Rabu, April 24, 2024

Pesantren Salaf dan Pemilu

Zaenal Arsyad Alimin
Zaenal Arsyad Alimin
Jai Guru Deva Kader Muda NU

Pesantren Salaf merupakan salah satu institusi yang berperan penting dalam tonggak sejarah panjang dan peradaban republik ini. Dalam catatan sejarah, kita semua mengetahui bagaimana heroisme para santri dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI dari para penjajah terutama dalam peristiwa pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.

Sebelum tecetusnya peristiwa tersebut, ada satu peristiwa yang tak kalah penting dibalik itu semua. Ya kita tahu bagaimana Fatwa Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 yang telah membakar semangat dan heroisme para santri tentang hukum Fardhu ‘Ain membela tanah air.

Sehingga atas dasar itu, Indonesia tetap tegak berdiri damai dan tentram sampai ini. Tentu saat tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional dan 10 November menjadi hari pahlawan merupakan berkah yang tiada tara bagi para santri.

Tentu sikap yang ditunjukan oleh para santri tersebut bukanlah suatu proses tahu bulat yang instan dan dadakan, akan tetapi memerlukan konsistensi, kesabaran dan proses yang sangat panjang yang dilaluinya.

Selain daripada itu, identitas santri yang Sami’na Wa Atha’na terhadap guru yang notabene Ulama dan Kyai menjadi sababnya. Karena pada dasarnya guru adalah digugu dan ditiru. Narasi seperti itu selamanya akan terjadi secara alamiah dan natural sebagai Relasi mutlak Santri-Kyai sampai kapanpun.

Maka menjadi penting untuk kita garis bawahi bahwa citra diri yang terpancar dalam diri santri adalah entitas yang agung yaitu etika dan moral yang amat luhur baik terhadap guru ataupun yang lainnya.

Dengan karakter tradisional dalam metode pendidikannya, sejarah telah membuktikan bahwa pesantren salaf mampu melahirkan spirit religiusitas dan nalar kebangsaan yang membentuk karakter yang holistik dengan kultur Keagamaan-Kebangsaan di Indonesia. Maka stigma skeptis yang menganggap bahwa santri pesantren salaf adalah kelompok orang yang konservatif dalam hal narasi intelektual harus kita buang jauh-jauh.

Banyak tokoh yang lahir dari Bale Rombeng dengan karakter pemikiran yang progresif dan sangat maju melampaui zamannya. Narasi yang mereka bangun adalah bagaimana pondok pesantren salaf terus menjadi pioneer dalam ghairah intelektual dan menjaga semangat kebangsaan dengan Hikmah dan Mauidzhatil Hasanah sebagaimana khittahnya.

Dalam kondisi Indonesia kekinian, dengan banyaknya fenomena sosial bukan ala Indonesia yang terjadi seperti tendensi SARA, maraknya hatespeech, hoaks di mana-mana, mencuatnya politik identitas, banyaknya “ustadz tahu bulat” yang dengan mudah menetapkan hukum tanpa hujjah yang jelas, merebaknya kelompok-kelompok bughot, dan lain-lain.

Semuanya itu tentu tidak lahir secara natural dan alamiah, melainkan kondisi seperti di atas diciptakan dan diskemakan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab dengan tujuan politis. Kita sadar betul bahwa kondisi tersebut telah membawa marwah persatuan dan kesatuan sebagai identitas Indonesia kedalam jurang yang kelam.

Tentu narasi yang demikian tidak boleh berlanjut dan harus kita hentikan. Dalam hemat penulis salah satu pilar yang mampu menghentikannya adalah pesantren bale rombeng dengan berkaca kepada sejarah masa lalu.

Menjelang awal tahun 2018 Indonesia kembali dihadapkan dengan situasi yang hampir serupa dengan kondisi diatas dan kemungkinan akan terus berlanjut sampai pertengahan tahun 2019. Tentu bukan tanpa sebab, karena dalam interval waktu di atas.

Indonesia akan menghadapi tahun-tahun krusial yaitu Pemilihan Umum, 2018 adalah Pilkada serentak yang akan diselenggarakan oleh 171 daerah dan 2019 adalah Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden. Disadari atau tidak, bahwa ajang kontestasi lima tahunan ini belakangan telah menjadi salah satu sumber ketegangan urat syarat antar masyarakat.

Mengapa demikian, karena dalam perhelatan tersebut yang akan diperebutkan adalah tampuk kekuasaan di republik ini yang sarat akan niali interest politik yang tinggi. Fenomena yang terjadi sebetulnya gelagatnya sudah terlihat semenjak ajang lima tahunan ini digelar pada 2014 silam dan meledak dipenghujung tahun 2016 dalam Pilkada DKI dan setelah itu selesai.

Dengan mengangkat pendekatan sentimen SARA, hoaks, ujaran kebencian dan mengkampanyekan rasa tidak percaya diri kepada masyarakat di berbagai media terutama media sosial telah berhasil meluluh lantahkan entitas bangsa kita. Saat ini ditahun 2018 sampai 2019 prediksi seperti itu akan terulang kembali dengan metode dan model yang sama.

Berbagai isu dan kampanye norak sudah mulai ditunjukan dan eskalasinya diprediksikan akan terus meningkat, kemudian akan meledak pada tahun 2019 pada saat ajang Pilpres sebagai puncaknya. Lalu sebagaimana sebelumnya kita sebagai anak bangsa hanya disisakan tugas setelahnya, yaitu bagaimana merajut kembali tenun persaudaraan kita dengan berbagai upaya dan itu sempat berhasil atau setidaknya meredam untuk beberapa saat.

Lalu pertanyaannya, sekejam itukah pemilu? Jawabannya adalah tentu tidak! Dengan istilah Pesta Demokrasi yang disematkan dalam pemilu, seharusnya pemilu digelar dan dilaksanakan dengan riang gembira sebagaimana pesta yang penuh dengan keramahan, kedamaian dan kebahagiaan bukan dengan memberikan nuansa khawatir dan rasa takut.

Tentu ada yang keliru dalam penerjemahan nilai-nilai politik dalam ajang kontestasi pemilu kalau pemilu tidak menyenangkan. Sebagian orang bahkan termasuk para tokoh kerapkali hanya mengartikan pemilu sebagai sebuah ajang perebutan kekuasaan an sich tanpa ada nilai pendidikan terhadap masyarakat secara luas.

Selain penyelenggara dan para tokoh yang pantas dan memiliki berkewajiban memberikan pendidikan nilai politik terhadap masyarakat, ada kelompok lain yang penulis rasa sangat ideal, yaitu santri dan pesantren. Di tengah karakter masyarakat luas yang sudah mulai tidak menentu, kehadiran pesantren sangat dirasa tepat untuk menjadi solusi alternatif dalam persoalan kebangsaan yang sedang kita alami.

Dengan catatan sejarah yang cemerlang, pesantren diharapkan untuk turun dan terjun langsung kepada masyarakat dalam memberikan nilai pendidikan politik. Tentunya dengan metodologi dan caranya yang khas ala pesantren yang mengedepankan nilai religiusitas, nilai moralitas dan spirit kebangsaan yang menjadi identitas pesantren tersendiri.

Andai pesantren sebagai pondasi pendidikan karakter bangsa ini tidak hadir, maka kemungkinan kondisi seperti ini akan meningkat atau setidaknya jalan ditempat seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Maka dari itu, mari kita terus berkihtiar mengupayakan yang terbaik dalam merajut tenun dan moralitas kebangsaan kita yang hampir tercabik dengan sama-sama menciptakan suasana yang kondusif dan tetap tenang demi tercapainya cita-cita bersama yaitu Indonesia yang maju dan berkeadaban sebagaimana amanat yang disampaikan oleh para Founding Father kita yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila. Tabik!

Zaenal Arsyad Alimin
Zaenal Arsyad Alimin
Jai Guru Deva Kader Muda NU
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.