Beberapa tahun yang lalu, penulis pernah mengikuti acara Bakti Sosial di sebuah perkampungan nelayan yang hanya memakan waktu kurang lebih dua jam dari Jakarta. Di acara tersebut tentu saja penulis banyak bercengkrama dengan masyarakat sekitar, termasuk para remaja kampung tersebut.
Percakapan yang selalu diingat penulis bersama tiga remaja setempat adalah bagaimana ‘cita-cita’ mereka yang tidak ingin muluk-muluk, katanya setelah lulus Sekolah Menengah Pertama mereka bisa saja langsung menikah jika sudah ada yang meminang.
Buat apa SMA jika akhirnya pun hanya menjual ikan di pasar, tambah mereka sambil tertawa riang. Mendengar hal tersebut, penulis hanya bisa tersenyum masam, sambil mengepalkan tangan di balik kantung almamaternya saat itu. Adik-adik, ini sungguh tidak lucu!
Hal di atas adalah semacam memori yang masih tertanam dalam ingatan penulis saat menentukan untuk menulis tulisan satu ini. Hingga saat ini, perlu diketahui sejumlah data menunjukan bahwa angka pernikahan anak di Indonesia tercatat masih tinggi.
Berdasarkan data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF), State of The World’s Children tahun 2016, perkawinan anak di Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia. Kemudian ditambah, sebanyak 25.71 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah pertama kali di bawah usia 18 tahun.
“Duh, pernikahan anak gak ada hubungannya sama ekonomi. Itu urusan orangtua sama budaya setempat.” Kalimat-kalimat di atas yang kerap penulis dapatkan dari masyarakat saat mengangkat pernikahan anak.
Tidak ada hubungannya dengan ekonomi? Begini, pada dasarnya, maraknya pernikahan anak dipengaruhi beberapa faktor, yakni faktor sosiokultural, faktor agama, faktor pendidikan, dan tentu saja faktor ekonomi. Bahkan dampak pernikahan anak dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi negara.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi Pernikahan Anak di Indonesia
Faktor agama. Ya, sangat jelas. Di negeri kita yang (katanya) religius ini, apapun dapat dikaitakan dengan agama. Seperti yang telah dilansir di laman CNN, bahwa kelompok agama tertentu beranggapan menikah di usia muda menjadi hal yang wajar. Pernikahan tersebut juga dilakukan untuk menghindari zina.
Anak yang telah beranjak remaja kerap menjalin hubungan dengan lawan jenis. Agar tidak dianggap zina maka sebaiknya segera menikah. Selain itu, hal tersebut bahkan juga dilakukan untuk mengurangi kekhawatiran kehamilan di luar nikah.
Padahal, Indonesia memiliki peraturan hukum yang mengatur mengenai pernikahan. Menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974 usia seseorang untuk menikah minimal 21 tahun.
Namun juga ada dispensasi, jika menikah dengan seijin orang tua anak perempuan boleh menikah ketika berumur di atas 16 tahun dan anak laki-laki di atas 19 tahun. Pernikahan di Indonesia ini juga masih bisa dilakukan tanpa batas usia minimum jika dengan permohonan dispensasi atau pengecualian. Sungguh tidak konsisten.
Selain itu fakta yang disajikan dalam riset The Indonesian Institute bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 26 Januari 1990.
Konsekuensinya adalah Indonesia harus memastikan bahwa sistem hukum nasional tidak memperbolehkan perkawinan di bawah usia 18 tahun. Namun saat ini, kiblat Indonesia masih saja UU Perkawinan No.1 tahun 1974. Jika Indonesia masih saja mempertahankan usia minimal menikah pada angka 16 tahun, maka sama halnya pemerintah mendukung pernikahan anak.
Adanya faktor sosiokultural. Indonesia memiliki beragam budaya yang juga dapat mempengaruhi pernikahan anak. Selain itu adanya anggapan bahwa menjadi perawan tua tidak baik di mata masyarakat, maka ada saja orangtua yang menjodohkan anaknya yang belum cukup umur kerap dijadikan solusi. Budaya perjodohan ini lah yang kerap kali dilakukan oleh para orangtua.
Perjodohan tersebut membuat anak tidak bisa menolak sehingga terjadi pernikahan anak. Beberapa budaya di Indonesia juga melakukan pernikahan anak karena nilai mahar. Tentu saja, nilai mahar yang tinggi membuat banyak orang merasa tergiur dan akhirnya menikahkan anaknya.
Faktor pendidikan. Pada faktanya, orangtua anak yang memiliki pendidikan yang rendah tentu memiliki peluang dan andil yang besar dalam menikahkan anak-anaknya yang belum cukup umur. Kurangnya pengetahuan akan kesehatan organ reproduksi hingga pendidikan seksual ini lah yang dapat menyebabkan pernikahan anak terjadi. Bahkan beberapa orangtua percaya bahwa membicarakan seks itu tabu, dan bagi mereka ini pertanda bahwa anak mereka harus segera dinikahkan. Sungguh ironi.
Faktor ekonomi. Ini lah faktor yang mendominasi mengapa pernikahan anak kerap terjadi. Umumnya, para orangtua yang berpendapatan rendah membuat pernikahan anak kian meningkat. Tentu saja, jika anak mereka menikah, maka biaya untuk menafkahi mereka berkurang. Padahal tidak sesederhana itu.
Data yang diambil dari Plan Internasional menyatakan bahwa estimasi jumlah pernikahan anak yang terjadi sejak tahun 2018 hingga 2030 akan menyebabkan kerugian ekonomi dunia dengan nilai mencapai US$4 triliun! Di Indonesia sendiri, setidaknya, kerugian ekonomi akibat pernikahan anak ini akan mencapai 1 persen di atas nilai GDP Indonesia. Begini bayangannya, di kuartal pertama tahun 2018, GDP Indonesia berada di angka US$262.606 juta, dengan pertumbuhan per kuartal sebesar 1,2 persen.
Lho, kok bisa? Jelas! Bayangkan, sekitar 5 juta anak perempuan Indonesia yang tidak bisa merampungkan sekolah, risiko kematian ibu melahirkan, naiknya angka morbiditas atau kesakitan baik fisik dan psikis, sehingga tentu saja mereka tidak bisa berkontribusi terhadap keluarga, terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap perekonomian negara.
Ini akan menjadi sebuah kehilangan besar bagi Indonesia sendiri. Maka, masih berpikir pernikahan anak tidak berdampak pada perekonomian sebuah negara, hanya urusan orangtua dan budaya setempat? Tolong, pikirkan lagi!
Bukan hanya tugas penting untuk pemerintah, melainkan kita juga harus ambil peran
Pernikahan anak yang kerap terjadi memang lagi-lagi menjadi tugas penting pemerintah. Ini masalah yang harus dihadapi bersama. Mengapa bersama? Karena jika pemerintah saja yang diharapkan, masalah satu ini terus akan menjadi ‘tugas penting’. Kita pun dapat mengambil peran dalam memeranginya.
Mahasiswa dapat memulai terjun langsung misalnya ke masyarakat di mana akses informasi sulit didapatkan. Dimulai dari acara-acara organisasi yang sifatnya sosial atau menjadi relawan, memberikan informasi akan pendidikan kepada para remaja, hingga kepada pengetahuan akan kesehatan reproduksi.
Ibu-ibu hingga bapak-bapak pun dapat memainkan peran dalam memerangi pernikahan anak. Seperti mencari informasi yang mendetail di pos-pos kesehatan terdekat akan bahayanya pernikahan anak, dan menyebarkannya kembali baik dari mulut ke mulut maupun menggunakan media sosial. Atau jika memiliki pendapatan yang lebih dapat menyumbangkannya ke berbagai yayasan atau gerakan yang memang concern dalam isu pernikahan anak ini.
Pada dasarnya, tiap anak memiliki hak akan pendidikan. Pendidikan jugalah yang dapat menentukan masa depan mereka kelak. Jika pendidikan saja masih sulit dirasakan anak-anak Indonesia, maka sampai kapan pernikahan anak akan terus terjadi di Indonesia?