Indonesia sebagai negara berkembang gencar melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur. Dimulai sejak lahirnya Orde Baru, pembangunan sangat masif. Rezim pembangunan ini memanfaatkan alam sebagai bagian dari penyokong pembangunan. Melalui sektor pertambangan, era pembangunan dimulai. Pertambangan menjadi pintu masuk guna memenuhi bahan-bahan untuk melakukan pembangunan. Mulai dari pertambangan batu bara, pasir besi, semen, dan lain-lain.
Kegiatan pertambangan tersebut mengklaim diri bahwa apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka pembangunan. Karena pembangunan dirasa perlu untuk dilaksanakan demi kebaikan kehidupan. Hal itu juga didukung dan menjadi visi dari pemerintah daerah setempat yang perlu didukung oleh semua pihak, termasuk masyarakat. Lalu dengan adanya pertambangan juga akan meningkatkan kesejahteraan dengan tolok ukur bahwa masyarakat nantinya akan bisa menikmati lapangan pekerjaan baru sebagai buruh pabrik serta program-program melalui CSR pabrik.
Tak ayal jika atas nama pembangunan dan kemajuan juga turut menyumbang konflik horizontal di dalam masyarakat. Pertentangan beberapa kelompok masyarakat juga menjadi penanda bahwa tidak selamanya pembangunan dinilai dan dipandang sebagai sesuatu yang positif.
Sebelumnya pada tahun 2012 di Jawa Tengah, misalnya, 15 nelayan Desa Bandungharjo, Kecamatan Donorojo, Jepara, dikriminalisasi karena dianggap merusak aset atas penolakan mereka terhadap perusahaan tambang pasir besi (detik.com, 2014). Padahal, mereka hanya orang kecil yang berharap laut tidak semakin abrasi sehingga alam dan tempat tinggal mereka lestari.
Di tahun 2017 kejadian tersebut kini terulang lagi di Jawa Tengah. Joko Prianto salah satu pemuda Rembang yang berprofesi sebagai petani serta aktif memperjuangkan Pegunungan Kendeng dari cengkraman PT. Semen Indonesia kembali mengalami nasib yang sama seperti para nelayan di Jepara. Joko Prianto ditetapkan menjadi tersangka dengan tuduhan pemalsuan dokumen warga penolak yang sempat ramai dibicarakan oleh Gubernur Ganjar Pranowo soal Power Rangers, Ultraman, dll. Print panggilan akrab Joko Prianto tidak sendirian dalam kriminalisasi, ada beberapa warga Rembang yang lain juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Tengah.
Setelah penetapan Joko Prianto sebagai tersangka, ia harus bolak-balik dari Rembang ke Semarang untuk wajib lapor setiap pekannya. Sedangkan jika kita tahu bahwa kehidupan petani dalam sehari-harinya adalah mengurus dan merawat tanah dan tanamannya. Wajib lapor tiap pekan menjadi momok yang sangat membosankan dan membuang-buang waktunya sebagai petani.
Beberapa hari yang lalu, Joko Prianto mendatangi Pengadilan Negeri Semarang untuk melakukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka. Dia tak sendirian datang ke Pengadilan Negeri Semarang, sedulur-sedulur tani dari Pati dan Rembang. Serta hadir pula mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto hadir pula memberikan dukungan moril.
Joko Prianto dan beberapa warga yang menjadi penggugat izin tersebut sebelumnya telah memenangi gugatan di Mahkamah Agung dengan Putusan bernomor 99 PK/TUN/2016 dalam amar putusan menyatakan pertama Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya; kedua Menyatakan batal surat keputusan gubernur jawa tengah nomor 660.1/17 tahun 2012 tanggal 7 juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah; ketiga Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah.
Di dalam putusan tersebut tidak ada perintah untuk melakukan perbaikan Amdal, namun Gubernur secara sewenang-wenang dalam surat keputusannya memerintahkan untuk melakukan perbaikan Amdal. Dan jadilah sekarang izin baru itu untuk PT. Semen Indonesia. Padahal warga sudah menempuh jalur politik maupun hukum. Menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke PTUN dan menang di MA. Namun seolah sia-sia dengan diterbitkannya izin baru dengan menggunakan hanya perbaikan amdal.
Dalam beberapa daerah, pemerintah atau korporasi yang tidak suka dengan perlawanan yang dilakukan oleh warga terhadap satu kebijakan (khususnya Sumber Daya Alam) cenderung akan dikriminalisasi atau bahkan dibunuh. Tiga kasus di atas sudah menjadi bukti apa yang terjadi soal apa yang dilakukan oleh pihak korporasi atau pemerintah. Cara yang dipakai tersebut kalau menurut Pramoedya Ananta Toer adalah cara yang fasis. Membuat rakyat tunduk dengan melakukan kekerasan, maka dengan ketakutan tersebut masyarakat akan manut dengan segala apa yang dikehendaki sang penguasa.
Seharusnya, pemerintah dan korporasi membuka keran negosiasi seluas-luasnya demi menyelesaikan konflik dengan cara yang beradab dan manusiawi. Tidak lantas memberikan tekanan dengan cara menyerang dengan pasal-pasal pidana demi sebuah kepentingan bisnis. Dan padahal hukum pidana mempunyai sifat ultimum remidium atau sebagai obat terakhir. Jadi kalau bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah ya harus diselesaikan dengan jalan musyawarah, bukan langsung menggunakan hukum pidana.
Perlindungan Hukum
Selayaknya dan seharusnya orang-orang atau kelompok masyarakat yang berjuang atas lingkungan hidup perlu mendapat perlindungan hukum. Dukungan-dukungan secara politik juga perlu digaungkan guna menjaga ekosistem bersama. Bahwa alam sebagai salah satu komponen kehidupan bersama layak mendapat perhatian dari manusia.
Melihat kecenderungan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan lingkungan harus menjadi kesadaran setiap manusia. Lalu untuk mendapat kepastian akan perlindungan tersebut dibuatlah aturan untuk menjaga kelestarian ekosistem alam.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup mendapat kepastian hukum perlindungan atas apa yang diperjuangkan. Palam pasal 66 UU tersebut dinyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara maupun digugat secara perdata.”
Lalu dengan adanya peraturan di atas seharusnya tidak ada lagi cerita bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dibawa ke penjara atau sampai dimejahijaukan. Saya kira aturan dibuat untuk ditaati dan dilaksanakan, serta untuk mendapatkan kepastian dan rasa keadilan bagi siapapun dan tidak ada pihak yang dirugikan.