Sabtu, April 27, 2024

Perspektif Islami Mengenai Bencana

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.

Sebagai bangsa Indonesia, kita berduka-cita dan berbela sungkawa atas peristiwa gempa dan tsunami di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah, yang mencapai 1.407 orang menurut data hari Rabu kemarin (3-11-2018).

Di tengah kondisi yang serba menyedihkan ini, hal utama yang perlu diyakini adalah musibah gempa dan tsunami tersebut bukan merupakan azab dari Allah SWT. Keyakinan ini didasarkan pada kandungan Q.S. al-Anfal [8]: 33, bahwa Allah SWT tidak akan menyiksa suatu kaum, selama masih ada yang mengucapkan istighfar.

Sedangkan mayoritas penduduk Palu-Donggala adalah umat muslim yang sudah pasti masih aktif beristighfar. Bahkan sebagian korban wafat saat sedang melaksanakan shalat di masjid.

Oleh karena itu, sangat naif sekaligus tidak manusiawi, apabila ada pihak tertentu yang menduga musibah tersebut sebagai azab, hanya berdasarkan logika cocokologi, yaitu mengait-ngaitkan sesuatu dengan sesuatu yang lain secara serampangan.

Dugaan seperti ini harus dijauhi umat muslim, karena tergolong purba-sangka yang berpotensi menjerumuskan pelakunya pada dosa (Q.S. al-Hujurat [49]: 12). Di sisi lain, perilaku menyalahkan orang lain atas suatu musibah, mirip dengan perilaku kaum kafir yang menyalahkan para rasul sebagai pembawa petaka atau nasib sial, seperti yang dikisahkan dalam Q.S. al-Naml [27]: 47.

Dari sini lebih wajar jika musibah tsunami dan gempa di Lombok, Palu dan Donggala, dinilai sebagai bala’, yaitu ujian Allah SWT yang diberikan semata-mata karena kebijaksanaan-Nya, tanpa ada sangkut pautnya dengan perilaku manusia.

Di sisi lain, perlu dipahami bahwa bala’ negatif seperti gempa dan tsunami, bukanlah pertanda Allah SWT benci; seperti halnya bala’ positif seperti pertumbuhan ekonomi, bukanlah pertanda Allah SWT sayang. Inilah yang ditegaskan dalam Q.S. al-Fajr [89]: 15-17.

Hal ini dikarenakan tujuan bala’ adalah menguji respon manusia, apakah memberi respon positif atau negatif? Harapannya, manusia memberi respon terbaik terhadap ujian apapun yang diberikan oleh Allah SWT (Q.S. al-Mulk [68]: 2).

Adapun contoh respon terbaik dalam menghadapi musibah gempa dan tsunami yang menakutkan, menimbulkan kelaparan, hingga memakan banyak korban jiwa adalah bersabar. Inilah yang dianjurkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 155-157.

Rangkaian ayat tersebut menjelaskan bahwa salah satu tips bersabar adalah menjiwai kandungan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) yang dimulai dengan redaksi “inna”, sesungguhnya kami; bukan “innani”, sesungguhnya saya. Lafal ini mengisyaratkan bahwa siapapun yang terkena musibah, harus diyakini bahwa bukan berarti dia saja yang terkena musibah.

Dulu, sekarang dan nanti, pasti ada orang yang terkena musibah. Di sisi lain, lafal ini mengisyaratkan bahwa semakin banyak pihak yang bersimpati dan berempati dengan menunjukkan belasungkawa dan perhatian, maka semakin terhibur hati para korban, sekaligus mengurangi duka mereka. Oleh sebab itu, apabila kita menunjukkan simpati dan empati, bukan malah sibuk mencaci-maki pihak yang bersimpati dan berempati; berarti kita telah ikut membantu para korban bencana.

Lafal “li-llahi” yang artinya milik Allah SWT. Salah satu maknanya adalah Allah SWT berhak menjadikan manusia “sebagai alat” untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, serta memberi peringatan bagi manusia lainnya. Dengan adanya gempa dan tsunami ini, bangsa Indonesia diingatkan lagi menyangkut Q.S. al-Mulk [68]: 16, Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?

Ketika manusia dijadikan alat untuk menunjukkan kekuasaan Allah SWT, tentu dia akan diberi apresiasi tersendiri oleh Allah SWT. Sebagaimana saat kita menjadikan orang lain sebagai Asisten Rumah Tangga, pasti kita memberinya apresiasi tertentu. Dalam hal ini, salah satu bentuk apresiasi Allah SWT adalah menjadikan para korban gempa dan tsunami sebagai orang-orang yang mati syahid akhirat.

Hal ini sesuai dengan Hadis riwayat Imam Bukhari yang menjelaskan lima contoh orang mati syahid, yaitu orang yang terkena penyakit tha’un, orang yang terkena sakit perut, orang yang tenggelam, orang yang tertimpa reruntuhan dan orang yang gugur di medan perang fi sabilillah.

Dalam Hadis Imam Malik ditambahkan lagi contoh lain, yaitu korban kebakaran dan wanita yang wafat karena melahirkan. Dari sini wajar jika kita berdoa, semoga para korban yang meninggal dunia dalam peristiwa gempa dan tsunami di Lombok, Palu dan Donggala, dinilai sebagai syahid akhirat yang mendapatkan derajat luhur di sisi Allah SWT.

Selanjutnya apabila para korban bersikap sabar, maka Allah SWT akan memberi tiga anugerah. Ketiga anugerah inilah yang perlu kita perhatikan dengan seksama.

Pertama, rahmat yang agung (shalawat). Dalam konteks ini, menguatnya rasa kemanusiaan berupa solidaritas sosial. Sebelumnya, rasa kemanusiaan bangsa Indonesia tercoreng dengan peristiwa penganiayaan suporter sepakbola yang berujung kematian. Ironisnya, orang-orang sekitar yang melihat penganiayaan tersebut, bersikap acuh tak acuh, bahkan tega merekamnya.

Hal ini mengisyaratkan pudarnya rasa kemanusiaan, yaitu peduli kepada sesama. Melalui bencana alam di Lombok, Palu dan Donggala ini, bangsa Indonesia menunjukkan solidaritas sosial yang tinggi dengan ikut berbela sungkawa dan berbagi dana sosial bagi para korban bencana.

Kedua, kasih sayang (rahmat). Dalam konteks ini, tumbuhnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di tengah konflik politis yang menjurus pada perpecahan dan pertikaian. Sebelumnya, kita sudah diingatkan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa melalui Asian Games 2018. Sekarang, kita diingatkan lagi melalui bencana alam yang seharusnya menyadarkan bangsa Indonesia untuk mengedepankan persatuan dan kesatuan, dibandingkan perpecahan dan pertikaian akibat perbedaan pilihan politis.

Ketiga, solusi (hidayah). Apabila para korban bencana alam tidak bersabar, maka dapat menimbulkan perasaan putus asa, depresi, dan gangguan mental lainnya. Bahkan bisa jadi berujung pada aksi bunuh diri. Sedangkan para korban bencana alam yang bersabar, maka dapat menimbulkan perasaan percaya diri untuk berbenah dan mencari solusi. Pada tataran ini, kita sebagai bangsa Indonesia yang tidak terkena bencana alam, wajib bersyukur dengan cara membantu para korban bencana, sebagai alternatif solusi, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing (Q.S. al-Thalaq [65]: 7)

Walhasil, pelajaran (‘ibrah) yang dapat dipetik bangsa Indonesia dari bencana alam yang melanda Lombok, Palu dan Donggala adalah meningkatkan kembali solidaritas sosial sebagai perwujudan rasa kemanusiaan; menjalin kembali persatuan dan kesatuan, sekalipun berbeda pilihan politis; serta bergotong-royong membantu para korban bencana sesuai dengan kemampuan.

Sumber Foto: http://makassar.tribunnews.com/2018/10/04/pemerintah-jepang-kirim-tim-penanggulangan-bencana-dan-peralatan-ke-palu-dan-donggala

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.