Jumat, Maret 29, 2024

Pernikahan dan Perempuan

Janika Irawan
Janika Irawan
Suka kopi, suka sastra, dan hal-hal lain

Saat umur saya diatas dua puluh tahun, maka saya harus siap dengan pertanyaan, kapan menikah. Ketika saya lulus kuliah maka saya harus siap dengan pertanyan yang sama. Dan ketika saya asik bekerja saya harus siap. Dan ketika saya pulang kampung, pertanyaan yang sama sangat mudah terucap. Dan cara paling tepat menjawabnya semacam itu hanya satu, dan jawaban itu sering saya gunakan: menikah itu perkara waktu. Bisa lebih cepat, bisa sebaliknya.

Hanya saja untuk mengucapkan “perkara waktu” itu sangat sulit, dan bahkan tidak bisa keluar suara dari mulut. Tapi siapapun mengerti akan ucapan tanpa suara itu. Beriringan dengan pertanyaan itu, saya membuat pertanyaan dalam kepala: kemana segala hal yang bisa di bicarakan, bukankah tidak hanya soal menikah, banyak hal lain yang bahkan lebih penting?

Dan yang paling tragis dari pernikahan adalah, jika tidak paham dengan etika moral, maka pasti ada yang di rugikan.

***

Seorang perempuan menyinggung soal pernikahan pada saya. Sebagai lelaki yang menganggap perempuan setara (egaliter), karena cara ia menyinggung “kasihan calon jodohmu”, sebab juga ia perempuan, maka saya sangat terpukul.

Jodoh tidak ada yang tahu dan kalimat pendek “kasihan jodohmu” adalah harapan yang terlalu hampa. Jodoh adalah perkara kecocokan, dan kecocokan harus dibangun. Untuk membangun kecocokan butuh waktu, tidak bisa begitu saja di percepat dengan cara di cocok-cocokan atau di perlambatan sekalipun. Kalau sudah ketemu silakan lanjutkan…

Bagi saya perempuan kuat, bahkan lebih kuat dari siapapun.

Sedang kasihan yang ia maksud adalah perempuan yang menunggu. Menunggu di pinangan. Mungkin berlebihan tapi inilah yang ia maksud. Ia menganggap pernikahan harus di segerahkan, tanpa menghitung dan mempertimbangkan mengenai banyak hal yang harus disiapkan sebelumya: mental, pinansial, dan etika moral.

Siapapun yang siap menikah tidak hanya siap menanggung biaya hidup, mempunyai keturunan dan membesarkannya. Mencari uang, dan setelah mendapatkannya segala hal terselesaikan. Bukankah apa-apa butuh uang? Kata orang kebanyakan.

Tidak, menikah bukan soal uang dan dengan itu hidup terselamatkan. Ada kesiapan mental, keyakinan dalam diri bahwa saya sudah siap menikah dan siap menanggung segala resikonya. Maka dengan itu, kasus ketidakcocokan, lalu bertengkar dan bercerai tidak terjadi. Tapi untuk berhasil menyelamatkan pernikahan dari hal-hal yang tidak dewas: gampang terbawa perasaan dan sebagainya, adalah etika moral.

Etika moral bukan hanya soal melakukan yang baik dan terus percaya diri dengan itu lalu pernikahan terselamatkan. Lantas bagaimana dengan persamaan hak? Baik laki-laki maupun perempuan. Siapkah keduanya saling percaya satu sama lain, dan siapkah laki-laki membebaskan istri dan sang istri merasa merdeka melakukan apapun?

Jika etika moral hanya soal baik dan buruk, hanya mengikut kultur bahwa suami menafkahi dan istri di nafkahi (laki-laki seolah mempunyai kekuatan lebih), dan yang paling buruk dari kultur ini adalah pengekangan terhadap perempuan. Perempuan hanya di bolehkan melakukan hal domestik, dan segala hal yang dilakukan di rumah.

***

Karena menikah itu soal kecocokan, dan untuk menemukan kecocokan ada peroses membangun terlebih dahulu, maka menikah bukan persolan kapan (ia sama sekali tidak bisa di tentukan), tapi waktulah yang akan menjawab. Sedikit absurd, tapi begitulah. Silakan percaya dan silakan tidak.

Dan untuk itu, pertanyaan “kapan menikah”, yang sering sekali membanjiri gendang telinga, tidak perlu lagi terucap. Paling tidak dikurangi. Atau ubah dengan cara yang lebih dalam, misal, “umur tidak ada yang tahu, segala hal bisa terjadi, dan jika beberapa hal sudah layak kau lakukan maka lakukanlah. Soal waktu, ya, soal itu, dan ia soal waktu.” Dan tutuplah kalimat itu dengan seruputan kopi atau hisapan rokok.

***

Dan kabar baik datang, perempuan itu menemui “jodohnya”. Bagi saya ini kabar baik, dan sebaik-baik kabar baik, kita harus tetap memberi doa yang terbaik. Dan untuk mengiringi kabar baik itu, bukan hanya soal doa baik, semoga pandangannya yang kurang baik, bahkan kolot, telah sirna. Telah sirna.

Doa terbaik untuk yang baik.Saat umur saya diatas dua puluh tahun, maka saya harus siap dengan pertanyaan, kapan menikah. Ketika saya lulus kuliah maka saya harus siap dengan pertanyan yang sama. Dan ketika saya asik bekerja saya harus siap… Dan ketika saya pulang kampung, pertanyaan yang sama sangat mudah terucap. Dan cara paling tepat menjawabnya semacam itu hanya satu, dan jawaban itu sering saya gunakan: menikah itu perkara waktu. Bisa lebih cepat, bisa sebaliknya.

Hanya saja untuk mengucapkan “perkara waktu” itu sangat sulit, dan bahkan tidak bisa keluar suara dari mulut. Tapi siapapun mengerti akan ucapan tanpa suara itu. Beriringan dengan pertanyaan itu, saya membuat pertanyaan dalam kepala: kemana segala hal yang bisa di bicarakan, bukankah tidak hanya soal menikah, banyak hal lain yang bahkan lebih penting?

Dan yang paling tragis dari pernikahan adalah, jika tidak paham dengan etika moral, maka pasti ada yang di rugikan.

***

Seorang perempuan menyinggung soal pernikahan pada saya. Sebagai lelaki yang menganggap perempuan setara (egaliter), karena cara ia menyinggung “kasihan calon jodohmu”, sebab juga ia perempuan, maka saya sangat terpukul.

Jodoh tidak ada yang tahu dan kalimat pendek “kasihan jodohmu” adalah harapan yang terlalu hampa. Jodoh adalah perkara kecocokan, dan kecocokan harus dibangun. Untuk membangun kecocokan butuh waktu, tidak bisa begitu saja di percepat dengan cara di cocok-cocokan atau di perlambatan sekalipun. Kalau sudah ketemu silakan lanjutkan…

Bagi saya perempuan kuat, bahkan lebih kuat dari siapapun.

Sedang kasihan yang ia maksud adalah perempuan yang menunggu. Menunggu di pinangan. Mungkin berlebihan tapi inilah yang ia maksud. Ia menganggap pernikahan harus di segerahkan, tanpa menghitung dan mempertimbangkan mengenai banyak hal yang harus disiapkan sebelumya: mental, pinansial, dan etika moral.

Siapapun yang siap menikah tidak hanya siap menanggung biaya hidup, mempunyai keturunan dan membesarkannya. Mencari uang, dan setelah mendapatkannya segala hal terselesaikan. Bukankah apa-apa butuh uang? Kata orang kebanyakan.

Tidak, menikah bukan soal uang dan dengan itu hidup terselamatkan. Ada kesiapan mental, keyakinan dalam diri bahwa saya sudah siap menikah dan siap menanggung segala resikonya. Maka dengan itu, kasus ketidakcocokan, lalu bertengkar dan bercerai tidak terjadi. Tapi untuk berhasil menyelamatkan pernikahan dari hal-hal yang tidak dewas: gampang terbawa perasaan dan sebagainya, adalah etika moral.

Etika moral bukan hanya soal melakukan yang baik dan terus percaya diri dengan itu lalu pernikahan terselamatkan. Lantas bagaimana dengan persamaan hak? Baik laki-laki maupun perempuan. Siapkah keduanya saling percaya satu sama lain, dan siapkah laki-laki membebaskan istri dan sang istri merasa merdeka melakukan apapun?

Jika etika moral hanya soal baik dan buruk, hanya mengikut kultur bahwa suami menafkahi dan istri di nafkahi (laki-laki seolah mempunyai kekuatan lebih), dan yang paling buruk dari kultur ini adalah pengekangan terhadap perempuan. Perempuan hanya di bolehkan melakukan hal domestik, dan segala hal yang dilakukan di rumah.

***

Karena menikah itu soal kecocok, dan untuk menemukan kecocokan ada peroses membangun terlebih dahulu, maka menikah bukan persolan kapan (ia sama sekali tidak bisa di tentukan), tapi waktulah yang akan menjawab. Sedikit absurd, tapi begitulah. Silakan percaya dan silakan tidak.

Dan untuk itu, pertanyaan “kapan menikah”, yang sering sekali membanjiri gendang telinga, tidak perlu lagi terucap. Paling tidak dikurangi. Atau ubah dengan cara yang lebih dalam, misal, “umur tidak ada yang tahu, segala hal bisa terjadi, dan jika beberapa hal sudah layak kau lakukan maka lakukanlah. Soal waktu, ya, soal itu, dan ia soal waktu.” Dan tutuplah kalimat itu dengan seruputan kopi atau hisapan rokok.

***

Dan kabar baik datang, perempuan itu menemui “jodohnya”. Bagi saya ini kabar baik, dan sebaik-baik kabar baik, kita harus tetap memberi doa yang terbaik. Dan untuk mengiringi kabar baik itu, bukan hanya soal doa baik, semoga pandangannya yang kurang baik, bahkan kolot, telah sirna. Telah sirna.

Doa terbaik untuk yang baik.

Janika Irawan
Janika Irawan
Suka kopi, suka sastra, dan hal-hal lain
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.