Sabtu, April 20, 2024

Pilgub Jabar: Kontestasi Politik dan Optimisme Kultural

rian wahyudin
rian wahyudin
Pengagum Bung Hatta

Beberapa bulan ke depan kita akan merayakan, merasakan, meresapi dan mengamati salah satu pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Ya, pesta demokrasi itu adalah Pilkada serentak 2018 yang diselenggarakan di beberapa daerah di seluruh Indonesia. Setahun kemudian disusul dengan Pilpres 2019 yang tentunya merupakan hajat demokrasi terbesar setelahnya.

Tak heran jika beberapa hari ini kita selalu disuguhkan berita baik di media mainstream maupun non mainstream dengan kabar politik, politik dan politik, sabar. Geliat para tim pemenangan di beberapa daerah pun sudah mulai terlihat dalam melebarkan jurus-jurus ampuh demi meraih simpati masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.

Sementara itu, para calon sibuk menguntai kata-kata dalam menarasikan program-program unggulan yang akan diperdebatkan. Lantas di manakah posisi penulis dalam merespon perhelatan ini? Apakah bagian dari salah satu timses?

Penulis sebagai warga Jawa Barat tulen meskipun jauh di perantauan, pure menanggapi kontestasi ini sebagai warga biasa berharap dengan penuh optimis bahwa kontestasi pilgub Jabar harus jauh dari hal-hal yang selama ini dikhawatirkan seperti halnya kontestasi pilkada sebelumnya, selama warga Jawa Barat berpegang teguh pada nilai-nilai kearifan lokal.

Ya, selain mengacu pada koridor hukum, norma agama, sosial, yang paling penting bagi warga Jawa Barat dalam menghadapi kontestasi ini adalah dengan mengorientasikan diri pada nilai-nilai kultural. Nilai-nilai kultural itu di antaranya adalah semboyan silih asah silih asih dan silih asuh. 

Meski demikian, disebrang persimpangan, isu-isu provokatif bertebaran yang entah dari mana ia berasal. Tahun politik pun menjadi riuh rindang menegang. Betapa tidak, isu-isu itu setidaknya tersebar di beberapa daerah yang akan melangsungkan perhelatan lima tahunan itu seperti kasus penyerangan beberapa ulama dan tokoh agama belakangan ini di antaranya di Jawa Barat.

Ya, setidaknya kasus paling banyak itu terjadi di Jawa Barat yang kurang lebih dua bulan terakhir terjadi 13 kasus. Tak ayal kasus yang dinilai intoleransi ini sempat disinggung oleh beberapa paslon (pasangan calon) dalam debat kandidat pertama dan menimbulkan reaksi dan tanggapan oleh paslon lainnya (12/93/1018). Saling lempar pertanyaan dan saling adu argumentasi sesama paslon pun mewarnai nuansa debat pertama itu yang disiarkan oleh salah satu stasiun tv swasta.

Tak hanya itu, konten debat Pilgub Jabar juga menyuguhkan kreasi seni dari tiap-tiap paslon bersama tim pemenangannya. Tak pelak, pasangan RINDU (Ridwan-UU), HASANAH (TB. Hasanudin- Anton Charliyan), ASYIK (Sudrajat- Ahmad Syaekhu), dan DD (Deddy-Dedi), tenggelam bersama lantunan  kreasi seni kesundaan itu setelah beberapa sesi sebelumnya satu sama lain saling menegang dan memanas. Suatu pemandangan baru yang berbeda dengan tampilan debat pilgub-pilgub lainnya sehingga diapresiasi positif oleh masyarakat khususnya masyarakat Jawa Barat.

Artinya, stigma pilgub Jabar yang disinyalir menakutkan, mencemaskan dan dipredikasi chaos itu suatu prediksi yang tidak berdasar selama masyarakat Jabar saling menjaga, mengontrol dan mengingatkan satu sama lain.

Rosi Silalahi (moderator debat pilgub Jabar pertama) pun pada sesi ke lima menegaskan bahwa kreasi seni yang ditampilkan itu sebagai cerminan pilgub Jabar yang haruslah menjadi ajang demokrasi yang menggembirakan dan bukan menakutkan, membuat ceria dan bukan mencemaskan.

Begitulah kira-kira pernyataan presenter yang berambut pendek itu. Pernyataan itu di sisi lain adalah harapan dan optimisme publik agar pilkada serentak yang diselenggarakan bulan Juni ini berjalan dengan damai, aman dan demokratis khususnya di Jawa Barat.

Orientasi Kultural

Sebagai salah satu suku tertua di Indonesia, suku Sunda (Jawa Barat/Banten) memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi falsafah hidup, dan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Adalah semboyan silih asah, silih asih dan silih asuh di antara kearifan itu.

Jika diterjemahkan ke dalama bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD kurang lebih semboyan itu memiliki arti “Silih asah = saling menajamkan pikiran/saling mengingatkan (saling mencerdaskan), silih asih= saling mengasihi, menyayangi dan silih asuh= saling mengasuh atau saling membimbing”.

Meski semboyan ini menjadi tagline salah satu paslon, itu bukan menjadi persoalan karena sesungguhnya semboyan itu sejatinya harus dimiliki oleh setiap warga Jawa Barat atau suku sunda khususnya.

Dalam konteks politik, sejatinya semboyan itu harus menjadi landasan filosofis dalam gerak-gerik semua elemen masyarakat sebagai pelaku utama pelaksanaan demokrasi itu, baik parpol, tim pemenangan, KPU, Bawaslu juga masyarakat biasa yang notabene sebagai konstituen.

Atas dasar itu, maka dalam kontestasi politik lima tahunan ini, kampanye hitam, kampanye negatif, hate speech, dan hoax sejatinya tidak terjadi di wilayah yang terkenal dengan sopan santunnya ini (somȇah).

Azyumardi Azra (10:2002) menyatakan bahwa dalam konteks demokratisasi di wilayah lokal memerlukan adanya suatu pembelajaran politik. Menurutnya, pembelajaran politik itu tidak hanya sebatas sosialisasi politik khususnya yang ditujukan kepada masyarakat itu sendiri, melainkan pembelajaran itu mengandung aspek yang luas. Aspek-aspek pembelajaran politik itu menurutnya bisa juga mencakup aspek sosial, budaya dan pendidikan.

Artinya, tidak ada salahnya jika masyarakat Jawa Barat yang kental dengan orientasi budayanya mengaplikasikan kontestasi politiknya itu dengan mengacu pada falsafah hidup tadi sebagai produk dari aspek budaya itu sendiri.

Kampanye harus menitikberatkan pada hal-hal yang bernuansa mencerdaskan rakyat (silih asah) seperti mendeskripsikan isu-isu strategis yang menjadi persoalan utama masyarakat Jawa Barat, potensi SDA, SDM, dan lain sebagainya.

Kontrol sosial atau saling mengoreksi satu sama lain (silih asuh) juga dibutuhkan demi menghindari kampanye hitam, kampanye negatif, hate speech, dan hoax yang akhir-akhir ini marak terjadi. Bukan tidak mungkin, jika luput dari semboyan atau falsafah hidup tadi suasana pilgub akan diwarnai polemik yang selama ini dikhawatirkan bersama, seperti chaos dan lain-lain.

Oleh karena itu, rasa kepedulian dan saling menyayangi (silih asih) sesama warga Jawa Barat juga diperlukan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan juga sebagai bentuk pengaplikasian dari falsafah hidup tadi.

Dengan demikian, sesungguhnya urusan politik itu tidak dijadikan batu penghalang dalam mengaplikasikan semboyan silih asah, silih asih dan silih asuh. Justru, kontestasi ini harus dijadikan wadah dan media oleh warga Jabar sebagai ajang saling mencerdaskan, saling membimbing dan saling mengasihi demi terciptanya provinsi Jawa Barat yang gemah ripah repeh rapih. Karena sesungguhnya semboyan ini merupakan bentuk orisinil dari konsep kehidupan yang demokratis yang berarkar pada kesadaran dan keluhuran akal budi.

rian wahyudin
rian wahyudin
Pengagum Bung Hatta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.