Jumat, April 19, 2024

Perubahan Budaya Bermain dari Tradisional ke Virtual

Rofi Ali Majid
Rofi Ali Majid
Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini aktif di unit kegiatan mahasiswa kampus bidang jurnalistik.

Ada sebuah pernyataan kontroversial yang dituangkan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens: A Study of Play Element in Culture. Ia mengatakan bahwa aktivitas bermain lebih tua dari adanya kebudayaan, sebab budaya muncul dari hasil olah pikir akal budi manusia.

Perwujudan olah pikir tersebut yang kemudian kita kenal sebagai budaya. Sebelum melakukan olah pikir, masih menurut Huizinga, manusia sudah melakukan aktivitas lain yakni bermain, didorong oleh faktor-faktor seperti insting dan sebagainya.

Tokoh pendidikan Indonesia yang namanya dijadikan sebagai salah satu nama sekolah filsafat, Driyarkara, juga mengatakan bahwa aktivitas bermain telah ada seusia dengan umur manusia. Seiring berjalannya waktu aktivitas bermain menjadi sebuah kegiatan yang tidak bisa lepas dari manusia, bahkan bisa dikatakan telah menjadi bagian dari budaya.

Sejak anak-anak hingga dewasa, manusia senang melakukan aktivitas bermain—manusia bermain sepanjang hayat. Oleh sebab itu, bermain menjadi salah satu metode yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran. “Bermain sambil belajar,” kita sangat sering mendengar kalimat tersebut.

Bermain memberikan banyak manfaat baik bagi fisik maupun psikis manusia. Lewat bermain, fisik anak akan lebih cepat dalam hal pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan ini meliputi tumbuhnya tulang yang bisa dilihat dari bertambah tingginya si anak. Bermain juga dapat meningkatkan kemampuan otot anak, meskipun jumlah serabut otot relatif tetap.

Kebugaran tubuh anak juga akan terjaga jika anak diberi waktu dan ruang bermain yang cukup. Unsur-unsur kemampuan fisik anak seperti kecepatan, kelincahan, daya ledak dan kelenturan akan meningkat. Intinya kemampuan gerak dasar lokomotor, non-lokomotor dan manipulatif anak akan berkembang.  Anak akan mampu beraktivitas dalam waktu yang relatif lama tanpa merasa kelelahan. Mungkin ini salah satu alasan orang dewasa mudah lelah: Kurang dolan.

Psikis anak juga akan terbentuk melalui aktivitas bermain. Perkembangan jiwa yang wajar akan terbentuk karena beberapa hal dilibatkan dalam aktivitas bermain seperti tingkah laku, emosi, keberanian dan kecerdasan. Dalam bermain anak dilatih untuk mengendalikan emosinya.

Masalah-masalah yang timbul dalam permainan menuntut anak untuk menggunakan kecerdasannya dalam pemecahan masalah, dalam hal ini kreatifitas anak akan berkembang. Aspek sosial anak juga akan ikut berkembang seperti kemampuan toleransi, kerjasama, menghormati, jujur, saling percaya dan sebagainya.

Seperti yang dikatakan Drijarkara, aktivitas bermain telah berusia seumur manusia. Bermain telah ada semenjak adanya manusia. Pada zaman dahulu, ada banyak aktivitas bermain yang hingga kini malah dijadikan sebagai salah satu cabang olahraga.

Kebanyakan aktivitas bermain pada zaman dahulu digunakan untuk melatih manusia dalam mempertahankan hidupnya. Sebagai contoh adalah berlari, melompat, melempar batu, tombak dan sebagainya. Keempatnya kini telah menjadi cabang tersendiri dalam dunia olahraga yakni atletik.

Selain contoh diatas, masih ada pula berbagai macam permainan yang berkembang di seluruh dunia. Permainan tersebut berkembang di tiap-tiap daerah dan memiliki ciri khas masing-masing. Kita boleh menyebutnya sebagai permainan tradisional.

Di Jawa, ada permainan bernama Jethungan. Satu orang yang bertugas sebagai  penjaga diharuskan menutup matanya, sementara pemain lain akan bersembunyi. Setelah lewat berapa hitungan, si penjaga akan mencari kawan-kawannya yang bersembunyi. Dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai permainan petak umpet, tetapi tiap daerah mempunyai penyebutan dan ciri khas masing-masing.

Ada yang menambahkan tiga kayu yang disusun berbentuk piramida, orang Jawa menyebutnya Thukuwuk. Ada pula yang menambahkan bola, di daerah asal saya –kami biasa— menyebutnya Sepak Sekong dan masih banyak lagi variasi lain dari petak umpet.

Setelah teknologi berkembang pesat, aktivitas bermain terus mengalami perkembangan. Berbagai permainan dalam dunia nyata dikemas kembali dalam bentuk virtual. Alhasil kita mengenal berbagai perangkat seperti Nintendo, Playstation, dan sebagainya. Tak berhenti disitu, setelah gawai berkembang pesat, berbagai permainan pun turut disisipkan di dalamnya. Terakhir setelah menjamurnya internet, orang berlomba-lomba memainkan gim daring.

Muncul sebuah budaya baru dalam bermain setelah berkembangnya teknologi. Anak-anak mulai meninggalkan permainan tradisional dan berlomba-lomba memainkan permainan virtual. Permainan tradisional dianggap kuno, sementara permainan virtual lebih bergengsi. Sayangnya, budaya baru ini membawa sebuah efek yang negatif jika kita melihatnya dari kacamata pendidikan jasmani.

Ada ciri khas fundamental yang hilang, yang berimplikasi pada hilangnya pula beberapa manfaat dari aktivitas bermain. Ciri khas yang dihilangkan adalah aktivitas jasmani. Pada permainan virtual, pemain hanya memainkannya sembari duduk atau tiduran lalu menghadap pada layar atau monitor.

Hai ini berimplikasi terhadap kesehatan fisik pemain. Bermain tidak lagi memberikan faedah pada fisik, karena yang terjadi justru sebaliknya: kebugaran tubuh menurun, mata minus dan sebagainya.

Kurangnya aktivitas jasmani yang dilakukan karena memainkan permainan virtual hingga berjam-jam menyebabkan tubuh mudah lelah. Memelototi layar dalam waktu lama pun berbahaya, sebab mata dapat terpapar radiasi dari layar. Akibatnya tidak sedikit gamers yang memiliki gangguan fungsi mata, seperti yang tadinya normal menjadi minus.

Perpindahan ke budaya permainan virtual ini juga membawa dampak negatif pada psikis. Beberapa permainan virtual menawarkan konten yang tidak mengedukasi, seperti kekerasan. Sebut saja Grand Theft Auto (GTA) dalam Playstation. Pemain akan diajak seolah-olah menjadi gengster di San Andreas.

Dalam virtualnya, pemain bebas melakukan apa saja yang dia inginkan: merampok, memerkosa, membunuh, dan semua yang bisa dikerjakan gengster. Belum lagi permainan lain seperti Smack Down, pemain bebas memilih idolanya untuk dimainkan. Masing-masing idola mempunyai jurus yang khas untuk berkelahi menghajar lawannya di dalam arena tarung.

Konten-konten dalam permainan tersebut berbahaya bagi anak, sebab anak suka meniru apapun yang mereka lihat. Apa yang mereka konsumsi tiap harinya akan memengaruhi pola pikir.

Alhasil, banyak kasus kekerasan yang dilakukan sesama anak, sebab mereka telah terpengaruh atas apa yang mereka lihat tiap hari. Tidak sedikit yang berkasus heboh, seperti beberapa anak yang melakukan kekerasan terhadap temannya hingga berdampak pada merenggangnya nyawa.

Akhirnya, kita harus bijak menyingkapi budaya baru dalam aktivitas bermain, terutama untuk anak-anak. Peran orang tua dalam menghidupkan dan mengajarkan permainan tradisional kepada anak-anak sangat dibutuhkan.

Pemberian gadget, sertai penggunaan piranti permainan virtual pada anak pun harus dibatasi. Kesadaran untuk menjaga kesehatan bukan hanya tugas guru pendidikan jasmani di sekolah ataupun dokter.

Peran keluarga serta masyarakat  juga sentral, sebab anak-anak juga hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat. Bermain adalah hak anak, tetapi jangan sampai karena budaya bermain yang salah malah menjerumuskan anak ke dalam hal-hal yang tidak berfaedah.

Rofi Ali Majid
Rofi Ali Majid
Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini aktif di unit kegiatan mahasiswa kampus bidang jurnalistik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.