Waduk Cengklik merupakan salah satu kawasan perairan daratan yang berada di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Sebagai kawasan resapan air, Waduk Cengklik adalah penyangga utama Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mengairi lahan-lahan persawahan di sekitar wilayah kecamatan-kecamatan di daerah Boyolali.
Konon dalam sejarah pembangunan Waduk Cengklik yang dilakukan pada tahun 1926-1928 oleh Keraton Mangkunegaran dan Pemerintah Kolonial Belanda, prioritas program pembangunan waduk untuk memberikan pasokan air guna mengairi lahan sawah dan perkebunan tebu sampai Colomadu (Kabupaten Karanganyar), Kota Surakarta, dan Kartasura (sekarang wilayah administrasi Kabupaten Sukoharjo).
Waduk Cengklik sebagai penyangga utama DAS berfungsi membendung aliran-aliran sungai yang berasal dari wilayah desa-desa di Kecamatan Sambi yang kontur tanahnya lebih tinggi, dibandingkan Kecamatan Ngemplak yang menjadi keberadaan waduk Cengklik dan Kecamatan Nogosari yang kontur tanahnya lebih rendah.
Sungai-sungai yang membelah desa-desa di sekitar Kecamatan Sambi menampung debit air yang cukup besar melalui sumber mata air yang tersedia oleh bumi dan air hujan yang melimpah dari langit.
Dengan demikian, waduk yang memiliki luas sekitar 205 hektar ini pada tahun 1970 mampu menampung debit air 17,5 juta meter kubik. Namun harus diakui seiring berjalannya waktu pada tahun 1998 jumlah debit air menurun 12,5 juta meter kubik, bahkan saat ini jumlah debit air tidak mampu mencukupi kebutuhan irigasi persawahan di Kecamatan Sambi, Ngemplak, dan Nogosari yang hanya tersedia jumlah debit airnya 9 juta meter kubik.
Berdasarkan data dan informasi yang tersedia tentang Waduk Cengklik di atas, keberadaan desa-desa di sekitar waduk menjadi penanda utama keberlanjutan dan keberlangsungan pembangunan yang berwawasan lingkungan bagi kehidupan serta penghidupan masyarakat di sekitar Waduk Cengklik.
Desa Senting di Kecamatan Sambi merupakan salah satu desa yang memiliki potensi terbaik sebagai kawasan resapan air dengan luas lahan untuk tadah hujan/sawah rendengan yakni 209,180 ha (Sumber: Data Monografi Desa, 2009).
Dengan demikian, maka kondisi lahan di Desa Senting mampu menampung curah hujan dengan intensitas tinggi untuk lahan persawahan warga melalui sungai-sungai yang dialirkan oleh waduk ke irigasi-irigasi yang tersedia bagi kebutuhan pertanian masyarakat.
Tergambar sangat jelas ketika musim penghujan mulai turun, parit-parit dan sungai-sungai yang membelah jalan dan kondisi keberadaannya di depan dan belakang pemukiman warga, air hujan yang ditampung itu mengalir sangat deras menuju waduk yang letaknya di Timur desa.
Lanskap geografis Desa Senting yang strategis ini membuka peluang dan kesempatan pembangunan berkelanjutan terhadap pengelolaan sumber daya alam perlu menggunakan pendekatan holistik.
Prasyarat agar pendekatan holistik dapat memotret potensi-potensi sumber daya alam di Desa Senting yang lebih terpadu, penggalian pengalaman-pengalaman bermakna dan praktik-praktik baik warga penting dilakukan oleh setiap elemen-elemen masyarakat yang ingin desanya maju dan berkembang.
Artinya pelembagaan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu harus diimplementasikan melalui-melalui forum-forum warga dalam mengakses, mengontrol, berpartisipasi, dan memanfaatkan prioritas program pembangunan desa yang berkelanjutan.
Sehingga pra-kondisi yang tercipta adalah kesetaraan penduduk desa dalam perencanaan, penyusunan, dan pengambilan keputusan terjamin hak-haknya sebagai warga negara dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan potensi-potensi alam yang tersedia.
Belajar dari DesaMalam itu tanggal 23 Januari 2019 di Balai Desa Senting ada pertemuan serius yang membahas perencanaan dan pembangunan desa untuk jangka waktu 1 tahun. Dirahmati oleh turunnya hujan yang rintik-rintik tidak menyurutkan kehadiran penduduk desa bermusyawarah, termasuk dalam kesempatan ini rombongan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) turut diundang oleh Kepala Desa agar mengikuti forum. Awalnya mahasiswa yang berjumlah 9 orang terdiri dari 6 perempuan dan 3 laki-laki, merekomendasikan laki-laki saja yang hadir dalam forum tertinggi desa itu.
Namun, karena kesadaran penduduk desa tentang keterlibatan perempuan dalam forum-forum Musyawarah Desa (Musdes) lebih mumpuni dibandingkan mahasiswa, seorang ibu-ibu langsung bertanya kepada salah satu mahasiswa yang laki-laki, “Lha mbak-mbake pundi, Mas?”. Tanpa berpikir panjang memarkirkan sepeda motornya mahasiswa laki-laki yang lain langsung memanggil teman-teman perempuannya, yang saat itu berada di basecamp tempat tinggal mahasiswa selama 1,5 bulan di desa.
Semula teman-teman perempuannya menolak hadir ke acara Musdes itu karena merasa sudah terwakili oleh laki-laki dalam bentuk kehadiran dan kondisi hujan yang semakin deras. Sembari membaca raut muka teman-teman perempuannya yang cemberut, mahasiswa laki-laki yang mengajak ke Musdes itu tetap mengomel saja mengenai UU Desa yang mengharuskan keterlibatan perempuan dalam forum tertinggi desa.
Dengan keterpaksaan tanpa sempat berdandan kebiasaan ala emak-emak, teman-teman perempuannya itu berangkat juga penuh keingintahuan dan penasaran terlibat belajar demokratisasi di desa. Acara demi acara diikuti dengan khidmat oleh rombongan mahasiswa KKN-Dik UMS Desa Senting itu, dengan refleksi setiap pemangku kepentingan di desa ternyata mempunyai usulan-usulan yang berbeda-beda dalam membangun desa.
Sementara bagi rombongan mahasiswa KKN-Dik UMS, terserah apapun itu motif ekonomi-politiknya kepentingan kelompok memprioritaskan program pembangunan desa, usulan-usulan dan pendapat warga setidaknya merupakan suara-suara terdalam penduduk mengatasi kehidupan yang sulit di desa.
Menurut Rikardo Simarmata dan R. Yando Zakaria (2017) inklusi sosial pada arena pembangunan desa tampak dalam keterlibatan warga dalam perencanaan desa melalui Musdes dan keikutsertaan warga dalam menanggapi laporan pelaksanaan pembangunan desa, mendapatkan informasi terkait perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa, dan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).
Artinya keterlibatan kelompok perempuan Desa Senting dalam perencanaan pembangunan desa merupakan hak untuk berpartisipasi, hak untuk mendapatkan layanan dan informasi, serta hak untuk mengawasi. Sementara kewajiban pemerintah Desa Senting adalah menyelenggarakan pemerintahan dengan prinsip demokratis dan non-diskriminatif, sekaligus berkordinasi dan melibatkan semua kelompok kepentingan di desa.
Terakhir, pesan penting dari Waduk Cengklik ini tidak ingin makna tersuratnya serupa kasus pembunuhan Salim Kancil di Lumajang, tragedi Waduk Nipah di Madura, serta yang terbaru penimbunan Waduk Sepat di Surabaya.
Sebagai ruang partisipasi politik Musdes seharusnya menjadi wilayah yang asali milik warga. Artinya, desa memiliki perangkat permusyawaratan asli yang berlandaskan prakarsa dan solidaritas sosial untuk membuat perencanaan dan melaksanakan pembangunan hingga mengkritisi kebijakan yang berpotensi merugikan hak-hak desa.