangkat dari kelompok ormas yang datang kemudian marah-marah “Ini Surabaya, bukan Papua,” antara dua kubu pun melakukan perdebatan dan terlibat perkelahaian. Karena diduga mahasiswa Papua ada yang mengalami luka di pelipis mata, ia pun pulang ke Asrama dan kembali dengan membawa parang.

Sebagai langkah menyelamatkan diri dari serangan balik mahsiswa, anggota ormas lari keluar dari asrama saling tabrak kemudian melakukan pengaduan ke polisi karena terancam dan mengalami beberapa luka. “Saat ini kawan-kawan mahasiswa Papua lebih dari 50 orang sedang berada di Polrestabes Surabaya” ujar Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH).

Beralih ke Aksi Long March kemarin yang berhenti di lampu lalu lintas jalan Sumeru dan tidak sampai ke Balaikota, bung Yohannes pun berpesan terhadap seluruh Rakyat Indonesia “karena di Balaikota sedang di adakan perayaan 17 an, hari pramuka, akhirnya kita (AMP) sepakat untuk membubarkan aksi tersebut karena kawan-kawan menghargai rakyat-rakyat Indonesia yang sudah menumpahkan darah nya untuk merdeka,” Ujar Yohanes.

Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di dunia tidak harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan. perikeadilan (Pembukaan UUD 1945). Semoga kita bisa merefleksikan ini.

Kevin Alfirdaus
Kevin Alfirdaus
Pegiat buku & diskusi. Anggota ukm kepenulisan / lembaga pers mahasiswa Siar & Intrans Institute, Malang, Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.