Senin, April 29, 2024

Pernikahan, Masih Menjadi Dilema Bagi Perempuan Muda

Isma Saqila
Isma Saqila
Alumni mahasiswi yang sering resah dan overthingking akan masa depan.

Tahun-tahun belakangan, nikah muda sangat digandrungi oleh kalangan muda. Bahkan jadi tren yang sering seliweran di media sosial. Padahal usia mereka masih terbilang sangat muda, berkisar dua puluhan, tetapi lebih berani mendaftarkan diri menikah ke Kantor Urusan Agama (KUA) dibanding mereka yang sudah matang secara usia, mental, dan finansial.

Hal tersebut memicu teman-temannya saling berlomba untuk bisa mengikuti jejak menikah dini dengan orang yang dicintainya. Pernah dengar kasus ada seorang perempuan tak segan meninggalkan laki-laki yang selama ini menjadi pacarnya dan lebih memilih laki-laki yang baru bertemu, demi menikah muda? Ini mungkin salah satu dampaknya.

Mereka rela merogoh biaya yang tidak sesuai finansial dan menyebar undangan ke seluruh kalangan, mulai dari keluarga, teman, serta tetangganya. Biasanya undangan dipercantik dengan quotes manis harapan dan doa untuk kedua calon pasangan, sebagai bentuk pedoman murni keputusan mereka menikah. Misalnya seperti penggalan Surat An-Nisa ayat 32.

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Seperti itulah kira-kira bunyinya, dengan bangganya juga dilantunkan ketika prosesi pernikahan berlangsung.

Kenapa Orang Tua Sering Mendorong Anak Perempuannya Menikah Cepat?

“Sunnah Rasul”, begitu kata para orang tua yang selalu mendesak anaknya, pun mencerca beribu pertanyaan yang menuntut beribu jawaban terkait pernikahan. Mereka seolah-olah menjunjung tinggi pernikahan sebagai taraf kebahagiaan yang harus segera dicapai.

Khususnya masyarakat muslim yang selalu  berkata bahwa pernikahan adalah Sunnah dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.

Sebenarnya, bukan masalah sunnah atau tidaknya, tetapi apakah benar harus cepat—cepat melakukannya? Ibarat kereta yang telah habis waktu istirahat di stasiun dan akan segera berangkat, sehingga menuntut para penumpangnya agar tidak ketinggalan.

Semua anak perempuan yang telah dianggap matang oleh orang tuanya pasti mengalami hal ini. Mereka akan terus dijejali segala macam nasehat dan masukan tentang pernikahan secara berkala, meski sebenarnya mereka sudah bosan hingga hafal diluar kepala. Tidak terlepas didalamnya sebuah standar umur ideal ketika menikah.

Mengapa orang tua dan masyarakat selalu menuntut anak perempuannya untuk segera menikah? Seakan khawatir akan sengsara dunia akhirat jika tidak melakukannya.

Padahal orang tua tahu sendiri bahwa pernikahan itu bukan hanya tentang seks. Jelas sekali pernikahan itu butuh banyak persiapan dan proses, butuh biaya yang tidak sedikit. Tidak ujug-ujug ketemu laki-laki terus langsung oke mari kita menikah.

Pernikahan Menjadi Taraf Kebahagiaan?

Banyak orang yang mengatakan dua puluh lima tahun adalah umur ideal bagi seseorang untuk menikah, dibawah itu terlalu muda, dan diatas itu dianggap sudah terlambat. Tidak jelas darimana sumbernya, yang pasti tiap orang itu memiliki persepsi yang berbeda tergantung faktor yang memengaruhinya.

Tetapi, mengapa masyarakat sering menganggap atau menganalogikan pernikahan menjadi simbol solusi kebahagiaan? Sungguh sangat subjektif jika melihat kenyataannya bahwa kebahagiaan itu bukan hanya tentang pernikahan.

Pernikahan disimbolkan sebagai ikatan suci antara perempuan dan laki-laki dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Ketika pernikahan sudah menjadi norma sosial di masyarakat, maka semua orang khususnya perempuan yang belum menikah seringkali mendapat stigma sosial.

Mereka akan dianggap terlalu egois, pemilih, atau memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Maka, stigma tersebut yang akan membuat kaum perempuan lebih memberontak dan melarikan diri ke lingkungan yang aman jauh dari stigma tersebut.

Jika dilihat dari segi kesehatan, nikah muda bahkan memiliki banyak resiko yang patut dipertimbangkan, seperti dikutip dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) resiko-resiko tersebut diantaranya; gangguan psikologis (terganggunya kesehatan mental), komplikasi kehamilan, masalah ekonomi, kekerasan rumah tangga, perceraian, dan mungkin masih banyak resiko lainnya.

Menurut Perempuan Modern

Logikanya jika menikah adalah sunnah, maka bukankah kita berhak memilih untuk tidak menikah? Begitu bukan? Karena bukan wajib kan. Pun hukum dasar pernikahan dalam islam adalah mubah (boleh) yang dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, sampai haram, tergantung berdasarkan tujuan dan konteksnya.

Yah, tidak semudah itu mengatakan hal yang sensitif kepada semua orang yang “konservatif”.

Dalam perspektif perempuan modern, pernikahan dimaknai sebagai hak kebebasan individu. Pernikahan menjadi sebuah kontrak sosial yang mengharuskan ada kesepakatan antara kedua belah pihak, tanpa ada campur tangan pihak lain. Pernikahan adalah sebuah pilihan rasional, personal dan tidak ditentukan oleh masyarakat.

Dari beberapa penelitian mengatakan pernikahan bagi perempuan yang bekerja atau lajang sebenarnya masih diinginkan, hanya saja banyak sekali pertimbangan yang harus dipikirkan  sebelum memutuskan untuk menikah, seperti kesiapan mental dan finansial.

Pernikahan harusnya tidak hanya dipandang dari segi kebutuhan kultural, namun secara sosial maupun ekonomis. Mereka melihat semakin maju tingkat pendidikan serta peluang kerja ekonomis untuk perempuan, membuat kehidupan manusia mengalami perubahan.

Sehingga, semakin tinggi fenomena perempuan berkarir akan menjadikan pernikahan sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan khususnya bagi perempuan.

Untuk Para Perempuan : Be The Best Version Of Yourself

Menurut Dilla, seorang perempuan karier pernah mengatakan, perspektif orang-orang yang selalu mempermasalahkan terpilih atau belum seorang perempuan atas laki-laki dalam sebuah ikatan pernikahan, sejatinya mereduksi nilai seorang perempuan itu sendiri. Dan hal Itulah yang membuat perempuan lebih seperti “barang” yang bisa dipilih-pilih.

Dilla mempertanyakan mengapa perempuan tidak bisa bekerja setelah lulus kuliah. Mengapa perempuan harus menggantungkan pendapatan dari nafkah suaminya. Mengapa perempuan tidak bisa bebas bergerak. Serta kekhawatiran lainnya misalnya beban atas memilih memiliki anak atau tidak yang biasanya dikontrol oleh suami dan keluarga.

Coba refleksikan lagi, menikah atau tidak, bersuami atau tidak, memiliki anak atau tidak, sejatinya kebahagiaan itu tidak bergantung pada orang lain. Kebahagiaan tidak dicari, melainkan dibuat oleh diri kita sendiri.

Daripada semua itu, bukankah lebih mandiri dan bisa bertanggung jawab atas diri sendiri, bisa melakukan semua hal yang ingin dilakukan, jauh lebih berarti dibanding memikirkan pola pikir “laku-tidak laku” dari mayoritas orang.

Bukankah kondisi dunia telah berbeda dengan yang lalu. Banyak perempuan diluar sana yang lebih mandiri. Yang terpenting sekarang adalah terus belajar mengasah kemampuan dan keterampilan menjadi versi terbaik menurut diri sendiri. Be the best version of yourself. So, What’s wrong with being single?

Isma Saqila
Isma Saqila
Alumni mahasiswi yang sering resah dan overthingking akan masa depan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.