“Inikah hasilnya “demokrasi” yang di keramatkan orang itu? Tiap-tiap kaum proletar bisa ikut memilih wakil ke dalam parlemen itu,…tiap-tiap kaum proletar, kalau dia mau, bisa mengusir minister…, tapi pada saat yang sama ia bisa di usir dari pabrik di mana ia bekerja….” (Soekarno, 1932)
“…Banyak cara menjadi politisi, salah satunya berjualan demokrasi” (Acep Zam-Zam Noer)
“Peristiwa besar adalah akhir dari ketidak-pastian”, demikian orang banyak berharap ketika deru reformasi bergulir. Reformasi 1998 mungkin adalah peristiwa besar yang diharapkan banyak orang mampu mengubah sendi-sendi kehidupan bernegara kita.
Banyak masyarakat menginginkan terjadi perubahan mendasar dalam masyarakat kita. Namun anehnya, peristiwa besar dinegeri ini seperti kemerdekaan 1945, tragedi 1965, reformasi Mei 1998, gelombang pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah langsung tahun 2017, 2018 dan Pilpres 2019 ini ternyata belum nampak menghasilkan perubahan kultur demokrasi yang radikal.
Sebagaimana banyak di mafhumi, demokrasi sering di maknai sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” Secara historis demokrasi, dalam konteks Yunani Kuno dimana demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi langsung, dimana rakyat menentukan kebijakan dalam sebuah lembaga bernama Polis di Yunani.
Namun setelah itu Eropa kembali dalam gelapnya peradaban dan jatuh di tangan pemerintahan feodalisme para Kaisar. Demokrasi baru kembali lahir dalam semangat yang berbeda saat revolusi industri di Eropa Barat, yakni dengan momentum Revolusi Prancis. Saat Robbespiere dan kawan-kawannya menggulingkan kekuasaan otoriter dari raja Louis VI, saat itulah demokrasi lahir dengan semboyan: egality, fraternity, liberty (persamaan, kebersamaan, dan kebebasan).
Saat perkembangan sejarah kolonialisme barat semakin menggila dan lahirlah negeri baru bernama Amerika, semangat demokrasi tinggal tersisa satu yakni liberty – kebebasan. Dan kemudian demokrasi di sebarluaskan lewat proses kolonialisme dan imperialisme.
Lihatlah bangsa kita, istilah demokrasi seakan telah menjadi keramat, tidak ideal bila pemerintahan tidak memasukkan ‘demokrasi’ sebagai bagian dari konsep ideologi dan sistem pemerintahan. Kita telah mengujicoba sistem demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dalam sejarah kita.
Meskipun sampai kini, masih tersisa pertanyaan mendasar: bukankah sebagai wacana demokrasi disebarluaskan oleh sebuah kekuatan politik yang bernama imperialisme?. Barangkali kenyataan ini menjadi salah satu dinamika yang direspon oleh para pendiri republik, dan pertemuannya dengan perkembangan politik global dimana isu demokrasi di padu dengan akar kediriannya sebagai bangsa yang pernah terjajah.
Kini, demokrasi yang awalnya sekedar wacana politik, dalam sejarah negeri ini berupaya diimplementasikan dalam sistem politik berupa Pesta Demokrasi hingga Pemilihan Kepala Daerah Langsung, sistem pembagian kekuasaan dan sistem lain. Namun demokrasi sebagai kultur kehidupan, di mana kelompok mayoritas melindungi kelompok minoritas, masih jauh panggang dari api.
Tujuh puluh tahun lebih, hampir-hampir istilah demokrasi beredar sebagai sistem politik, dan belum terhayati sebagai kultur kehidupan. Demikianlah, demokrasi laksana istana diatas pasir, yang belum dapat mengakar kuat dalam kultur masyarakat kita.
Demokrasi sebagai Wacana
Wacana, diskursus, atau pengetahuan disebarkan lewat seringnya dibicarakan. Demokrasi sebagai wacana dikenalkan melalui buku-buku pelajaran kepada anak-anak sekolah. Di bicarakan oleh politisi, lewat proses-proses politik, di tetapkan negara sebagai aturan perundang undangan.
Istilah-istilah kuncinya antara lain kedaulatan rakyat, pemilihan langsung, pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), kebebasan berusaha, beragama-berkeyakinan, mendapatkan pendidikan dan seterusnya, kekuasaan mayoritas, perlindungan minoritas dsb.
Sebagai wacana, demokrasi adalah mirip komoditi. Siapa yang menjualnya, membicarakannya akan memiliki tafsir masing-masing sesuai kepentingannya. Bila pembicaranya adalah seorang politisi, demokrasi bisa sekedar menjadi lipstik untuk menarik dukungan publik.
Dalam poster iklan, demokrasi berarti membuat dagangan yang di iklankan semakin laris. Bila di tangan seorang seniman, demokrasi mungkin adalah kebebasan berekspresi. Bagi Kaum Minoritas misalnya, demokrasi berarti adalah kebebasan menjalankan aktivitas keagamaan tanpa teror.
Bagi tukang becak, pedagang kecil, petani, demokrasi dikenal karena banyaknya demonstrasi, semakin sulitnya mencari sesuap nasi, pendidikan anak-anak mereka yang makin mahal, dan saat pilkada langsung mereka kembali bertemu dengan pembagian ‘lembaran rupiah’ untuk merayu mereka. Mereka tak memiliki waktu untuk berfikir apakah setelah menang para pimpinan daerah dan para wakilnya memikirkan nasib mereka lagi atau berpikir bagaimana modal ekonomi saat pilkada segera kembali.
Bagi saya semua orang memang mempunyai hak masing-masing untuk menafsirkan demokrasi, karena ia adalah sebuah wacana. Tidak perlu elit memberi pelajaran bagaimana rakyat harus berdemokrasi, karena sesungguhnya itu sekedar basa-basi politik semata. Lihatlah betapa rakyat diagung-agungkan saat kampanye dan di mintai suara saat kampanye.
Namun pada saat yang lain mereka digusur dengan alasan kepentingan umum, rumah ibadah mereka ditertibkan, dagangan mereka di angkut paksa, dan seterusnya. Itulah demokrasi di negeri kita ini. Demokrasi sebagai wacana sekedar dagangan, jadi, jangan sucikan demokrasi, karena ia adalah bahasa kekuasaan, bahasa elit parpol, elit inteklektual, dan sejenisnya.
Dan pada akhirnya kita masih harus berharap, demokrasi yang sesungguhnya adalah suara kaum terpinggir, suara tukang becak, suara mayoritas yang dihargai suara buruh tani, suara para TKI yang terusir, suara kaum beragama yang di sesatkan, suara kaum minoritas yang di tindas. itulah demokrasi terlahir sebagai suara hati. Demokrasi yang harus kita perjuangkan adalah suara hati, suara nurani. Wallahu a’lam.