“Panjang sekali.. pertanyaan saya bapak ibu ini semua kan pinter-pinter; apalagi urusan listrik kan sudah bertahun-tahun, apakah tidak dihitung? apakah tidak dikalkulasi bahwa akan ada kejadian-kejadian sehingga kita tahu. Kalau tau-tau drop gitu artinya pekerjaan yang ada tidak dihitung, tidak dikalkulasi, dan itu betul-betul merugikan kita semua.”
Kutipan diatas merupakan respon yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo setelah Sripeni Inten Cahayani, perwakilan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), menjabarkan penyebab dibalik peristiwa padamnya listrik di Jawa Barat dan Jakarta beberapa waktu lalu.
Kekecewaan terbesit dari muka Sang Bapak dikarenakan mati listrik tersebut berhasil melumpuhkan banyak sekali aktivitas. Dari aktivitas rumah tangga sampai aktivitas publik. Dari macetnya aktivitas bisnis sampai kondisi lalu lintas yang awut-awutan.
Masyarakat pun beramai-ramai menyuarakan aspirasinya lewat media sosial dengan salah satu tagar #matilampu. Tak sedikit yang berpendapat bahwa peristiwa tersebut menjadi salah satu bukti bahwa pintu terhadap partisipasi swasta harus dibuka dalam penyediaan listrik di Indonesia. Privatisasi dianggap menjadi cara jitu yang dapat dilakukan untuk menyediakan pelayanan listrik yang lebih baik.
Kajian mengenai partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur publik menjadi sangat menarik, mengingat sektor ini menyangkut hajat hidup orang banyak yang dalam Undang-Undang telah diclaim menjadi tugas negara.
Di lain sisi keterbatasan anggaran dan kondisi-kondisi tak terduga seperti yang terjadi beberapa waktu lalu menjadikan banyak dari kita kembali mengangkat narasi mengenai partisipasi swasta dalam penyediaan listrik. Yang padahal, telah dilakukan oleh negara ini sejak masa Orde Baru.
Partisipasi Swasta di Sektor Kelistrikan di Indonesia
Keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur publik di dunia semakin meningkat selama beberapa dekade terakhir. Pun hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dalam sektor kelistrikan, disparitas ketersediaan listrik antar daerah menjadi permasalahan tersendiri dalam penyediaan listrik di negara ini.
Permasalahan terjadi lantaran kebutuhan listrik terus bertambah tapi tidak dibarengi dengan kondisi finansial yang ada. Hasilnya, secara berangsur-angsur pemerintah terus mengeluarkan regulasi mengenai partisipasi swasta dalam penyediaan listrik di Indonesia.
Sampai hari ini ketenagalistrikan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang no 32 tahun 2009. UU tersebut merupakan versi teranyar Undang-Undang no 15 tahun 1985 yang mengatur soal listrik. Kedua regulasi tersebut pada dasarnya telah membahas mengenai partisipasi swasta yang isinya tidak jauh berbeda.
Perubahannya terletak pada kepemilikan swasta yang mana dalam UU tahun 1985 kepemilikan swasta hanya terbatas pada sektor pembangkit, sedangkan untuk transmisi dan distribusi masih harus dipegang oleh pemerintah melalui PLN (Esta Lestari, 2019).
Dari semenjak diberlakukannya peraturan tersebut telah nampak bahwa peran swasta sudah cukup besar dalam pemenuhan produksi listrik di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat bahwasannya dari tahun 1990-1997an terdapat kurang lebih 25 proyek yang dipegang oleh pihak swasta dan memegang konsesi jangka panjang dalam kurun waktu 25 tahun (Esta Lestari, 2009).
Akan tetapi krisis tahun 1997 kemudian menggoyangkan kondisi sosial, politik, serta ekonomi di Indonesia. Hasilnya, pemerintah harus memutar otak untuk meminimalisir pengeluaran anggaran termasuk didalamnya penyediaan listrik.
Sampai pada akhirnya pada tahun 2002 pemerintah merevisi UU tahun 1985 yang menyatakan bahwa bisnis kelistrikan dibagi menjadi dua, yaitu area kompetitif dan non-kompetitif. Area kompetitif membuka partisipasi swasta untuk retailing listrik dan tarif yang boleh ditentukan oleh pasar atas persetujuan monitoring agency (Esta Lestari, 2009).
Jauh dari harapan, penentuan harga listrik lewat mekanisme pasar justru menjadikan harga listrik tidak dapat dikendalikan dan pemerintah sebagai pihak yang menjadi mekanik dalam penentu harga tidak bisa melakukan banyak intervensi.
Kondisi tersebut pada akhirnya menjadikan pemerintah mengembalikan UU tahun 2002 ke UU tahun 1985 lagi.
Meskipun partisipasi swasta dalam sektor listrik terus mengalami fluktuasi, pada dasarnya peran swasta sangat diperlukan terhadap penyediaan infrastruktur listrik di Indonesia. Sampai pada akhirnya dikeluarkanlah jalan tengah mengenai partisipasi swasta dengan disahkannya UU no. 9 tahun 2009 yang mana partisipasi swasta dapat ditempuh melalui kerangka Public Private Partnership dengan hak milik swasta dan PLN sebagai pembeli utama.
Partisipasi Swasta di Sektor Listrik di Indonesia Kini
Di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode pertama, pemerintah kemudian memiliki fokus yang begitu tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan listrik. Hal tersebut dibuktikan dengan dicanangkannya program 35.000 megawatt dengan komitmen memenuhi kebutuhan listrik sampai pada presentase 100% pada tahun 2019.
Dalam program 35.000 MW tersebut pemerintah berupaya untuk membangun fasilitas listrik sebesar 10.000 MW yang disediakan oleh PLN. Adapun sisanya, 25.000 MW ditawarkan ke pihak swasta (Supancana, 2009). Kondisi tersebut kemudian mengundang banyak sekali perusahaan swasta termasuk asing untuk masuk ke proyek listrik di Indonesia.
Data yang dikeluarkan oleh MarketForce menunjukkan bahwa pembangunan pembangkit listrik di Indonesia mulai dari tahun 2010-2017 mencapai 22 proyek yang mana seluruhnnya merupakan proyek investasi asing. Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut kemudian memberikan banyak manfaat kepada Indonesia diantaranya masuknya tenaga ahli, derasnya aliran kapital, serta yang terpenting pemenuhan produksi listrik.
Meskipun keberadaan swasta begitu memukau, pemerintah tidak lantas menyerahkan persoalan ini ke tangan swasta begitu saja. Telah dikeluarkan mandat bahwa PT PLN merupakan off taker produk listrik swasta dengan penentuan tarif tetap oleh pemerintah atas persetujuan legislatif.
Keputusan pemerintah dalam membatasi peran swasta dan menjadikan PLN sebagai pembeli utama tersebut merupakan keputusan terbaik yang dapat diambil. Disatu sisi partisipasi swasta sangat perlu untuk menutup lobang pemenuhan listrik di Indonesia, disisi lain harga kebutuhan dasar tersebut tetap dapat dikontrol dan disokong oleh pemerintah.
Sumber:
Esta Lestari, 2009 CRITICAL REVIEW ON FUNDING AND GUARANTEE MODEL OF PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP FOR ELECTRICITY, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 24. No. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Supancana, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Sistem Public Private Partnership (PPP) Dalam Proyek Pembangunan Energi Listrik, https://www.bphn.go.id/data/documents/Penerapan%20Sistem%20Public%20Private%20Partners hip%20dlm%20Proyek%20Pemb%20Energi%20Listrik.PDF
MarketForce, https://www.marketforces.org.au/research/indonesia/public-finance-to-indonesiancoal/