Minggu, Oktober 6, 2024

Perlukah Berteologi yang Memuliakan Ekologi dari Ketidak-adilan?

Hendy Setiawan
Hendy Setiawan
Mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Selama ini ekologi selalu dijadikan objek nafsu manusia dengan orientasi profit dan kebutuhan manusia. Praktik-praktik yang eksploitatif, kapitalistik, dan destruktif telah menciptakan tatanan ekologi tidak karuan, dan bahkan semakin runyam.

Ekologi selalu dipinggirkan, dimarginalkan, bahkan seolah olah tidak menjadi prioritas kehidupan manusia. Kondisi tersebut berujung pada rusaknya ekologi, dan kemudian menjadi ancaman dan mala petaka bagi manusia itu sendiri.

Sadar atau tidak bahwa manusia menjadi aktor dominan dalam memberikan andil atas kerusakan ekologi saat ini. Pandangan antroposentrisme yang menmpatkan mansuai sebagai mahkluk di atas mahkluk lainya telah membuat manusia merasa dirinya memiliki kuasa yang lebih dalam mengendalikan alam. Akibatnya berbagai tindakan konsumtif, kapitalistik, dan eksploitatif menjadi jalan yang sangat radikal bagi collapsnya tatanan ekologi yang ada di muka bumi ini.

Jika manusia menjadi dalang atas segala kerusakan ekologi ini tentu sangat akan berbahaya bagi agama mereka yang dianutnya masing-masing. Ketika manusia telah menyandang dirinya untuk berteologi tetapi praktik-praktik terhadap kejahatan ekologi masih terjadi, maka pertanyaan yang membingungkan untuk dijawab ialah, apakah agama itu menjadi dalang dari segala kerusakan ekologi di muka bumi ini?

Jika tidak, maka pertanyaan selanjutnya adalah ada yang salahkan dengan cara kita berteologi, sehingga ekologi selalu mengalami penindasan dan penjarahan akibat manusia? Sejauh mana ini bisa dijelaskan kalau manusia tidak terlibat?

Kerusakan ekologi implikasinya telah kita tuai sebagai hasil apa yang telah kita perbuat. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Indonesia menunjukkan trend merangkak atas kasus bencana yang terjadi. Dari rentang tahun 2000 hingga tahun 2020 jumlah bencana yang terjadi terus mengalami kenaikan yang cukup memperihatinkan.

Tahun 2000 terjadi 63 kasus bencana. Angka itu merangkak naik di tahun 2004 menjadi 775 kasus. Sementara di tahun 2010 jumlah kasus bencana tanah air meningkat menjadi 1947 kasus. Bahkan di tahun 2018 lonjakannya menjadi 3405 kasus.

Sementara di tahun 2020 jumlah kasus kebencanaan menjadi 4650 kasus. Jika dicermati angka tersebut maka perlu menjadi refleksi bahwa tajamnya peningkatan jumlah bencana pasti di saat yang sama ada peran manusia yang menyumbang maraknya segala kerusakan tersebut. Akankah jumlah itu akan kita tambah menjadi lebih banyak lagi? Tentu ini pertanyaan refleksif dan biarkan menjadi renungan kita.

Kesalahan yang terjadi selama ini adalah menempatkan ekologi dan agama dalam dua kutub yang berbeda. Mendiskusikan  ekologi dipastikan hanya terjebak pada ranah-ranah ideologis semata. Sementara membicarakan agama hanya berkutat pada persoalan teologis saja. Akibatnya ekologi dan teologi tidak akan mengalami titik temu keduanya. Ini yang barang kali menjadi problem mengapa manusia kerap tidak memikirkan keadilan ekologi.

Perdebatan agama yang dituduh sebagai dalang terhadap kerusakan ekologi telah berlangsung lama. Hal ini juga diperparah dengan posisi agama yang seolah-olah memang tidak menaruh perhatian khusus bagi kelangsungan hidup ekologi. Mengecilnya peranan agama dalam menyelamatkan kerusakan ekologi inilah sebetulnya yang menjadi perdebatkan bahwa agamalah yang harus tanggungjawab atas segala kerusakan yang terjadi.

Salah satu karya monumental dari Lynn White dengan judul “The Historical Roots of Ours Ecological Crisis” yang diterbitkan tahun 1967 telah memantik perdebatan serius dalam merespon marginalisasi ekologi. Melalui karyanya tersebut White munuduh bahwa agama menjadi dalang dibalik semua kerusakan ekologi yang sedang terjadi saat ini. Apa yang disampaikan White bukan tanpa suatu hal.

Agama telah menempatkan manusia sebagai mahkluk di atas mahkluk lainnya. Hal ini menjadikan manusia merasa memiliki kekuasaan yang lebih dalam mengendalikan ekologi. Tuduhan tersebut direspon oleh berbagai agama-agama besar dunia. Ada yang menolak tuduhan dari white tersebut.

Namun, banyak juga agama yang menerima kritika White tersebut secara kontruktif. Kritikan White menjadi momentum baru bagi setiap agama untuk mengaji kembali sejauh mana agama yang mereka yakini bersinggungan dengan isu-isu ekologi.

Praktik-praktik pemuliaan ekologi baru mendapatkan tempat dalam organisasi keagamaan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini sangat kontras dengan apa yang disampaikan oleh Roger Gottlieb di mana dalam tulisanya mengurai jika setiap agama telah menekankan pada isu-isu ekologi. Ini barang kali menjadi menarik untuk dipikirkan mengapa demikian?

Harus diakui jika pemuliaan ekologi oleh organisasi keagamaan lahir sebagai refleksi kritis atas situasi yang terjadi. Pada awalnya pemuliaan ekologi dipelopori oleh organisasi-organisasi sekuler (non agamis). Kelompok-kelompok civil society telah membangunkan organisasi keagamaan dari mati surinya.

Ada semacam harapan baru bahwa ekologi akan memasuki fase-fase pemuliaan. Akan ada hujan yang menyirami tanah-tanah gesang selama ini. Begitu kira-kira cara menggambarkan bangkitnya organisasi keagamaan dalam menggarap isu ekologi.

Keterlibatan organisasi keagamaan harus berani menentang status quo. Mereka harus vis a vis dengan elit politik, ekonomi, dan sosial. Lahirnya mereka sebagai antitesis dari kemapanan dan harus berani menyuarakan ketidakadilan.

Lahirnya berbagai lembaga keagamaan yang menggarap isu ekologi saat ini patut kita apresiasi. Lahirnya Majelis Lingkungan Hidup dari Muhammadiyah, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Iklim, gerakan Kristen Hijau dan lainnya telah menunjukkan ada harapan besar. Kelompok-kelompok ini harus menjadi oposisi negara, kritis terhadap segala kebijakan, apalagi kebijakan yang mersinggungan dengan ekologi.

Persoalan tentang perampasan tanah, eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi, pertambangan yang merusak ekologi, serta kasus-kasus yang menurunkan derajat ekologi harus bisa dikawal sebagai tanggungjawab manusia. Semangat dan soliditas kelompom ini jika dirawat akan tumbuh menjadi semacam gerakan sosial keumatan yang sangat besar dalam mempengaruhi elit-elit politik sehingga mereka berhati-hati dalam memutuskan kebijakan isu ekologi.

Sudah saatnya manusia membalas budi pada ekologi yang telah memenuhi segala kebutuhan manusia. Teknologi dan sains tidak akan mampu memuliakan segala diskriminasi ekologi, namun White telah mempertegas karena pangkalnya persoalan agama, maka agama juga sekaligus menjadi solusi mengatasi masalah ekologi. Melalui agama cara dan perilaku manusia akan berpengaruh terhadap bagaimana cara kita memperlakukan ekologi.

Hendy Setiawan
Hendy Setiawan
Mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.