Jumat, April 19, 2024

Persembahan Dharma Kapitalisme

I Dewa Made Agung Kertha Nugraha
I Dewa Made Agung Kertha Nugraha
• Entrepreneur • Parttime Lecturer at Indonesia Banking School • MSc in Economics from Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne • MBA in Business Strategy from ENSTA ParisTech •

Citra dan reputasi Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia mencatat perkembangan yang menggembirakan. Headline media cetak maupun elektronik ramai oleh pembahasan mengenai bakti sosial yang dilakukan oleh perusahaan, bahkan kerap menyebut istilah CSR.

Beberapa perusahaan tak segan membayar sebagaian iklan agar kegiatan sosialnya tampil penuh hingga satu halaman penuh di surat kabar cetak maupun elektronik. Secara kausal, ini menjadi indikator penting bahwa pertimbangan-pertimbangan sosial sudah berdampingan dengan kegiatan bisnis. Artinya bahwa CSR memiliki hubungan intergral dalam penentuan strategi bisnis.

Tahun 2005, tercatat sebagai tahun dimana CSR telah mencapai momentum di Indonesia dengan diadakannya CSR Award. Perkembangan yang paling mutakhir tentang CSR di Indonesia adalah masuknya kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam Pasal 74 ayat 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Definisi CSR sangat menentukan pendekatan audit program CSR. Sayangnya, belum ada definisi CSR yang secara universal diterima oleh berbagai lembaga. Dan juga terlalu banyaknya efinisi CSR yang ada di dunia. Terlepas dari pergulatan panjang mengenai definisi dan konsep CSR, mari kita tinjau konsep CSR secara etimologi sederhana. CSR berarti ‘Tanggung Jawab Sosial Perusahaan’, artinya bahwa setiap perusahaan baik perusahaan yang memiliki motif profit maupun sosial harus melakukan tanggung jawab atas dampak yang diakibatkan dari kegiatan perusahaan tersebut.

Dan tanggung jawab di sini lebih cenderung diartikan sebagai bentuk tindakan dalam menanggulangi dampak negatif yang timbul dari perusahaan tersebut. Singkatnya adalah bentuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan haruslah berkaitan erat dengan kerusakan yang dilakukannya, perusahaan pun tetap diperbolehkan melakukan kegiatan CSR selain dari dampak negatif yang diakibatkannya, dengan catatan motif utama dan bentuk kegiatan CSR nya harus mengacu pada dampak negatif tersebut.

Berangkat dari pembahasan singkat mengenai CSR di atas, nyatanya masih banyak perusahaan-perushaan yang melakukan kegiatan CSRnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan dampak negatif yang diakibatkannya, khususnya untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki dampak krusial terhadap lingkungan dan mahluk hidup.  Menurut Jalal, seorang aktivis dari Lingkar Studi CSR, Tercatat dari ribuan perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia hanya sekitar 10 perusahaan yang secara serius dan berkelanjutan menjalankan program CSR, ungkapnya  seusai diskusi CSR di JCC, Senayan, Jakarta, Sabtu 2012

Studi kasus

Di Pulau Bali sebagai contoh, dimana industri pariwisata berkembang sangat pesat dengan pembangunan infrastruktur secara masif tidak terkendali. Pembangunan resort, hotel, villa, sarana rekreasi dan perkantoran yang kian marak terjadi dimana-mana dan tidak merata. Pembangunan tempat-tempat tersebut memang memiliki dampak positif, dalam bidang ekonomi khususnya. Data produk domestik regional bruto Provinsi Bali menunjukkan bahwa dari tahun 2010-2015, hampir 30% ekonomi Bali dibentuk oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan pariwisata hingga kini masih menjadi motor penggerak ekonomi Bali.

Namun juga tidak dapat dipungkiri memiliki dampak negatif bagi alam lingkungan, apalagi yang tidak merujuk pada aspek AMDAL. Selama ini memang industri pariwisata memiliki kesan sebagai industri yang tidak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, khususnya dalam mengekspolitasi sumber daya alam di tempat mereka megoperasikan kegiatan bisnisnya.

Pernahkah kita sadari bahwa hotel menggunakan air di dalam menjalankan bisnisnya. Walaupun air hanya digunakan sebagai pelengkap pelayanan untuk para tamu yang menginap. Namun jenis bisnis ini yang memerlukan pasokan air bersih dalam yang tidak sedikit dan memiliki berdampak pada pergeseran fungsi lingkungan hidup, misalnya alih fungsi hutan atau lahan produktif untuk hotel atau villa dan pasokan sumber daya alam bagi masyarakat lokal.

Sebagaimana disampaikan juga oleh Agung Wardana dari WALHI Bali misalnya dalam karyanya “Bali yang Rapuh”, hotel yang memiliki kolam renang dan lapangan golf di Bali memerlukan sedikitnya tiga juta liter air per hari sedangkan sebuah keluarga dalam satu rumah di Bali hanya memerlukan sedikitnya 200 liter air per hari, dan kamar hotel membutuhkan 2000 liter per hari per kamar. Dan kamar hotel membutuhkan 2000 liter per hari per kamar.

Ditambah lagi pengembangan pariwisata mewah di Bali telah memaksa para petani untuk menjual tanah mereka hingga tingkat konversi lahan mencapai 1000 hektar per tahun dan mengakibatkan kenaikan pajak yang cukup tinggi. Lahan pertanian produktif dikonversi ke tujuan non-pertanian termasuk hotel dan lapangan golf setiap tahunnya. Menurut laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup, sejak tahun 1995 Bali telah mengalami defisit air sebanyak 1,5 milyar m3 per tahun. Defisit tersebut terus meningkat di tahun 2000 hingga 7,5 milyar m3 per tahun.

Mengetahui betapa krusial dan sensitifnya industri pariwisata, baik dari dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan bisnisnya, maka sebagai gagasan bahwa Pemerintah Provinsi Bali harus melakukan pembangunan dan pengawasan memadai yang berimbang terhadap sektor pariwisata dan sektor lainnya, terutama dalam menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan. Dalam hal ini CSR merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan. Sebagai sebuah gagasan, CSR percaya bahwa perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines, yakni dimaknai bahwa selain berpijak pada kondisi finansial, perusahaan juga berpijak pada aspek sosial dan lingkungan.

Implementasi CST

Mengacu pada pembahasan awal tinjauan sederhana CSR secara etimologis, maka bentuk-bentuk CSR yang dilakukan hendaknya berkaitan erat dengan eksternalitas negatif yang ditimbulkan kegiatan bisnis perusahaan tersebut. Pengelola CSR tidak boleh yayasan yang dibentuk oleh perusahaan yang bersangkutan, untuk menghindari perputaran uang yang terjadi tetap pada perusahaan itu saja.

Selain itu juga agenda dan regulasi program CSR tidak semata-mata ditentukan oleh perusahaan sepenuhnya, melainkan terdapat pihak regulator dalam hal ini pemerintah sebagai pengawas dan perwakilan masyarakat setempat sebagai stakeholder penerima manfaat CSR tersebut. Bila rangkaian ini dapat dijalankan dengan konsisten, maka manfaat CSR yang dihasilkan akan sangat efektif dan berkesinambungan.

Rangakaian implementasi gagasan CSR tersebut itu juga dapat mencegah upaya penanggulanngan dan manajemen dampak negatif perusahaan yang diamanatkan “membungkus” kegiatan CSR dengan kegiatan derma yang bermotif profit demi kepentingan perusahaan semata. Oleh karena itu sudah saatnya tidak hanya pemerintah yang berperan aktif dalam meregulasi dan mengawasi, namun juga mari masyarakat ikut turut serta aktif dan kritis dalam memantau kegiatan CSR yang terdapat di lingkungan sekitar.

I Dewa Made Agung Kertha Nugraha
I Dewa Made Agung Kertha Nugraha
• Entrepreneur • Parttime Lecturer at Indonesia Banking School • MSc in Economics from Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne • MBA in Business Strategy from ENSTA ParisTech •
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.