Jumat, Mei 23, 2025

Personal Branding di Era Digital

Nurul Azizah
Nurul Azizah
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Manajemen
- Advertisement -

Sebagai orang yang memperhatikan komunikasi digital dan media sosial, saya melihat bahwa tren personal branding tidak hanya menciptakan peluang baru dalam dunia kerja dan bisnis, tetapi juga membawa tantangan sosial dan psikologis yang belum banyak disadari. Tulisan ini dibuat dari keprihatinan sekaligus ketertarikan saya terhadap bagaimana seseorang membentuk identitas digital mereka di tengah tuntutan algoritma dan ekspektasi publik.

Di tengah pesatnya transformasi digital, personal branding menjadi lebih dari sekadar strategi promosi diri. Hal ini telah menjelma menjadi salah satu kunci utama dalam membangun reputasi profesional, memperluas jaringan bisnis, hingga menciptakan peluang ekonomi baru. Namun, di balik potensi besarnya, personal branding juga menyimpan sisi gelap yaitu ketika pencitraan mengalahkan esensi, dan algoritma menggantikan autentisitas.

Fenomena ini terlihat jelas di media sosial. Kini, publik lebih percaya pada figur-figur yang tampil konsisten dan menarik di Instagram, TikTok, atau LinkedIn. Konten visual yang menarik, narasi personal yang emosional, dan interaksi aktif menjadi modal utama membentuk persepsi. Tetapi, apakah citra digital tersebut selalu merepresentasikan kenyataan?

Sebagai contoh konkret, UMKM Bittersweet by Najla membangun personal branding bukan hanya lewat produk yang dijual, tetapi juga dengan mengangkat cerita di balik setiap kreasi. Najla rutin membagikan proses pembuatan produk melalui video pendek di Instagram dan TikTok, mulai dari pemilihan bahan baku hingga tahap pengemasan, yang menunjukkan dedikasi dan kualitas usahanya.

Selain itu, Najla aktif berinteraksi dengan pelanggan melalui komentar dan pesan pribadi, membangun hubungan emosional yang kuat. Ia juga sering membagikan cerita pribadi tentang tantangan dan inspirasi dalam menjalankan bisnis, sehingga pelanggan merasa dekat dan percaya pada merek tersebut. Strategi ini membuat pelanggan tidak hanya membeli produk, tetapi juga merasa menjadi bagian dari perjalanan dan nilai-nilai yang diusung Najla, sehingga personal branding yang dibangun terasa unik dan kuat. Strategi ini terbukti efektif, tetapi tidak semua pelaku usaha atau profesional mampu atau mau membagikan hidup pribadinya ke publik demi membangun merek.

Di sisi lain, personal branding juga menimbulkan tekanan sosial yang tidak sedikit. Dorongan untuk selalu tampil menarik, sukses, dan inspiratif dapat memicu kejenuhan mental akibat aktivitas daring yang berlebihan atau membentuk citra diri yang tidak sesuai kenyataan.

Terdapat kasus di mana citra yang dibangun jauh dari kenyataan, sehingga menimbulkan kekecewaan publik dan bahkan merusak reputasi jangka panjang. Misalnya, seorang influencer yang dikenal dengan gaya hidup mewah dan sukses tiba-tiba terungkap melakukan praktik bisnis yang tidak etis. Kasus ini menunjukkan bahwa personal branding yang hanya fokus pada pencitraan tanpa didukung integritas bisa berbalik merugikan, bahkan menimbulkan kerugian finansial dan sosial yang signifikan.

Di tengah budaya Indonesia yang menjunjung kerendahan hati, upaya mengenalkan diri secara terbuka kerap dianggap sebagai bentuk kejumawaan. Tak heran jika personal branding masih sering dipandang sinis, seolah hanya ajang pamer, bukan strategi adaptif di era digital.

Ada asumsi bahwa membicarakan diri sendiri berarti sombong, padahal dalam ekosistem digital saat ini, mengenalkan diri secara strategis adalah bentuk adaptasi. Tantangannya adalah bagaimana membangun citra tanpa kehilangan jati diri karena personal branding bisa berdampak positif jika dilakukan secara etis, namun risiko pencitraan palsu harus diwaspadai dan dikritisi.

Data dari Hootsuite (2023) menunjukkan bahwa 61% konsumen lebih percaya pada produk yang dipromosikan oleh individu dengan branding personal kuat dibandingkan iklan perusahaan. Ini menegaskan bahwa personal branding bukan tren sesaat, tapi bagian dari realita bisnis digital yang harus disadari dan direspon dengan bijak.

- Advertisement -

Selain itu, menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2023, sebanyak 85% UMKM di Indonesia telah memanfaatkan platform digital untuk memasarkan produk mereka, namun hanya sekitar 40% yang secara aktif membangun personal branding sebagai bagian dari strategi pemasaran. Hal ini menunjukkan adanya potensi besar yang belum tergarap maksimal dalam dunia digitalisasi usaha.

Karena itu, membangun personal branding di era digital sebaiknya dilakukan dengan strategi yang matang, tapi tetap mengedepankan kejujuran dan etika. Hal itu menuntut kejelasan nilai diri, keaslian pesan, dan keberanian untuk tampil jujur, bukan sekadar meniru tren atau membentuk citra palsu demi pasar. Kita perlu bertanya, dalam membangun citra digital, apakah kita benar-benar merepresentasikan siapa diri kita, atau hanya sekadar tampil sesuai ekspektasi algoritma?

Menjawab tantangan ini, individu baik pelaku UMKM, profesional muda, maupun tokoh publik perlu membangun branding yang seimbang antara estetika dan etika. Dengan memilih platform yang sesuai, menyampaikan pesan yang konsisten, dan menciptakan konten bernilai tanpa mengorbankan prinsip, personal branding bisa menjadi alat transformasi, bukan sekadar topeng.

Di akhir hari, dunia digital adalah panggung, dan kita semua adalah aktornya. Pertanyaannya: apakah peran yang kita mainkan benar-benar mencerminkan siapa kita sebenarnya?

Nurul Azizah
Nurul Azizah
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Manajemen
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.