Jumat, Oktober 11, 2024

Pilkada Jawa Timur Pertarungan Nalar yang Sanksi

Idang Aminuddin
Idang Aminuddin
Orang jelata dari desa. Melangkah untuk merdeka

Di Jawa Timur ada dua calon yang sudah muncul dan mendaftarkan diri di KPUD, Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno (Mbak Puti) dengan Khofifa Indar Parawansa (Ibu Khofifa)-Emil Elestianto Dardak (Emil). Dari kedua pasang kandidat ini sudah sama-sama tampil menyatakan siap dan mampu menjadikan Jawa Timur lebih baik.

Ungkapan kedua calon di atas, saya anggap wajar dan lawas serta biasa saja, apabila seorang calon pemimpin politik, atau calon kepala daerah menyatakan siap dan mampu membawa daerah yang akan dipimpinnya menjadi lebih baik.

Akan tetapi pernyataan tersebut, menjadi lebih mengambang tanpa makna, sebelum masyarakat memberikan penilaian sendiri dari sepak terjang prestasi, kapasitas serta integritas moral dari kedua calon tersebut, baik Gus Ipul maupun Ibu Khofifa.

Memperhatikan sekilas gelegat dari situasi politik Jawa Timur, menurut saya, seolah-olah terlepas siapa pun wakil dari kedua calon tersebut, itu dianggap hanyalah penopang tipis, dalam pilkada di Jawa Timur untuk mampu mendulum suara agar bisa menjadi tambahan menuju kemenangan dalam kontestasi politik Jawa Timur, yang akan digelar serentak 27 juni 2018 nanti.

Analisa tersebut saya mulai dari pemberitaan-pemberitaan, media mainstrem seputar pilkada Jawa Timur, yang condong pada salah satu calon  yang katanya “siap melanjutkan kepemimpinan sebelumnya yang sudah dinilai sukses” oleh pihaknya. Pertanyaannya apa barometer suksesnya? Masyarakatlah yang bisa memberi penilaian pada kinerja pemimpin/gubernur sebelumnya.

Tanpa harus berpikir mendalam dan melakukan verifikasi faktual semua orang juga pasti paham, untuk menilai orentasi dari ungkapan ” melanjutkan kepemimpinan sebelumnya yang sukses”.

Maka pastilah alasannya karena pemimpin sebelumnya salah satu pengusung utama adalah partai yang sama, maka sudah bisa kita simpulkan bahwa ungkapan tersebut diatas dimunculkan hanyalah karena kesamaan Partai pengusung oleh salah satu calon . Dan saya anggap ini tidak pantas dan tidak wajar.

Harusnya yang lebih mempunyai otoritas atas klaim ungkapan untuk melanjutkan kepemimpinan sebelumnya itu adalah Gus Ipul, karena beliaulah yang lebih tau karena beliau adalah wakil dari pemimpin/Gubernur sebelumnya tersebut. Terdengar tidak wajar dan bahkan lucu bila ungkapan tersebut diklaim oleh pihak lain selain Gus Ipul. Ini ibarat perampasan hak atas otoritas kewenangan seseorang.

Dari uraian-uraian tersebut diatas, saya tidak bermaksud ingin melemahkan, menyalahkan secara personal salah satu calon karena kesemuanya adalah kerja tim secara kolektif, tentu yang berkaitan dengan politik kekuasaan dan bisnis. Tatapi hal tersebut diatas tidak lebih dari sekedar meluruskan cara bernalar, dan berpikir sehingga tidak salah membuat suatu ungkapan yang tidak sesuai haknya.

Serta tidak tepat dengan cara kaidah berpikir pada umumnya. Sekali lagi saya tidak berangkat dari salah satu kubu, baik Gus Ipul maupun Ibu Khofifa. Karena siapapun yang terpilih dari kedua pasangan calon tersebut, dialah pemimpinnya di Jawa Timur kelak.

Selanjutnya kenapa saya anggap perlu dianalisa dan dikritisi, karena kalau ditinjau secara akal sehat yang logis, ungkapan tersebut diatas seakan-akan kita disuruh memilih memimpin dalam artian kepala daerah hanya cukup dilihat sosok calon gubernurnya tanpa melihat wakilnya. Padahal terpilihnya pemimpin/gubernur sebelumnya serta kesuksesan selama kepemimpinan tidak lah terlepas dari peran wakilnya, Gus Ipul dalam lingkup Jawa Timur tentunya.

Nalar selanjutnya menurut saya, kalau kita mau fair dalam berpikir dan bersikap, dalam rangka memberikan pendidikan penyadaran politik pada masyarakat tidak boleh timpang. Katakanlah kalau kita mau membenarkan tentang ungkapan di atas, kesukseskan pemimpin/gubernur sebelumnya di Jawa Timur tanpa ada peran wakil atau sebut saja Gus Ipul.

Maka, harusnya di saat Abdullah Azwar Anas yang sempat mau di pasangkan dengan Gus Ipul, tapi mengundurkan diri karena beredarnya foto tidak senonoh, yang kebenarannya belum pasti dan tidak jelas, tidak perlu dipersoalkan terlalu berlebihan. Dengan analisa dan nalar yang sama toh ujung-ujungnya sukses dan tidaknya hanya dipandang sebelah mata. Cukup di gubernurnya tanpa dinilai peran dan kiprah wakilnya.

Kiranya perlu saya sampaikan pula dioret-oretan pendek ini bahwa, seorang pemimpin yang baik haruslah bisa menjadi guru bagi masyarakatnya. Mampu memberikan pendidikan politik, yang salah satunya tidak boleh melakukan tindakan dan ungkapan, yang tidak sesuai nalar logika yang sehat. Karena kepantasan dan kecerdikan seseorang juga bisa dinilai dari apa yang ia ungkapkan dihadapan publik.

“Janganlah melihat siapa yang mengatakan, tapi lihatlah apa yang dikatakan” ungkapan bijak”. Lidah adalah senjata yang ampuh dan tajam meskipun tak bertulang. Salah berkata dan dianggap menyinggung perasaan publik, bisa dianggap penistaan. Sebutlah contohnya yang terjadi di Pilkada DKI jakarta. Cukuplah itu menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Makanya mengapa kita di dalam sistem demokrasi dianjurkan kejelian dan kehati-hatian dalam memilih pemimpin. Karena pemimpin adalah haruslah dari orang yang bisa menjadi teladan yang baik bagi masyarakatnya. Tidak boleh menampakkan celah pada masyarakat meskipun sekecil biji kurma.

Idang Aminuddin
Idang Aminuddin
Orang jelata dari desa. Melangkah untuk merdeka
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.