Jumat, April 19, 2024

Pesantren di Masa Berbenah

Shopiah Syafaatunnisa
Shopiah Syafaatunnisa
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sebelumnya, pesantren dihebohkan dengan isu kekerasan seksual. Hal itu tentu menjadi tamparan keras bagi seluruh pesantren untuk semakin menyeleksi kredibilitas guru dan meningkatkan pengawasan internal.

Dan baru-baru ini, pesantren kembali disorot. Nama pesantren Gontor begitu hangat disorot publik akibat kasus penganiayaan yang menewaskan seorang santri. Sesungguhnya persepsi masyarakat perlu dibenahi. Tidak ada satu pun pesantren yang pro dengan kekerasan.

Langkah Preventif

Sesungguhnya pesantren baik-baik saja, yang bermasalah hanyalah pihak yang mencemarinya. Sama hal nya seperti kasus rektor yang melakukan suap di perguruan tinggi, sesungguhnya perguruan tinggi justru mengajarkan anti korupsi.

Pesantren saat ini semacam diterpa badai yang hebat. Aturan pesantren yang mempan di masa dahulu seolah tak lagi mujarab di masa kini. Hal ini tentu dipengaruhi kondisi dan situasi yang tak lagi sama. Pesantren harus semangat berbenah di tengah terpaan pelanggaran syariat yang semakin membludak di sekitarnya.

Kesantunan dan kelemahlembutan para kiai di pesantren adalah senjata utama yang masih menjadi benang optimisme pesantren. Sebab bagaimanapun, metode keteladanan adalah paling krusial di pendidikan kita. Diharapkan keikhlasan mereka dapat membekas dan mempribadi di hati para santrinya.

Hal ini sekaligus mengukuhkan betapa kekerasan bukanlah produk pesantren. Agama Islam menjunjung tinggi kasih sayang dan kelemahlembutan.

Belajar dari kasus Gontor, pengoptimalan kinerja pengasuhan adalah poin utama pesantren. Bila fungsi ini longgar, maka ruang penyalahgunaan terbuka luas. Terbukti dengan fakta sisi buruk senioritas yang terjadi di Gontor.

Melimpahkan kewenangan kepada seorang santri tidak bisa secara penuh. Mereka tetaplah santri yang masih memerlukan arahan dan bimbingan. Di balik sisi positif praktik kepemimpinan, mereka tetap perlu diawasi dan diarahkan. Sehingga pihak pengasuhan tidak bisa lepas tangan begitu saja.

Beruntung, Kemenag pun tergugah untuk menerbitkan regulasi untuk mempedomani pesantren di seluruh Indonesia. Gontor di tengah pertaruhan nama baiknya tidak lagi gamang untuk menangani kasus yang menyangkut hukum. Pun sebagai evaluasi bahwa rupanya tidak selamanya konteks kekeluargaan mampu menyelesaikan semua jenis konflik.

Dari permasalahan itulah seluruh pesantren dapat mengambil ibrah, tidaklah hilang martabat dan marwah pesantren ketika harus menangani sesuatu melibatkan hukum. Justru pesantren akan semakin arif apabila mampu menyelesaikan sesuatu sesuai konteksnya.

Tidaklah hilang kepercayaan masyarakat. Karena bagakmanapun, pesantren masih diharapkan di tengah krisis akhlak yang melanda umat.

Hanya saja, pesantren harus semangat berbenah, untuk memikirkan seni meminimalisir hingga menutup ruang-ruang penyalahgunaan di sekitarnya.

Sistem pendidikan terbaik pesantren tidak perlu dijadikan objek yang disalahkan, apalagi sistem pendidikan sekaliber Gontor yang telah membesarkan namanya. Sebaik dan sebagus apapun pendidikan ala Gontor, tetap tak luput dari celah kejahatan dan pelanggaran aturan di tengah sistem yang sudah sangat bagus tersebut. Itulah yang perlu dipahami masyarakat kita.

Shopiah Syafaatunnisa
Shopiah Syafaatunnisa
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.