Rabu, Oktober 16, 2024

Persetan dengan Sekolah ala Ivan Ilich

Musthafa Muhammad Drehem
Musthafa Muhammad Drehem
Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Ada apa dengan sekolah dianggap dan diyakini sebagai sarana satu-satunya dalam mencari ilmu pengetahuan? Mengapa sekolah yang jumlahnya sedemikian menjamur dianggap sebagai jalan hidup bagi manusia modern?

Mengapa mereka yang tidak sekolah berarti mereka terbelakang? Benar bahwa pendidikan merupakan upaya mulia dalam rangka memupus kebodohan dan memanusiakan manusia. Benar pula Imanuel Kant ketika menyebut, manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan.

Atas nama pembangunan dan perkembangan anak didik, benarkan sekolah merupakan wahana tunggal? Bukankah sekolah telah bergeser dari nilai-nilai keluhurannya tatkala ia menjadi ruang komoditi, pengetahuan dikemas-kemas dan dijajakan? Bukankah sekolah telah jadi tempat dehumanisasi—proses penurunan martabat manusia? Itu di antara kritik radikal Ivan Illich (1926-2002) yang meyakini tujuan pendidikan secara ontologis telah menjauh dari harapan.

Beberapa puluh tahun lalu, dunia pendidikan pernah digemparkan dengan kehadiran seorang pemikir pendidikan revolusioner yang pikiran-pikirannya dipenuhi dengan gagasan-gagasan meletup-letup lagi mencengangkan.

Dialah Ivan Illich, seorang pemikir besar kelahiran Wina tahun 1926, yang mempunyai latar belakang pendidikan teologi dan kemudian menjadi seorang rohaniawan Katolik penuh kontroversi. Pikiran-pikirannya dapat ditelusuri melalui beberapa karya yang telah ditulisnya.

Penelusuran terhadap karya-karyanya ini menjadi demikian penting bagi generasi-generasi sepeninggalnya untuk secara arif menyikapi serta mengkritisi setiap gagasan yang dicetuskannya. Penulis menganggap proses kreatif ini, dengan menyelami serta mengkritisi, akan menemukan signifikansinya ketika dipahami dalam kerangka historis pada waktu pemikiran Illich lahir dan kemudian dikontekstualisasikan dalam masa sekarang.

Pemikiran yang akan disoroti dalam tulisan ini, adalah pemikiran pendidikan Ivan Illich dalam buku kontroversialnya yang berjudul “Deschooling Society”. Tentu saja penulis tidak akan terlalu jauh membahas setiap detil gagasan Illich, disebabkan luasnya gagasan-gagasan yang telah ia tuangkan dalam buku tersebut.

Buku yang ditulis Illich dalam rangka mengkritisi praktek kemapanan pendidikan yang selama beberapa tahun diselenggarakan oleh sekolah ini, dianggap sangat berbahaya oleh beberapa pihak.

Ia dianggap telah menyadarkan masyarakat akan urgensi peninjauan ulang beberapa konsep yang selama ini dianggap mapan oleh sebagian besar masyarakat. Ivan Illich memang berbeda dengan beberapa pemikir pendidikan lainnya seperti Paulo Freire.

Ivan dianggap bukan sebagai pemikir yang memiliki massa (baca: pengikut) seperti layaknya Freire. Pemikiran-pemikiran Freire diikuti oleh banyak orang dikarenakan mempunyai target yang jelas, yaitu kaum tertindas (proletar dalam bahasa Marx) yang termarjinalkan oleh praktek pendidikan yang memang tidak adil lagi sangat menindas. Namun pemikiran Illich tetap penting dan, tentu saja, tetap menarik untuk dikaji.

Ivan sulit memaafkan menyaksikan guru menjadi subyek aktif, dan anak didik adalah obyek pasif yang penurut. Ivan tak sudi melihat pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberikan informasi yang harus ditelan, serta wajib diingat dan dihafalkan.

Profesor tamu di Gottingen dan Berlin, Jerman, pada 1981 dan di akhir tahun 1982 pengajar di Berkeley, California, Amerika Serikat, memang revolusioner. Dilahirkan di Wina pada tahun 1926, dia tokoh pendidikan yang sangat kontroversial dengan ide-ide pembebasannya tentang persekolahan, sehingga dikelompokkan sebagai pemikir “humanis radikal”.

Menurut Illich sistem pendidikan yang baik dan membebaskan harus mempunyai tiga tujuan, yaitu: Satu, pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat. Kedua, pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya. Ketiga, menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.

Upaya membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan, mau tidak mau, akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang ini. Bangunan pendidikan demokratis yang ditawarkannya: Demokrasi dalam memperoleh pendidikan; Demokrasi dalam sistem pembelajaran; dan Demokrasi dalam pengembangan kurikulum.

Kasus Indonesia yang mungkin bisa dianggap relevan dengan kritikan Illich adalah permasalahan yang saat ini masih digodok oleh decision maker yang berkenaan dengan sertifikasi guru.

Dunia pendidikan Indonesia merupakan dunia problematis lagi kompleks. Sebagaimana pernah dilaporkan dalam salah satu TV swasta bahwa guru yang telah benar-benar memenuhi sertifikasi yang ditetapkan pemerintah hanyalah sekitar 31% (data per Desember 2006). Dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa men”sertifikasi’kan seluruh guru di negeri ini.

Memang realita yang ada di Indonesia berbeda dengan realita yang dihadapi Illich pada waktu itu. Tesis Illich telah sampai pada kesimpulan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan telah menyebabkan langkanya ketrampilan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Illich “….Skill teachers are made scarce by the belief in the value of licenses. Certification constitutes a form of market manipulation and is plausible only to a schooled mind. Most teachers of arts and trades are less skillful, less inventive, and less communicative than the best craftsmen and tradesmen….”

Ada permasalahan lain yang pada waktu itu belum sempat muncul. Penggalakan sertifikasi di Indonesia, disamping membuat diskriminasi, disinyalir juga akan memunculkan praktek jual beli gelar yang ilegal, program kuliah jarak jauh yang mempersingkat waktu untuk mendapatkan gelar, serta program kuliah yang berangkat dari logika semakin banyak uang semakin singkat waktu kuliah yang bisa ditempuh.

Sungguh sangat ironis melihat kenyataan seperti itu. Pendidikan telah benar-benar direduksi dari makna mulia yang sebenarnya. Maka jangan salahkan kalau kemudian lulusan yang dihasilkanpun tidak mempunyai ruh pedagogis yang seharusnya dimiliki. Pendidikan kemudian kehilangan elanvitalnya.

Dunia pendidikan Indonesia bak lingkaran setan. Sementara pemerintah meminta semua guru harus bersertifikasi dengan terlebih dahulu harus mengenyam pendidikan tinggi, masyarakatpun mengeluh dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi.

Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan tinggi “pemasok” guru bersertifikat (lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai jurusan keguruan), seringkali juga dikritik karena ketidakmampuannya menyiapkan lulusan yang berkualifikasi dan kompeten di bidangnya. Lembaga pendidikan tinggi ini dituding melahirkan lulusan yang setengah-setengah, bahkan tidak pantas menjadi seorang guru. Lulusan bersertfikatpun ternyata juga belum tentu memiliki kompetensi. Dan hal inilah yang perlu untuk segera dibenahi. Lalu sebenarnya quo vadis pendidikan Indonesia?

Musthafa Muhammad Drehem
Musthafa Muhammad Drehem
Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.