Senin, Oktober 7, 2024

Perspektif Hukum Kasus Meiliana

hilmi sobari
hilmi sobari
Esais. Tinggal di Bekasi

Saya melakukan sedikit riset pemberitaan media mengenai kasus Meiliana. Hasilnya cukup memprihatinkan. Pemberitaan kasus ini diframing secara sepotong-sepotong, yang kemudian dijadikan bahan bakar perdebatan.

Secara umum, media mengambil angle yang sama yaitu vonis dijatuhkan hanya karena Meiliana mengeluhkan volume, sekali lagi saya ambil penekanan: volume, atau suara azan yang berlebihan. Dari sudut pandang ini, volume azan yang normal tidak dikeluhkan Meiliana.

Warganet menghakimi putusan itu dan menyebutnya sebagai kezaliman. Penghakiman kemudian berpindah ke jamaah Masjid Al-Maksum di Tanjung Balai yang memperkarakan kasus ini. Para jamaah itu digambarkan begitu tidak toleran, egois, mudah marah, barbar, atau apapun istilah yang tidak enak didengar.

Singkatnya: Meiliana berhak komplen dan keluhannya tidak layak direspon secara berlebihan, apalagi sampai dibawa ke pengadilan, itu hak pribadi yang bersangkutan sebagai warga negara yang hidup berdasarkan aturan hukum.

Pertanyaannya, benarkah Meiliana berhak mengeluhkan suara azan berdasarkan hak hukumnya?

Mari kita sejenak menengok teori hukum klasik terkait hal ini. Di kantor, saya beberapa kali mengajarkan teori dasar-dasar hukum ke karyawan yang baru direkrut. Karena kantor saya bekerja di bidang asuransi, spesifikasinya salah satunya mengenai hukum tanggunggugat.

Asuransi jenis ini sangat berkaitan erat dengan persoalan-persoalan perdata. Salah satunya disebut nuisance, kebisingan yaitu gangguan terhadap seseorang karena tindakan orang lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian materil dan immateril. Ketidaknyamanan adalah salahsatunya.

Jika warga A menderita ketidaknyamanan karena adanya suara keras memekakkan telinga, bau busuk yang menyengat hidung, asap atau debu yang mengenai mata dan merusak kesehatan, juga properti lain, atau hal serupa yang diakibatkan oleh tindakan warga B, maka A berhak menuntut B ke pengadilan.

Tentu saja, biasanya hal ini diselesaikan lebih dulu melalui jalan damai (mediasi, arbitrasi yang dikenal dengan istilah out of court settlement). Jika akhirnya menemui kebuntuan, baru kemudian diproses hukum.

Sampai di sini, posisi Meiliana sama dengan A. Meiliana menderita akibat suara keras yang mengganggu kenyamanannya akibat tindakan warga yang posisinya seperti B. Mediasi telah dilakukan. Setelah drama yang melelahkan itu tak membawa hasil, akhirnya kasusnya dibawa ke pengadilan.

Bedanya. Kasus A vs B berjalan di ranah pengadilan perdata. Sedangkan Meiliana vs Jamaah, kita sebut saja begitu, berada di ranah pengadilan pidana. Kesamaannya, kedua kasus ini disebabkan oleh nuisance. Menariknya, ketika teori hukumnya memandang perkara seperti ini sebagai kasus perdata namun di sini (Indonesia) dimasukkan sebagai kasus pidana.

Kembali ke teori hukumnya. Apakah Meiliana berhak mengeluh? Di pengadilan perdata versi teori, di situ akan ada pengujian sejauh mana definisi “berlebihan” itu bisa diterima. Apakah setiap suara yang keras akan dianggap berlebihan? Atau, ada toleransi jika suara berlebihan itu telah dianggap normal oleh konvensi sosial di tempat tersebut.

Dalam kasus Meiliana vs Jamaah, apakah suara azan yang menggunakan pengeras suara bisa dikeluhkan? jawabannya sangat bergantung pada kebiasaan yang berlaku di wilayah sengketa. Kita tentu paham bahwa penggunaan pengeras suara telah menjadi hal yang jamak dan bahkan telah dianggap normal selama puluhan tahun di negeri ini.

Hal itu telah dianggap sebagai hukum tidak tertulis. Artinya, keluhan Meiliana dapat dibaca: mengeluhkan kenormalan, atau telah terjadi keluhan tidak pada tempatnya. Ini bahkan belum membahas redaksi keluhannya yang katanya lebih dari satu versi itu.

Bagi sebagian orang hal ini bisa diartikan kezaliman atau kesewenang-wenangan mayoritas. Tapi itulah realitasnya. Hukum tidak kaku dan plek jiplek mengacu pada apa yang tertulis di kitab-kitab hukum. Sama seperti penafsiran hukum dalam fiqh, penafsiran hukum bisa bersifat fleksibel karena ia memang lahir dari rahim dewi hukum yang hidup dan seringkali tidak tertulis di masyarakat.

Pandangan Din Syamsuddin sangat menarik. Mantan Ketum PP Muhamamadiyah ini membagi kasus Meiliana dalam 3 kondisi. Pertama, jika hanya protes suara azan dan disampaikan dengan baik-baik maka ini bukan penghinaan. Kedua, jika yang diprotes azannya dan bukan suaranya maka ini juga penghinaan karena azan bagian dari ritual keagamaan.

Ketiga, ini yang paling mendekati kasusnya, jika protes terhadap azannya disertai tindakan berlebihan seperti sinis, menghina, memaki, maka ini juga termasuk penghinaan karena telah merendahkan ritual keagamaan umat lain.

Kemudian, karena kasusnya di Indonesia ditangani secara pidana, bagaimana penjelasannya. Apakah Meiliana telah melanggar? Dan posisinya menjadi terbalik. Dalam kasus perdata Meilana sebagai penggugat dan Jamaah sebagai tergugat, dalam kasus pidana ini justru Meiliana yang dipidanakan.

Saya melihatnya terbagi menjadi dua pendapat.

Pertama, selama redaksi pasal 156 dan 156a KUHP masih seperti sekarang, tindakan Meiliana sangat mungkin dipidana. Kronologis kasusnya logis jika diarahkan ke penghinaan agama karena redaksi pasalnya sangat umum. Logika hukum yang digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan sulit dibantah meskipun secara logika umum (non hukum) terlihat seolah dipaksakan.

Pendapat kedua, redaksinya memang umum tapi pasal itu harusnya ditafsirkan lebih adil bagi terdakwa, yaitu dengan menyempitkan ruang penafsiran. Tidak tekstual tapi substansial, artinya penghinaannya harus substantif. Hal-hal yang sifatnya pemikiran, penafsiran, atau dinamika sosial tidak bisa dipidanakan. Sayangnya konstruksi hukum saat ini masih menggunakan pendapat pertama.

Hal itu jelas terlihat pada saat pengujian. Seperti yang sudah-sudah, pasal ini membutuhkan keterangan para ahli. Kemampuan para ahli menjelaskan konteksnya yang akan dijadikan landasan pertimbangan hakim.

Jika ahli pembela terdakwa mengulang-ulang dalil yang sudah pernah digunakan pada sidang kasus yang serupa (misal kasus Ahok), kemungkinan besarnya hakim memutus bersalah karena telah ada penafsiran yang “established”  mengenai pasal ini di institusi kehakiman.

Dan itu yang terjadi. Keterangan ahli dari kuasa hukum terdakwa justru sibuk mengarahkan sikap Meiliana sebagai keluhan terhadap volume azan dan azan itu bukan bagian syariat — kelirunya di sini, karena lagi-lagi kalau yang dibahas tafsir, seperti kasus Ahok, masih dianggap bagian dari penghinaan agama.

Beban pembuktian terberat memang ada di kuasa hukum terdakwa, yang dalam kasus ini gagal membangun dalil yang baru dan radikal sehingga argumennya mentok di dinding tafsir hukum yang sudah kadung mapan tadi.

Ketika melihatnya melalui birdview — cara pandang burung yang sedang terbang, saya menemukan persoalan lebih besar yaitu kosongnya mekanisme penyelesaian sengketa secara sosial. Kita dipaksa menggunakan satu-satunya perangkat yaitu hukum positif yang sudah terbukti tidak pernah efektif dalam kasus seperti ini.

Seyogyianya dicari cara lain, terobosan, solusi alternatif yang bisa digali dari kearifan lokal di nusantara yang bejibun itu.

hilmi sobari
hilmi sobari
Esais. Tinggal di Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.