Rabu, Oktober 9, 2024

Pinisi dan Keunikannya

Dwi Rezki Hardianto
Dwi Rezki Hardianto
Presiden Mahasiswa BEM UNM Periode 2018-2019 | Magister Sastra FIB UGM.

Biar Lebih Untung (BLU) – sebuah frasa yang cukup terngiang di dalam Perahu yang di miliki oleh ribuan kepala. Menggelegar di tengah Perahu yang siap berlabuh menuju ke pelelangan manusia, guna menjual harga diri demi terciptanya sebuah sistem perdagangan yang sejalan dengan logika pasar bebas.

BLU dengan Wajah Seramnya

Di awal tahun 2019. Pinisi sebagai metonimi dari Perahu, disaat ini telah memasuki babak baru yang disebut era Revolusi Industri 4.0, babak yang penuh dengan masalah dan akan memperpanjang barisan permasalahan.

Layaknya Penggadaian yang memiliki motto “Menyesaikan masalah tanpa Masalah” sebagai fenomena yang dikonstruk agar masyarakat tertarik dalam menggadaikan barang miliknya. Padahal wacana itu malah menambah masalah yang baru – bukan sebuah solusi.

Setalah ditetapkannya UU No. 12 tahun 2012 sebagai produk politik hukum, Indonesia mengalami banyak perubahan dalam mengelolah sistem pendidikannya. Dalam aturan tersebut, pendidikan tinggi menjadi masalah yang tak akan mampu untuk menyelesaikan persoalan sosial.

Sebab gambaran utama dalam Produk hukum tersebut malah menjadikan Pinisi menuju perahu yang elit, mahal dan sejalan dengan titipan pelelangan – Komersil, liberal dan privat adalah wacana yang selalu dilontarkan oleh para penumpang.

BLU yang berdalih untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan kesejahtreaan Rakyat adalah penghormatan semu yang dilontarkannya agar dipandang bahwa tujuan tersebut sesuai dengan “asbabun nuzul” dari Negara ini. Sebagai kebohongan, dia telah menjadikan topeng Negara agar tertuju kepada sisi gelap industrialisasi.

BLU adalah ancaman yang sesuai dengan ruhnya guna menjadikan perguruan tinggi sebagai pasar dalam menjalankan sistem pendidikan (korporatisasi pendidikan). Kerja Pasar yang dijalankannya malah menjadi wajah pendidikan sebagai alat dalam mengebiri intelektualitas dan humanitas.

Intelektualitas yang dimaksud adalah proses pencaharian kebenaran dibalik kenyataan (meminjam istilah Ali Syari’ati). BLU hadir sebagai upaya Negara dalam melepaskan tangan abadinya atas pendidikan secara bertahap, inilah yang disebut status semi-otonom.

Perguruan Tinggi akan berpikir keras dalam mencari pemasukan dalam menghidupkan dirinya sendiri, sehingga memproduksi komoditas adalah salah satu caranya agar diminati oleh masyarakat. Apabila aset yang dijadikan komoditas tak terpenuhi maka salah satu sasaran tembakan mautnya adalah dompet mahasiswa. Maka tak heran jika ongkos angkutan Pinisi kepelelangan Manusia semakin mahal.

Pasar akan berjalan. Pinisi dengan ekslusifitasnya (akreditasi A) sebagai kepalsuan malah menempatkan intelektualitas sebagai brand yang mengilusi masyarakat. Intelektualitasitu malah ditempatkan di dalam toilet-toilet perahu yang kotor dan menjijikkan, sebagai mana gambaran UNM saat ini sangat kotor atas tindakan-tindakan para birokratnya yang mengungkung intelektualitas ke dalam penjara bisnis yang dijalankannya.

Sontak kelihatan ketika UNM menerapkan Kuliah Kerja Alternatif ke perusahaan-perusahaan sebagai bentuk pengabdian atas masyarakat “Borjuasi” dan menjadikan aset-aset kampus sebagai wahana pengembangan kreatifitas dan intelektualitas mahasiswa sebagai komoditas yang menghisap dompet mahasiswa, padahal aset tersebut adalah milik negara yang dibangun atas dompetmasyarakat dan mahasiswa sendiri.

Sehingga menghadirkan beberapan bentuk penghisapan kepada mahasiswa. Wajah ini akan semakin massif apabila UNM akan menerapkan PK-BLU yang bukan lagi sebagai aset negara dalam melayani masyarakat tapi lebih menjadi ruanguntuk mencari keuntungan.

Tanah perjuangan tanpa henti

Meminjam frasa “tanah perjuangan tanpa henti” dalam penggalan syair “Himne BEM UNM Untuk Perubahan” karya Wildan Noumeru. Pinisi saat ini mengalami goncangan yang hebat akibat penumpangnya yang tak henti-hentinya berteriak dan mendobrak kamar-kamar elit dari penumpang lainnya.

Kita yang hanya tidur beralaskan lantai dan dipenjarakan pada lambung Pinisi, adalah gambaran kongkrit betapa teganya mereka (para elitis) menumpah darah dan air mata para pendahulu. Padahal pada awalnya kita sama-sama menikmati semua pemberiannya, merasakan memiliki hak yang sama tapi para elitis birokrat seolah-olah melawan Bangsanya sendiri.

Simulacra (meminjam bahasa Jean Baurdillard) yang didefinisikan tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. UNM saat ini telah banyak mereproduksi kenyataan yang semu.

Meneriakkan tentang Satker terbaik, Akreditasi A, Revolusi Industri 4.0, BLU, sampai mengeluh bahwa UNM lagi krisis keuangan dengan alasan-alasan yang mampu meninabobokkan mahasiswa adalah Hoax yang sama sekali tak menguntungkan.

Di balik gencarnya serangan hoax penguasa. UKT mahal, pungutan diluar UKT yang tak lekas menjadi tunggal serta demokrasi yang diambang kehancuran di bawah Pasar adalah beberapa kebijakan UNM yang sampai hari ini masih diintrupsi akibat tidak sejalannya Ruh UUD 1945 dan pancasila di kampus ini.

UNM yang saat ini dikatakan telah keluar dari Indonesia semestinya dikembalikan ke tanahnya yang sesungguhnya. Mengingat bahwa UNM merupakan bagian dari Negara ini sehingga kepatuhannya kepada Konstitusi Negara harus dilakukannya.

Celakanya Pemerintah juga mengiakan tentang perlunya Perguruan Tinggi untuk Otonom secara non-akademik termasuk didalamnya keuangan dan kemahasiswaan. Perguruan Tinggi berada pada kondisi keterpaksaan dalam menjadikan dirinya sebagaiPelacur Negara yang dibebaskan. Sehingga, UNM menjadikan regulasi Negara seperti UU No. 12 tahun 2012, Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 serta PP 74 tahun 2012 tentang Pengelolaan BLU sebagai tameng dan topeng untuk melesetkan tembakan perjuangan mahasiswa.

Tergerusnya kepercayaan kita terhadap Negara semakin menjadi jadi. Bahkan Negara dan beberapa institusi dibawahnya yang bergerak dalam menjalankan sistem pendidikan hanya menjadi pabrik dalam menghasilkan manusia-manusia yang tunduk atas Sistem Negara yang menjauhi nilai-nilai UUD 1945 dan Pancasila. Negara Indonesia harus dikembalikan ditanahnya kembali, tanah yang penuh dengan ceceran air mata dan darah para pendahulu, tanah yang menegakkan ideologinya, tahan perjuangan tanpa henti.

Dwi Rezki Hardianto
Dwi Rezki Hardianto
Presiden Mahasiswa BEM UNM Periode 2018-2019 | Magister Sastra FIB UGM.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.