Pemilu merupakan salah satu perwujudan atau pengejawatan dari sistem demokrasi. Abraham lincoln menyatakan dalam teorinya “the goverment from the people, by the people and for the people” yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Secara tidak langsung teori ini menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi disuatu negara berada di tangan rakyat dan kekuasaan itu dijalankan oleh wakil-wakil mereka (rakyat) yang dipilih melalui sistem pemilihan.
Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki sistem pemilihan umum secara langsung yang tercantum dalam Pasal 22 E UUD NRI 1945 ayat (1),(2),(3),(4),(5) dan (6) yang dimana menjelaskan mengenai Pemilu.
Pemilu secara langsung mulai dilaksanakan pada tahun 2004, namun hingga saat ini pemilu secara langsung masih menuai beberapa persoalan, salah satunya yakni money politics/politik uang.
Apa itu politik uang?
Politik uang/money politics adalah suatu tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum, dimana perbuatan itu dilakukan dengan cara memberi dan menerima uang dan/atau berupa materil lainnya, yang ditujukan untuk menghasut dalam hal memilih pasangan calon tertentu.
Padahal dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Terkadang dalam prakteknya, pemilu justru diwarnai dengan ketidakbebasan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan. Mengapa demikian ? karena salah satu penyebabnya yakni adanya praktik politik uang yang sudah merambat baik dalam ranah pileg, pilpres bahkan pilkada.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum juga mengatur mengenai larangan politik uang yang tercantum dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j yang berbunyi “pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang : j. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.”
Apakah praktik politik uang merupakan tindakan pidana?
Pasal 519 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan secara jelas bahwa setiap perbuatan orang yang dilakukan secara sengaja dengan memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi calon anggota DPD dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Kemudian didalam Pasal 523 ayat (1),(2) dan (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga menyebutkan mengenai sanksi berupa pidana penjara dan berupa denda.
Melihat pasal diatas terlihat jelas bahwa praktik politik uang merupakan tindak pidana yang tidak dibenarkan oleh hukum dan merusak sistem demokrasi yang diharapkan.
Pencegahan politik uang dalam perspektif hukum pidana?
Hukum pidana memiliki ilmu bantu salah satunya yakni ilmu kriminologi, yang mana ilmu ini mempelajari tentang kejahatan. Menurut Bonger ilmu kriminologi dibagi menjadi dua bagian yakni kriminologi murni dan kriminologi terapan.
Dalam kriminologi terapan ada yang dikenal dengan politik kriminil. Politik kriminil itu sendiri adalah usaha penanggulangan kejahatan dimana kejahatan itu telah terjadi. Sehingga teori ini digunakan sebagai dasar untuk membuat sebuah solusi untuk mencegah politik uang seperti yang kita tahu bahwa politik uang sudah terjadi sejak adanya sistem pemilihan hingga sekarang ini.
Ilmu kriminologi ini memposisikan dalam proses kebijakan kriminal (criminal policy) yang kemudian dapat ditempuh dengan upaya penal dan upaya non penal.
Pertama, upaya penal merupakan upaya penindakan (represif) melalui jalur hukum pidana. Dalam UU No. 7 Tahun 2017 sanksi yang diberikan sudah cukup tegas baik berupa administratif maupun pidana. Namun demikian UU No. 7 Tahun 2017 perlu direvisi kembali dalam hal pengaturan mekanisme bagaimana bawaslu mengawasi politik uang disetiap elemen (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa).
Kedua, upaya non penal adalah upaya pencegahan (preventif) sehingga upaya ini dilakukan diluar hukum pidana. Politik uang yang berkelanjutan disebabkan juga karena ketidaktahuan masyarakat mengenai praktik politik uang.
Sehingga upaya yang harus dilakukan adalah penyuluhan/sosialisasi mengenai kejahatan politik uang. Upaya ini secara teknis harus dilakukan oleh bawaslu disetiap elemen baik provinsi, kabupaten/kota, kecamata, kelurahan/desa. Disamping itu sosialisasi yang dilaksanakan harus mendatangkan beberapa tokoh baik dari kepolisian, bawaslu, bahkan tokoh masyarakat/agama.
Sosialisasi ini juga harus disinkronisasikan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat terkhusus norma agama. Upaya non penal berikutnya yakni mendirikan suatu papan informasi baik media nyata maupun maya yang berisikan topik kejahatan politik uang dengan memanfaatkan sumber daya manusia dielemen tingkat RT/RW.