Minggu, April 28, 2024

Polemik Kemitraan Kurir

Ayunita Nur Rohanawati
Ayunita Nur Rohanawati
Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Mahasiswa Program Doktoral Fak. Hukum Universitas Gadjah Mada

Kemajuan zaman dan teknologi melaju sangat cepat hingga regulasi tak mampu membendungnya. Hal ini berdampak pada perlindungan bagi pekerja yang jauh dari kata sempurna. Kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia semakin meningkat, saat ini ditambah dengan permasalahan lanjutan terkait dengan banyaknya bermunculan istilah mitra di bidang ketenagakerjaan. ‘Mitra’ seolah menjadi ruang untuk menghindari berbagai kewajiban ketenagakerjaan yang harus ditunaikan oleh pemberi kerja.

Penggunaan istilah mitra di satu sisi dikatakan bahwa memberikan keuntungan bagi pekerja karena dapat menentukan kapan waktu bekerja mereka sendiri. Namun di sisi lainnya, ada hal-hal yang justru merugikan pekerja, seperti jaminan sosial tenaga kerja yang harus diselenggarakan secara mandiri oleh pekerja atau lebih dikenal sebagai individualisasi risiko, kemudian target-target yang harus dicapai yang sudah ditentukan secara sepihak dari pihak perusahaan, dan ketentuan lain yang cukup memberatkan pekerja.

Pola hubungan yang terjalin antara pekerja dengan perusahaan penyedia aplikasi yang dalam hal ini tidak disebut sebagai pemberi kerja ialah hubungan yang memiliki similaritas dengan hubungan kerja. Kewajiban yang dilaksanakan oleh pekerja masuk dalam kriteria pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam regulasi ketenagakerjaan.

Jika melihat unsur kewajiban pekerja ini ada ketimpangan dan kedudukan subordinat antara pekerja dan perusahaan penyedia aplikasi. Begitupun terkait hak upah yang didapatkan pekerja, ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Hal terakhir yang sangat terlihat yaitu unsur perintah yang begitu dominan dengan status ‘mitra’ tersebut.

Di Indonesia pekerja dengan status mitra mengalami perkembangan dan semakin beragam. Jika pada awal munculnya transportasi online, pengemudi transportasi online berstatuskan mitra dan mereka memiliki perlindungan yang minim atas pekerjaan yang dilakukan, kini status mitra berkembang pada jenis pekerjaan sebagai kurir atau pengantar barang.

Status tersebut muncul dengan satu alasan yang dibangun untuk meluaskan kesempatan kerja bagi masyarakat Indonesia. Namun di satu sisi justru menimbulkan polemik terkait dengan hak dan kewajiban antara para pihak yang terlibat dalam hubungan pekerjaan yang tidak berdasarkan pada regulasi ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.

Tepatkah status tersebut? Mengingat bahwa posisi mitra memposisikan kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian memiliki posisi hukum yang sejajar, bukan subordinat. Kemudian hal yang perlu ditinjau lebih lanjut terkait dengan unsur keadilan dalam hubungan hukum yang terjalin tersebut apakah memberikan keadilan bagi kedua belah pihak ataukah masih berat sebelah sehingga menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.

Hal lain yang tidak didapat pekerja dengan status mitra jika dibandingkan dengan pekerja pada umumnya ialah kebebasan berserikat. Status mitra yang sebenarnya membuat mereka tidak memiliki kepastian hukum ini menggiring pada posisi mereka yang semakin lemah.

Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/ Serikat Pekerja, serikat pekerja dibentuk untuk menguatkan posisi pekerja di depan pengusaha dan tentunya dapat membantu untuk mengawal berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan. Namun dengan status yang disandang, pekerja ini justru tidak bisa berserikat dan berkumpul serta mengemukakan pendapat untuk memperjuangkan hak-haknya di depan pengusaha. Kalaupun pekerja dengan status mitra ini membentuk serikat, kedudukannya juga tidak sekuat serikat pekerja pada umumnya.

Permasalahan kemitraan ini bukan hanya permasalahan yang terjadi di Indonesia, namun juga di berbagai negara lainnya. Semua menjadi rancu manakala kecepatan perkembangan teknologi hadir di tengah masyarakat, namun negara belum siap dengan hal ini. Sehingga hal ini berdampak pada posisi pekerja yang sudah lemah posisinya, semakin dilemahkan dengan keadaan ini.

Masalah itu boleh saja terjadi di negara lain juga, tidak hanya di Indonesia. Namun bukan menjadi alasan bagi pemerintah Indonesia untuk turut serta dalam kebingungan yang tak menentu. Setidaknya ada ketegasan yang bisa diambil untuk dapat menguatkan posisi pekerja yang dalam hal ini juga merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang sama-sama memiliki hak untuk sejahtera sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Repunlik Indonesia Tahun 1945.

Ayunita Nur Rohanawati
Ayunita Nur Rohanawati
Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Mahasiswa Program Doktoral Fak. Hukum Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.