Pak Prabowo terekam video sedang terlihat kesal dengan wartawan. “Dari tivi mana loe?” kata Pak Prabowo. Hal itu disebabkan kekesalannya kepada media yang tidak meliput reuni 212 yang konon katanya dihadiri puluhan juta orang.
Di medsos, video itu viral, dan banyak akun yang memberikan komentar cibiran atas sikap capres nomor urut 02 itu. Ya tentu saja, muncul pertanyaan-pertanyaan kenapa Pak Prabowo seperti itu kepada wartawan. Apa salah media?
Media berhak meliput atau tidak sebuah fenomena yang terjadi. Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 28 F), amandemen kedua, bahwa “setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencar, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.
Dari pasal tersebut dapat dipahami, bahwa suatu hak tidak harus dilaksanakan atau ditunaikan. Boleh-boleh saja media penyiaran tidak meliput reuni 212, atau meliput dengan memberi kritikan sekalipun. Lalu apakah masuk nalar jika Pak Prabowo marah kepada sebagian media yang tidak menggunakan haknya?
Lalu apa relasi antara tiga hal berupa, figur Prabowo, Reuni 212, dan Pers dengan kekesalan yang tampak dari Pak Prabowo? Apa mungkin ada hasrat dari Pak Prabowo yang tidak kesampaian, sehingga dia kecewa dan kesal dengan media (wartawan)? Yang bisa menjawabnya hanya pribadi yang bersangkutan.
Media penyiaran hari ini, kita tahu, juga banyak direbut pekerjaannya (haknya) oleh media sosial. Pekerjaan wartawan dalam mengolah dan menyampaikan informasi semakin hari banyak dijabani oleh nitizen dan facebookers. Baru saja media mengolah berita, nitizen sudah ramai-ramai meberikan komentar.
Oleh sebab itu mungkin klasifikasi berita yang dicari oleh media dinaikkan levelnya. Reuni 212 mungkin menurut media adalah hal yang biasa dan remeh temeh. Bukan sebuah ajang seperti memecahkan rekor yang menakjubkan, sehingga banyak media penyiaran tidak memusatkan perhatian pada acara itu.
Maka andai saja Reuni 212 yang telah lalu diisi juga dengan acara yang fenomenal, mungkin hal itu dapat menarik minat berbagai media. Bisa diisi dengan memecahkan rekor “Reuni dengan Hadirin Berseragam Putih Terbanyak di Indonesia”.
Mungkin perlu, untuk reuni yang akan datang, mendaftarkan pemecahan rekor ke MURI, agar media ramai meliput. Tapi apakah ada relevansinya dengan semangat perjuangan bela agama yang selama ini menjadi dasar spirit acara 212? Tentu ada, karena 212 adalah gerakan di bawah naungan demokrasi. Terlebih di zaman keterbukaan informasi saat ini, visualisasi akan menambah daya dorong sebuah ide dan wacana.
Ada hal lain yang mungkin mendorong adanya ketidaktertarikan media dan jurnalis untuk meliput, ialah ketidakjelasan dalam acara Reuni 212. Apakah itu acara reuni biasa atau kampanye (karena ada capres hadir). Pada titik ini mungkin media kebingungan hingga akhirnya tidak tertarik dengan Reuni 212. Karena acaranya memang tidak jelas. Andai saja dari awal jelas bahwa acara itu adalah deklarasi dukungan untuk Pak Prabowo, mungkin Pers berfikir lain, karena di tahun politik acara kampanye penting diberitakan.
Pada dimensi lain, bahwa Reuni 212 terindikasi sebagai gerakan politik berbaju agama. Tidak sedikit yang mengatakan itu, baik pemuka agama atau akademisi. Gerakan seperti itu disinyalir tidak akan membawa dampak positif untuk perkembangan pribadi dan lingkungan sosial. Lalu untuk apa diliput media?
Sesuai pasal kebebasan pers di atas, informasi yang berhak diperoleh media adalah yang dapat mengembangkan kecerdasan masyarakat. Reuni 212 dalam hal ini kurang memadai untuk dikatakan sebagai gerakan yang mendidik masyarakat, karena absurditas yang ada padanya. Hal inilah barangkali yang jadi alasan utama Pers untuk tidak meliput Reuni 212 yang baru berlalu.
Di dalam ajaran Islam sendiri, absurditas sering diistilahkan dengan “syubhat”, sesuatu yang tidak jelas positif atau negatifnya. Oleh sebab itu Islam mendorong agar yang seperti itu dijauhi dan ditinggalkan (HR. Bukhori nomor 2051).
Pun karena ketika yang positif bercampur dangan negatif maka secara prinsip syariat (al-Qawaid al-Fiqhiyyah) yang negatif dianggap menang, sehingga konklusinya adalah setiap perkara yang tidak jelas positif atau negatifnya merupakan sesuatu yang beresiko yang harus dihindari.
Sepertinya sulit sekali menemukan relasi antara figur Prabowo, Reuni 212, Pers terkait dengan kegeraman yang ditampilkan Capres nomor urut 02 itu. Ini juga hal yang tidak jelas (masih syubhat).
Yang bisa diurai hanyalah dua poin. Pertama, bahwa media penyiaran tidak bisa disalah-salahkan oleh siapapun terkait tidak banyak diliputnya Reuni 212. Karena meliput atau tidak adalah hak masing-masing jurnalis atau Pers.
Kedua, Reuni 212 yang katanya merupakan ajang silaturrahmi adalah merupakan rangkaian (jilid baru) dari aksi-aksi bela Islam sebelumya. Tak lebih dari itu. Maka kehadiran Prabowo di Reuni 212 beberapa waktu lalu harus dijelaskan ke publik apakah diundang sebagai Capres atau tokoh masyarakat saja.
Untuk kemarahan Prabowo kepada media dan jurnalis yang terekam video dan viral itu masih dalam status “syubhat” dan sebaiknya menunggu Pak Prabowo konferensi pers, menjelaskan “kenapa sih beliau geram dengan media?”.
Jika yang bersangkutan tak kunjung memberi penjelasan. Maka jangan salahkan nitizen yang (merasa) maha benar dengan segala komentarnya. Jangan salahkan Pers dengan segenap potensi informasi yang mereka olah dan sebar terkait sikap Capres kepada Pers yang tidak jelas.
Gambar diperoleh dari Kumparan.com