Lagi-lagi Menteri Fachrul Razi. Setelah melempar kontroversi dengan cadar dan cingkrang akhir tahun 2019 yang lalu, mantan jenderal yang kini dipercaya Presiden Joko Widodo untuk menduduki jabatan menteri agama itu kembali viral dengan pernyataan kontroversial.
Bila tahun lalu Menteri Fachrul Razi menyebut cadar dan cingkrang, kali ini diksi pilihannya ialah good looking, pemahaman bahasa Arab yang bagus, dan hafiz yang secara kontekstual bermakna penghafal al-Quran. Lantas, bagaimana fakta di balik substansi narasi yang menuai kontroversi ini, serta apa pula dampaknya bagi “radikalisme” itu sendiri?
Pertama-tama istilah radikalisme memang merupakan an old wine in a new bottle dalam diskursus masyarakat Indonesia. Sedikit banyak pilihan diksi ini memang problematik. Bila radikal dinisbahkan pada bahasa Latin radix yang maknanya akar, yang dalam bahasa Indonesia bermakna secara mendasar, atau dalam konteks politik berhubungan dengan sikap keras menuntut perubahan maka radikalisme yang disandingkan dengan Islam memanglah menimbulkan kontroversi di komunitas tertentu. Oleh sebab itu menggandengkan istilah ini pada konteks keagamaan akan amat berpotensi terus memunculkan kontroversi, layaknya pernyataan menteri agama ini.
Lepas dari persoalan diksi itu, sejatinya pernyataan menteri agama yang telah diklarifikasi di hadapan sidang DPR RI sebagai contoh kasus munculnya paham-paham radikalisme di kalangan ASN bisa ditelisik kebenarannya.
Secara substansial perkembangan sikap intoleransi dan ekstremisme beragama di kalangan ASN ini memang tantangan yang nyata sekalipun sama sekali bukan persoalan yang baru. Nama seperti Yudi Zulfahri, inisial AI, dan inisial EPW di antara beberapa nama lain misalnya menjadi preseden nyata keterlibatan orang yang pernah menyandang tugas aparatur sipil negara dalam jaringan terorisme.
Ketiga nama dan inisial tersebut diputus oleh pengadilan sebagai terpidana kejahatan terorisme. AI adalah mantan ASN yang merupakan deportan simpatisan ISIS serta pemasok obat ke jaringan Mujahidin Indonesia Timur di Poso, sama halnya dengan EPW yang merupakan afiliasi ISIS dan anggota Jama’ah Ansarut Daulah pimpinan Aman Abdurrahman yang ditangkap sebelum melakukan serangan pada tahun 2018, adapun lulusan STPDN Yudi Zulfahri yang kini telah menjadi aktivis anti ekstremisme kekerasan pada masanya ditangkap ketika pelatihan militer Tanzim Al Qaeda Serambi Mekah jaringan Dulmatin di Jantho Aceh.
Sejalan dengan pernyataan menteri Fachrul Razi, ketiga nama di atas terpantik memulai perjalanan menuju terorisme dari pengajian kelompok ekstrem. Termasuk juga salah satunya dimulai dari pengajian Hizbut Tahrir Indonesia yang kini telah dibubarkan sekalipun tak menyurutkan semangat pengikut ideologisnya.
Posisi sebagai ASN dengan usia muda berkisar antara 30 tahun pada saat didakwa dengan latar belakang tamatan kedinasan STPDN dan menyandang gelar pendidikan vokasional terbukti tidak mampu mencegah masuk perangkap jaringan ekstremis teroris. Demikian pula terbukti dengan kasus deportan mantan ASN Kemenkeu lulusan S2 universitas di Australia dengan inisial TUA yang membawa istri dan tiga anaknya saat berusaha bergabung dengan ISIS.
Pemantik Masalah
Paling tidak secara faktual substansi menteri Fachrul Razi soal fenomena ancaman ekstremisme para ASN ada benarnya, namun lantas bagaimana dampak makronya? Kini serba-serbi urusan menjadi sorotan dan target komentar warga net. Ini adalah kenyataan yang mesti dipahami sekaligus juga diterima oleh setiap pengampu kebijakan.
Dalam kasus “good looking” dan “hafiz” konteks sesungguhnya menteri agama menjadi kurang penting berbanding dengan tafsiran yang sudah beredar luas. Yang pasti, reaksi publik tampak jelas condong pada sisi negatif diukur salah satunya dari reaksi warga net dan tokoh agama yang telah banyak beredar.
Kondisi ini tentu amat berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok teror menjadi pupuk tumbuh subur kebangkitan ekstremisme kekerasan. Bahkan dengan narasi “hafiz” agaknya akan lebih luas menjangkau komunitas Islam ketimbang narasi cingkrang dan cadar sebelumnya, sebab tradisi menghafal al-Quran bahkan juga hadis nabi memang mengakar dalam komunitas Islam.
Dalam diskusi penulis dengan salah seorang mantan narapidana terorisme menyimpulkan bahwa pernyataan menteri Fachrul Razi yang memicu kemarahan publik dan komunitas Islam terbuka pada eksploitasi kelompok tertentu untuk seakan-akan menunjukkan potret pemerintah anti Islam. Melegitimitasi pemerintah sebagai musuh agama adalah salah satu trik yang merupakan salah satu narasi utama kelompok ekstremis teroris. Kapitalisasi isu-isu yang menyulut kemarahan komunitas Islam di dalam dan luar negeri juga jelas bukan hal baru bagi jaringan ekstremis teroris di Indonesia.
Kini pandemi Covid-19 juga menambah risiko bagi radikalisasi, rekrutmen, dan seruan aksi jaringan ekstremis teroris. Pandemi yang membawa tekanan ekonomi dan psikologis ini tentu berdampak pada kerentanan masyarakat termasuk juga individu.
Ahli terorisme Arie Kruglanski membagi tahap menuju terorisme dalam tiga bagian, pertama ialah analisis mikro pada individu yang terpengaruh oleh gejolak dalam diri termasuk kemarahan dan hasrat mencari signifikansi makna diri, kemudian pada tahap meso terdapat narasi dan dukungan lingkungan yang kini tersedia dengan narasi reaksi kemarahan pada pernyataan menteri Fachrul Razi, kemudian pada tahapan selanjutnya individu dihadapkan pada tawaran aksi oleh jaringan ekstremis teroris sebagai titik kulminasi. Dari hati, pikiran, bertransformasi menjadi aksi.
Menteri Fachrul Razi seakan memberi umpan bebas yang bisa mudah ditangkap oleh siapapun pemain, dimanfaatkan kelompok ekstremis hingga dipolitisasi. Dalam deklarasi kelompok Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) misalnya, mantan panglima Gatot Nurmantyo menyerukan kemarahannya pada pernyataan menteri Fachrul Razi, Gatot bahkan menyebut “Jadi kalau pemerintah mau menangkap, tangkap dulu saya. Sayalah yang makar, kalau itu makar” sebagaimana dilansir oleh media.
Sikap semacam ini patut kita sayangkan, diksi makar yang disebutkan Gatot Nurmantyo terlampau berlebihan. Demikian pula ketika ia menyebut pernyataan Fachrul Razi adalah representasi sikap pemerintah, memosisikan masyarakat vis a vis pemerintah adalah pernyataan yang tidak bijaksana. Selain politisi dan panggung politiknya, tetaplah narasi Fachrul Razi dan dampaknya adalah pokok persoalan, tak ada asap tanpa api.
Alih-alih menjawab pertanyaan pencegahan ekstremisme kekerasan di kalangan ASN, pernyataan yang sampai pada layar warga net itu barang kali justru mengarah pada sebaliknya. Maksud baik mesti disampaikan dengan cara dan saluran yang baik pula.
Mencegah intoleransi dan ekstremisme di kalangan ASN itu tentu tugas penting, namun kita mesti bersepakat bahwa kini yang terpenting adalah menjaga kohesi sosial bangsa. Andaikan informasi sensitif dibahas dalam kalangan terbatas dan melahirkan sebuah kebijakan soft approach tepat sasaran maka barang kali hasil akhirnya akan lebih “good looking”.
Barang kali jenderal perlu meninjau kembali ilmu strategi, agar kebijakannya strategis dan tidak kontra produktif. Kita sedang dalam kondisi pandemi, jenderal.