Rabu, Mei 8, 2024

Pertemuan di MRT Sinyal Reposisi?

Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq
Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat politik hukum

Paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Joko Widodo–Ma’ruf Amin tidak terbukti melakukan pelanggaran Pemilu seperti apa yang dituduhkan kubu Prabowo-Sandi, seketika tensi politik perlahan mulai menurun. Sebagian masyarakat menyambut kemenangan petahana, walaupun sebagian memilih bungkam dan menangis.

Perlahan-lahan komentar pedas yang menjurus ke Prabowo Subianto sebagai fokus utama dalam kontestasi lima tahunan itu, mulai redup tertutup oleh isu kemenangan Jokowi. Seluruh gagasan, pandangan masa depan, hingga program pemerintah tersiar melalui pemberitaan dan peran media sosial.

Sekian lama redup, Prabowo kembali tampil di layar kaca pemberitaan saat bertemu Joko Widodo di Stasiun MRT Lebak Bulus pada Sabtu (14/7/2019). Pertemuan itu menginsyaratkan rekonsiliasi setelah perseteruan itu berakhir paska putusan MK. Ada pula yang menilai sebagai silaturahmi biasa saja.

Dalam pertemuan itu, Prabowo menyatakan diri siap membantu Joko Widodo sebagai presiden terpilih, selama masih terkait dengan kepentingan rakyat. Tapi menyusul kalimat berikutnya, bahwa sesekali mengkritisi dengan alasan demokrasi butuh check and balance. Kalimat itu mengundang pertanyaan, apakah Prabowo tampil sebagai oposisi atau reposisi?

Selama ini, paska kegagalan memenangkan kontestasi Pemilihan Presiden, Prabowo tetap tampil sebagai oposisi yang bertugas mengkritisi seluruh kebijakan yang dinilai tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.

Jika benar opisisi, kenapa harus menyatakan membantu pemerintah Joko Widodo. Meskipun dibaluti dengan kalimat check and balance, konsep oposisi tetap saja terlihat.

Di sisi lain, mungkinkan pernyataan Prabowo sebagai bentuk reposisi atau dengan lebih jelasnya butuh tempat yang baru untuk memulai perang baru. Jika benar, itu artinya Prabowo perlu mengubah arah gerak politiknya dari kebiasaan mengkritisi kepada membantu tanpa mengenyampingkan budaya kritik. Tapi itu hal mudah terbaca semua orang.

Partai Amanat Nasional (PAN) memilik bersikap lain daripada Prabowo. Anggota Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo berharap masa depan partai pengusung Prabowo di Pilpres 2019, yakni Gerindra, PAN dan PKS tetap oposisi.

Menurutnya, kehadiran oposisi bernilai positif dalam membangun demokrasi yang kuat dan sehat. Jika PAN berdiri di atas statement sederhana, justru PKS menyatakan tegas tetap opisisi. Lantas Gerindra, sudah dipastikan mengikut apa kata pimpinannya.

Di sisi lain, pernyataan Prabowo seakan-akan memberi sinyal reposisi dengan menjawab beban berat Joko Widodo dalam membentuk kabinetnya. Pasalnya, koalisi partai pendukung Joko Widodo yakni Koalisi Indonesia Kerja hanya mencapai 10 partai. Dengan begitu, kader partai pengusung seperti PAN dan Demokrat bisa terwujud keinginannya mendapatkan satu kursi menteri.

Apalagi, saat ini Joko Widodo sedang memikirkan estafet kepemimpinan dengan memberikan alokasi kursi menteri bagi kalangan muda-milenial, tentunya memberikan peluang bagi partai sebelah untuk bergabung.  Bukan tidak mungkin, PAN dan Demokrat punya kader dari kaum milenial.

Sinyal semacam itu seperti ingin dijawab Prabowo melalui pertemuannya itu. Jika benar, berarti Prabowo telah tampil sebagai reposisi dari oposisi selama 10 tahun belakangan. Reposisi bukan dalam artinya kembali kepada habitat sebelumnya, melainkan perpindahan menuju arah baru.

Tapi sulit rasanya jika Prabowo benar-benar tidak lagi menjadi opisisi. Kekuatan PKS sekarang ini belum terlalu kuat untuk menegaskan dirinya sebagai oposisi. Bukan soal komitmen atas perkataan dan perbuatan, tapi masalah masa depan politik PKS. Tidak selamanya Gerindra tampil sebagai opisisi.

Itu artinya, PKS sebagai partai paling setia bersama Gerindra, harus jadi generasi penurus opisisi. Itu pun jika sekali lagi PKS belum mampu memenangkan calonnya di Pilpres akan datang.

Lantas bagaimana dengan PAN dan Demokrat, sudah dari awal terlihat perbendaan konsistensi dengan PKS cukup jauh. Sebagian besar pakar politik menilai PAN hitam putih alias abu-abu. Tidak jauh berbeda dengan Demokrat pandai dan sangat berhati-hati melangkah. Posisi oposisi tentu sulit dilakukan, sebab mesin parti butuh kekuatan untuk bisa hidup.

Melihat pertemua itu, memberikan sinyal bagi bangsa Indonesia akan masa depan politik nasional. Posisi ini akan ditentukan oleh Prabowo, apakah tetap bersi keras opisisi atau reposisi. Dengan kata lain, akan ada pemandangan politik nasional di masa akan datang. Tapi kita lihat saja, kemana arah Prabowo lima tahun akan datang, reposisi atau oposisi, waktunya masih panjang.

Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq
Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat politik hukum
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.