Sabtu, Oktober 5, 2024

Pesta Demokrasi?

Alwi Dahlan Ritonga
Alwi Dahlan Ritonga
Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Penggiat isu-isu demokrasi dan Partai Politik. Aktivis HMI Cabang Medan.

Sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, sejak tanggal 23 September 2018 kemarin kampanye sudah boleh dilakukan oleh Caleg dan Capres/Wapres secara resmi. Dengan demikian, maka sudah bisa dipastikan bahwa seluruh elemen politik akan memacu mesinnya guna menyongsong pesta demokrasi yang akan digelar pada April 2019 nanti.

Pada tahun politik biasanya  istilah “pesta” demokrasi akan semakin populer di telinga kita. Sebagaimana saat ini, istilah itu semakin sering terdengar dengan berbagai macam pembahasaannya.

Akan tetapi, sangat sedikit orang yang mencoba untuk memahami pesta demokrasi kita secara kritis. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mengulas persoalan yang terjadi pada demokrasi kita. Dengan demikian, saya coba memperlihatkan bahwa ternyata demokrasi kita masih hanya sebatas demokrasi prosedural dan masih jauh dari demokrasi substansial.

Pemilu 2014, Sebuah Refleksi

Berangkat dari Pemilu yang lalu (2014). Jauh sebelum hari pemilihan dilakukan, para calon anggota legislatif sudah mulai berlomba-lomba meraup simpati rakyat. Mereka bersaing dengan lawan politiknya baik yang dari dalam maupun dari luar partainya. Cara-cara yang dilakukanpun bermacam strategi, mulai dari cara-cara yang sesuai sampai yang tidak sesuai.

Cara yang sesuai dilakukan mulai dengan memasang baliho, bersosialisasi di media cetak maupun elektronik seperti Koran dan radio atau TV. Disamping itu, cara-cara yang tidak sesuai juga sangat marak dilakukan oleh mayoritas para calon legislatif, cara-cara tersebut ialah yang telah melanggar rambu-rambu. Misalnya seperti money politic (politik uang) untuk membeli suara rakyat.

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Indonesia Indicator di DetikNews pada tanggal 11 Meri 2014 (18:35 WIB) dengan menggunakan metode analisis media ditemukan fakta bahwa pelanggaran terbanyak dalam pelaksanaan Pemilu khususnya pada Pileg didominasi oleh praktik money politics (politik uang).

Hampir 52 % pelanggaran ini disorot media massa dengan 1.716 ekspose pemberitaan. Sementara urutan kedua sekitar 18 % media menyoroti soal penggelembungan suara dengan 593 berita (ekspose). 18 % menyoroti soal pencoblosan ulang dengan 393 berita (ekspose). 9 % lainnya menyoroti penghitungan ulang dengan 304 berita (ekspose).

Dari paparan data tersebut terlihat bahwa kita memiliki kenangan Pemilu yang sangat buruk. Persoalan-persoalan yang terlihat ini bukan persoalan baru, dalam artian selalu muncul dalam kontestasi politik kita.

Dari sini terlihat bahwa tidak ada perubahan yang progresif – komprehensif dalam menangani permasalahan tersebut. Demikian juga dengan Pemilu 2019 nanti, persoalan-persoalan tersebut masih saja membayangi kita. Tidak ada jaminan bahwa Pemilu 2019 nanti berjalan dengan fair tanpa ada kecurangan lagi. Berangkat dari hal ini, sudah semestinya Pemilu 2014 lalu dijadikan sebagai bahan refleksi untuk proses Pemilu di tahun 2019 nanti.

Aturan Vs Sistem, sebuah Dilematika Politik

Dalam hal ini saya akan mengurai tentang persoalan dilematika yang muncul pada saat proses Pemilu berlangsung. Setidaknya ada dua pertentangan yang harus disikapi oleh setiap calon legislatif ketika harus terjun dalam Pemilu.

Pertama, calon harus mentaati peraturan yang berlaku dalam proses kontestasi (sesuai rule) yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan peraturan KPU yang pada intinya ialah taat aturan dan mekanisme yang sah. Kedua, calon dihadapkan dengan arus sistem yang sudah terbangun sejak dahulu. Arus sistem ini memiliki kesenjangan dengan aturan yang ada, karena sistem ini lebih menekankan intrik busuk ketimbang norma aturan yang  berlaku.

Dua sikap inilah yang memunculkan dilematika terhadap setiap calon. Kecenderungan yang sering terjadi adalah bahwa si calon terpaksa harus lebih mengutamakan sistem daripada aturan yang absah.

Ditambah lagi upaya intrik busuk dari para Caleg tersebut disambut baik oleh masyarakat. Berdasarkan hasil survei KPK tahun 2013 di 11 kota di Indonesia terdapat sebanyak 71, 72%  responden yang menganggap bahwa politik uang itu adalah hal yang lazim (id.beritasatu.com).

Kesempatan dan peluang inilah yang kemudian  membuat para Caleg tergiur larut dalam sistem busuk tersebut. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya pesta demokrasi yang kita lakukan adalah “pesta uang”. Mengapa demikian ? karena memang fenomena yang sebenarnya terjadi dilapangan adalah fenomena dimana uang terdistribusi dengan massif kepada masyarakat.

Dengan keadaan seperti demikian semua yang terlibat di dalamnya seakan-akan telah lupa akan hakikat demokrasi yang sebenarnya. Rakyat dengan suka rela menjual suaranya kepada bandit-bandit politik. Orang yang masih memiliki integritas dan idealisme tinggi terpaksa harus larut dalam sistem yang bobrok, keadaan telah memaksa dan menjadi sebab utama terjadinya kegagalan demokrasi kita.

Desa (Lubuk Ikan)            

Fenomena yang sebenarnya terjadi dilingkungan masyarakat, khususnya di daerah pedesaan yang terbilang jarang disorot  oleh media. Desa-desa sudah bagaikan lubuk yang dalam dan keruh pula dimata para Caleg.

Desa terpencil adalah lokasi memancing yang sangat strategis bagi para pemancing berumpankan uang dimata kailnya. Wilayah yang demikian, mudah untuk diakomodir karena mobilitas penduduknya yang relatif minim dibandingkan dengan mobilitas penduduk perkotaan. Selain itu, karena airnya yang keruh “gelap mata” ikan-ikan tersebut tidak lagi melihat umpannya darimana atau pemancing yang bagaimana, semuanya sudah serba keruh sehingga kalau ada umpan yang tiba, maka akan disantap begitu saja.

Sebagai Mahasiswa Ilmu Politik, saat itu (Pemilu 2014) saya mengamati sendiri fenomena di kampung halaman saya. Para Caleg yang terlibat dalam Pemilu di Dapil I (Silangkitang dan Sungai Kanan) Labuhanbatu Selatan. Mereka yang memiliki modal besar secara terang-terangan melakukan praktik jual beli suara.

Pada hari pemilihan sangat banyak sekali uang yang beredar dimasyarakat, uang tersebut adalah uang yang didapat masyarakat secara instan tanpa harus bekerja seharian. Persaingan antara Caleg sangat terasa sekali, sehingga para Caleg yang bermodal tersebut sanggup membeli suara dengan jumlah yang sangat tinggi yaitu mulai dari Rp. 100.000 hingga Rp. 300.000/suara.

Demikianlah sekelumit fenomena demokrasi yang terjadi di negeri ini. Pemilu sebagai suatu mekanisme yang semestinya menjadi penentu arah bangsa telah berubah menjadi sebuah pasar dimana terjadi jual beli suara antara rakyat dengan para Caleg. Masyarakat pun tampak tidak mau ambil pusing dengan konsekuensi yang terjadi nantinya. Pemilu yang katanya adalah suatu bentuk manifestasi dari pesta demokrasi dalam kenyataannya sangat jauh berseberangan, karena fenomena pesta demokrasi di negeri ini ialah fenomena pesta uang.

Alwi Dahlan Ritonga
Alwi Dahlan Ritonga
Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Penggiat isu-isu demokrasi dan Partai Politik. Aktivis HMI Cabang Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.