Rasanya baru beberapa bulan kita melewati hiruk pikuk perpolitikan yang melelahkan dalam menentukan calon presiden beserta anggota dewan. Sekarang suhu politik akan mulai kembali memanas menyusul pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 yang akan diselenggarakan pada 23 September di 270 daerah di Indonesia.
Dalam konteks ini, mencari pemimpin daerah yang berintegritas atas nama kepentingan rakyat menjadi hal yang sangat penting agar proses demokratisasi tidak tercederai oleh perilaku calon kepala daerah terpilih nanti. Sudah cukup demokrasi dirongrong oleh elit nasional melalui sejumlah produk kebijakan yang “ngawur”.
Namun praktek politik yang bekerja dalam rezim pemilu seringkali membuat rakyat tidak percaya bahwa pilkada akan menghadirkan calon yang memiliki integritas dan kapabilitas. Rentetan kepala daerah yang masuk dalam daftar nama KPK semakin mempertegas bahwa pemilu hanya soal tarik menarik kekuasaan dan berebut jabatan.
Ketika pemilu berlangsung, rakyat dimobilisasi oleh calon kandidat dengan menjual ragam janji-janji kesejahteraan. Namun pasca pemilu, rakyat semakin tereksklusi dan kerap menjadi korban atas perilaku kepala daerah yang tidak amanah.
Beberapa kejanggalan
Sulitnya mencari calon kepala daerah yang berintegritas dapat dibaca dari realitas politik apa yang terjadi sebelum hari pemilihan (pre election). Pertama, pilkada hanya menjadi arena politik bagi elit yang memiliki modal finansial yang besar. Hal ini pula yang menjelaskan fenomena berkembang biaknya dinasti politik.
Anggota keluarga dari kepala daerah sebelumnya perlan-pelan mulai memperluas jejering kekuasaannya lewat pintu pilkada. Pada pilkada 2017 lalu, sekitar 12 daerah dimenangkan oleh dinasti politik. Larangan keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebenarnya sempat diatur pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Namun MK membatalkan ketentuan tersebut dengan alasan merampas hak politik warga negara. Masuknya keluarga petahana dalam pilkada tentu membuat iklim demokrasi tidak sehat.
Karena persaingan dalam pilkada hanya dikuasai oleh keluarga tertentu. Selain itu, kekuasaan yang terkonsentrasi hanya pada keluarga atau kalangan tertentu rawan memunculkan penyalahgunaan jabatan. Mengutip pribahasa Lord Acton “kekuasaan cenderung korupsi, sedangkan kekuasaan yang absolut (besar) maka besar pula korupsinya.”
Kedua, mantan terpidana korupsi masih dibolehkan untuk mencalonkan diri. Sejauh ini belum ada aturan yang melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri dalam pemilu.
KPU sempat mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 20 tahun 2018, tetapi aturan ini hanya melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legistlatif bukan kepala daerah.
Belum sempat diterapkan, aturan ini pun dikemudian hari dibatalkan oleh MA, lagi-lagi dengan alasan mengambil hak politik orang lain. Padahal ini bukan soal merampas hak politik individu tetapi soal hajat hidup orang banyak. Menjadi sulit diharapkan memiliki pemimpin kepala daerah yang berintegritas jika calon pemimpin tersebut pernah terlibat dalam tindakan korupsi.
Ketiga, pencalonan yang sentralistik. Partai memiliki peran yang sangat besar untuk mengusung calon kandidat yang akan mengikuti pilkada. Kewenangan memberikan rekomendasi pencalonan berada di tangan pimpinan partai di Jakarta. Hal ini seringkali menjadikan proses pecalonan syarat dengan politik transaksi.
Calon kandidat yang mampu memberikan mahar politik lebih besar kepada partai memiliki peluang yang besar pula untuk mendapatkan rekomendasi partai. Seringkali, calon kandidat tidak hanya melamar ke satu partai untuk memaksimalkan dukungan. Artinya ada banyak uang yang harus dikeluarkan.
Tentu hal ini membuat calon kandidat yang nantinya terpilih berfokus bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikorbankan selama proses pencalonan. Sehingga fokus pada kinerja pemerintahan dan pembangunan masyarakat tidak mendapat perhatian lebih. Barangkali kondisi ini pula yang mejelaskan banyaknya kepala daerah yang terjerak kasus korupsi.
Keempat, politik uang. Patut disadari bahwa fenomena politik uang masih sering terjadi dalam setiap pemilu. Calon kandidat yang merasa tidak cukup percaya diri untuk memenangkan persiangan dalam pilkada menggunakan strategi politik uang.
Rakyat diiming-imingi sejumlah uang atau barang dalam besaran dan bentuk yang beragam supaya rakyat memilih mereka. Kenyataan ini pun jelas membuat pilkada tidak lebih hanya soal jual beli suara pemilih, sementara penekanan pada visi-misi dan strategi pembangunan daerah seringkali luput diperbincangkan oleh calon kandidat.
Mencari Pemimpin
Tulisan ini tentu tidak bermaksud membuat kita sebagai pemilih menjadi pesimis akan kemungkinan munculnya calon pemimpin kepala daerah yang bersih dan berintegritas. Apa yang sudah dipaparkan sebelumnya juga tidak bermaksud menihilkan peluang munculnya calon daerah yang berkualitas.
Disamping kenyataan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, tentu saja masih ada kepala daerah di wilayah lain yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Tulisan ini justru ingin mengingatkan kepada kita untuk memilih calon pemimpin yang benar-benar teruji kapabilitasnya.
Sebagai pemilih kita harus mengedepankan pertimbangan rasional sehingga hak pilih kita tidak jatuh pada orang yang salah. Selain itu, juga penting untuk mengawal berjalannya pilkada untuk meminimalisir segala praktik kecurangan dan kejanggalan selama proses pilkada.
Menolak menerima uang dari calon kandidat dan berani untuk melaporkan segala praktik kecurangan kepada Bawaslu merupakan salah satu langkah sederhana untuk mendukung terciptanya pilkada yang berintegritas.